Entah
kenapa, Aku dan Jogja tak bisa akur. Meskipun aku sudah merinduinya sekian
lama, tetap saja ketika mengunjunginya sekali dalam seumur hidupku, aku
mendapati Jogja tak sayang aku.
Aku
ke Jogja memang bukan untuk refreshing melainkan tugas dinas mendampingi
siswa-siswiku mengikuti sebuah event besar yang diadakan oleh Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan.
Selama
di Jogja ada saja hal-hal aneh yang terjadi, mulai dari dikejar-kejar seorang
nenek sang penjual topi di kaki Prambanan karena aku memilih membeli topi dari
penjual lain hingga makanan favorit yang kubeli ternyata membuatku ilfeel (ilang
feeling). Masalah makan sebenarnya aku bukan pencinta kuliner yang suka rewel dengan makanan tak enak. Tapi
sekali lapar aku ingin makan sesuatu yang istimewa. Maka ketika lelah
mengelilingi Prambanan, salah satu candi kebanggaan Indonesia itu, aku memilih
sebuah kantin sayur pecal yang tampak ramai yang sangkaku pecalnya pasti enak.
Sayangnya setelah memesan seporsi besar, aku baru sadar kalau sayur pecalnya
hanya isi bayam pahit yang beda dengan bayam biasa di kotaku, dan olala bumbu
kacangnya pun terasa aneh di mulutku.
Kali
kedua, setelah seminggu lebih berada di Jogja, aku sangat rindu dengan martabak
telur, maka kerak telurpun jadi pilihan saat mengujungi pameran di seputaran
keraton malam itu. Aku membeli kerak telor sebanyak 30.000, karena ingin makan sepuasnya.
Tapi ternyata rasanya sungguh di luar dugaan. Keraknya terasa hambar dan isinya
hanya sayur kol tiada rasa. Ya ampun, menetes air mataku melihat kerak telor
makanan favoritku harus berakhir di tempat sampah.
Selain
makanan, sikap para pengemudi taksi yang sewenang-wenang juga membuatku
menganggap Jogja tak menerimaku. Saat aku berkunjung ke sana, tidak ada taksi
online yang bisa kupakai untuk berkeliling, hanya taksi biasa. Karena aku baru
pertama kali ke Jogja dan belum menghafal rute bus, akhirnya taksi menjadi satu-satunya
pilihan transport selama di Jogja.
Saking
seringnya naik taksi, aku jadi hafal tarifnya. Namun ada satu kejanggalan yang
dilakukan para pengemudi taksi ini. Ketika akhir pekan dan hari libur, harga
taksi melejit tiga kali lipat dari hari biasa. Aku terheran-heran dengan
kompaknya para pemilik taksi menaikkan tarif hari libur. Pun ketika aku meminta
dikurangi ongkos seperti hari biasa, mereka kompak memarahiku, “jika tak mau
naik, tak usah, ini hari libur, banyak orang yang perlu taksi.” Nah lho..
begitu jawabnya.
Jogja
oh Jogja betapa kau tak sayang aku, batinku saat itu
Namun
demikian, program kunjungan ke Jogjaku harus tetap berjalan. Semua planning yang
sudah kususun rapi dari awal harus kuselesaikan. Salah satu dari program itu
adalah membelikan hadiah cenderamata untuk orang-orang kesayangan saat aku
pulang. Untuk satu orang yang spesial, aku berniat sekali untuk membawakannya
sesuatu, apapun mungkin. Jadi ketika berada di pasar seputaran Borobudur,
mataku tak henti-hentinya melirik ke sebuah kaos khas Jogja dengan gambar becak
yang besar di bagian depan bawah T-shirt tersebut. Sepertinya ini bisa kujadikan
cenderamata.
Tapi
sepanjang jalan aku menimbang-nimbang, alangkah tidak eloknya memberikan hadiah
'pakaian' untuk seseorang yang kita tidak punya hubungan khusus dengannya meski
kaos itu sudah masuk ke kantong dalam jinjinganku.
