Aku kembali berjalan di
mengikutinya. Namun aku tak lagi pasang jarak bermeter-meter seperti tadi. Aku
kini berjalan di dekatnya walaupun tidak bersisi-sisian, tapi aku kini berada
tepat di belakangnya.
Deretan-deretan pohon asam jawa
yang telah menaungi kami kini telah semuanya terlewati. Yang tertinggal hanya
sinar matahari jam 12.45 siang yang semakin galak menghantam kepala kami yang
tak bertutup dengan sinarnya yang semakin mengganas. Ketika kembali berhasil
menyebrang jalan, dan berada di sepanjang pagar gedung Anjong Mon Mata, azan
dhuhurpun terdengar dari segala penjuru arah mata angin.
Pak tua tampak mempercepat
langkahnya dan bergegas mendekati gerbang kawasan pribadi Meuligoe Gubernur
Aceh tersebut. Aku sedikit bingung ketika melihat pak tua berbelok memasuki
kawasan elit itu.
Seorang security
yang sedang bertugas jaga, tersenyum kepada sang bapak yang terlihat sedang
mengucapkan sesuatu kepadanya. Kemudian si bapak kembali menoleh ke arahku dan
berjalan segera menuju ke mesjid yang terletak bersambung dengan bangunan meuligoe
gubernur itu.
Akupun mengikutinya dengan agak
ragu karena khawatir diinterogasi oleh security
meuligoe.
Ketika aku menapaki satu persatu
tangga mesjid yang tak seberapa luas ini, aku melihat pak tua sudah selesai
berwudhu dan berjalan tanpa alas kaki menuju pintu mesjid sebelah kanan yang
khusus di peruntukkan untuk jamaah laki-laki.