Esoknya,
dibantu Ari, seorang kawan lama, aku berkeliling Jogja dengan mobil yang di
sewanya. Kami muter-muter di mall dan masuk ke salah satu toko buku
yang paling tersohor di Indonesia, Gramedia.
Tidak
yakin dengan kaos bergambar becak, sambilan mencari-cari buku untuk anak-anak, plus
juga buku titipan dari sohib terbaikku, aku juga berencana mencari sesuatu yang
bisa kuhadiahkan untuknya mengganti hadiah yang konyol kemarin
Setelah
berkeliling, tetiba mataku tertumbuk ke sebuah judul buku yang kira-kira
dikhususkan untuk tes para capra, catar, catam, dan ca-ca lainnya yang aku
lebih sering menyebutnya 'aparat'.
Ahh,
aku benci menghadiahinya buku itu, itu membuatku seolah-olah telah ridha dengan
pilihannya, padahal tidak, tidak sama sekali. Tapi rasa sayang perlu sedikit
pengorbanan. Dan buku itupun kubawa menuju kasir, hingga kudengar Ari berkata,
"Gak usah beli disini, mahal, nanti kita cari di Taman Pintar aja, mau
buku apa saja ada, dan harganya terjangkau."
Hmm,
boleh juga, jawabku
dalam hati sembari meletakkan kembali buku itu di tumpukan buku-buku lain yang
senyawa.
Walhasil
keluar dari Gramedia aku hanya membeli beberapa buku cerita anak-anak dan
sebuah Al-Qur'an yang juga ingin kuhadiahi kepada seseorang.
Sepulang
dari situ, akupun menyusun rencana untuk mengunjungi Taman Pintar, yang sudah
pernah kukunjungi sekali saat ke Benteng Vredeburg. Kata Ari, "Biar
kuantar Sabtu selepas ujianku, karena besok Jum'at." Aku tak menjawabnya.
Maka
ketika besoknya, pasukanku berangkat menuju Bioskop XXI untuk menonton Star
War dan Langit Terbelah di Eropa, akupun berangkat sendirian ke Taman
Pintar. Nekatnya aku yang tak tau jalan dan arah, berjalan-jalan sendiri di
kampung orang. Tapi aku tak punya banyak waktu, hari minggu aku harus pulang,
dan besok aku sudah harus packing.
Setiba
di Taman Pintar diantar taksi, aku mencari food-court karena sudah
sangat kelaparan tak sempat sarapan. Usai menyantap empek-empek Palembang yang
terasa sangat aneh di lidahku, aku langsung berkeliling, membuka list di Handphone-ku
mencari satu persatu buku pesanana kawan-kawan terbaik everku.
Selain
buku-buku antropologi dan filsafat dan beberapa buku 'gila' lainnya yang
dipesan saudara-saudariku itu, aku juga membeli beberapa novel untuk koleksi
plus novel untuk hadiah bagi yang pantas mendapat hadiah nantinya.
Kau
ingin tau salah satu buku gila yang dipesankan kepadaku? - Perempuan di Titik Nol
alias Firdaus - Karya Nawal el-Sadawi. itu adalah buku yang paling gila yang
pernah kubaca, dan sangat tidak dianjurkan untuk makhluk berusia di bawah 25.
Aku serius.
Nah,
setelah semua buku itu terkumpul, aku tak jua menemukan buku yang ingin
kuhadiahkan kepadanya, dia yang kuingat dimana-mana. Padahal di setiap toko
yang kusinggahi aku menanyakan perihal buku tersebut. Mereka telah berusaha
juga mencari-cari ke kios lain, namun nihil, hasilnya nol. Buku itu tak dijual
disini.
Betapa
menyesalnya aku, kenapa tak jadi membelinya di Gramedia kemarin. Ahh,
rencanaku gagal, gagal total.
Tapi
aku tak akan menyerah, masih ada beberapa kios yang belum kutanyai, dan akupun
mulai bergerak lagi dengan dua kantong besar buku-buku titipan best friends
dan novel-novel punyaku.
Setelah
tanya sana sini, rasanya para penjual di lapak-lapak itu merasa aku sedang
mencari sesuatu yang tak ada. Bagaimana cara mereka bisa mendapatkan buku yang
memang tak pernah dicetak, hehehehe. Tapi aku tak peduli, sudah kepalang
tanggung, aku belum tentu bisa kembali kemari dalam beberapa tahun lagi.
Demi semangat itu, akupun menyusuri sebuah
koridor lagi yang masih buka, sementara kios-kios lain ada beberapa yang sudah
mulai tutup karena jadwal shalat Jum'at sudah tiba. Hmm, mirip dengan
kondisi di kampungku yaa. Walaupun disini tak wajib tutup semua, tapi banyak
juga yang tidak mau berjualan saat shalat Jum'at dilaksanakan.
Tiba
di lapak pertama, di lorong itu yang dijaga oleh seorang perempuan, dia
menjawab pertanyaanku dengan murung, mungkin kecapaian dari pagi sudah duduk
disana.
Lapak
ke dua dijaga oleh dua orang yang sepertinya kakak beradik : laik-laki dan
perempuan. 'Ada buku ini ga?’ tanyaku menyebut sebuah judul. Dan senangnya aku,
karena muka penjaga laki-laki itu seolah-olah merasa pernah mendengar tentang
buku tersebut. Lalu dia mulai mengambil beberapa buku Tes Potensi Akademik dari
rak atas, namun bukan itu yang kucari. Lalu aku menujuk kesebuah buku,
"Ukurannya segini, bukunya untuk tes masuk Akademi Polisi, bukan Tes
Polisinya", ujarku.
Dan
pucuk dicinta ulampun tiba, dia menarik sebuah buku di tumpukan bawah, tereeeeeeng...
'Here you go.' teriakku dalam hati.
Berapa
ini, serius, pada saat itu aku tak rencana minta kurang, lelahnya aku, berjalan
setengah harian hanya untuk sebuah buku. Selain membayar, akupun berterima
kasih kepada si penjaga lapak dengan mengeluarkan 15 butir permen (mungkin
lebih) dari tasku untuk kuberikan kepadanya dan semua penjaga lapak di lorong
itu.
"Terima kasih yaaa," Hmm, bahagia
sekali rasanya, semua yang ingin kubawa pulang sudah lengkap sekarang. Aku
memasukkan buku itu ke dalam tas dan menarik dua kertas besar penuh buku tanpa
menghiraukan tatapan-tatapan dari penghuni lorong yang melihat aneh ke arahku.
Senewen mungkin, kok ada orang datang kemari pigi bagi-bagi permen
siang-siang. Tapi biarlah, aku ingin pulang. Aku lelah.
Namun,
rasa letihku ternyata tak tertebus hanya dengan buku itu berhasil kudapat, itu
jam shalat Jum'at dan aku tak berhasil menyetop sebuah taksipun karena semuanya
full dan ongkosnya sudah tak masuk akal.
Putus
asa dengan taksi, akupun mencoba bertanya kepada penjaga halte, kira-kira kalau
ke arahku, akau harus naik bus apa. Dia menjawabku dengan tersenyum. Betapa
berharganya nilai sebuah senyum dari Jogja untukku saat itu. Setelah
membayarnya, akupun meninggalkan beberapa butir permen di atas mejanya, dan dia
tersenyum lagi.
Sepanjang
jalan aku berfikir bagaimana caranya aku bisa pulang ya, sementara bus ini
tidak sampai menjangkau wilayah tempat yang aku tinggali sementara di Jogja.
Lalu, aku iseng mengirimi Ari sms, dan ia langsung merespon. "Turun saja
di halte UGM, nanti saya jemput pakai motor,"
"Beres
Boss." Dia memang kawan terbaik dan selalu bisa diandalkan.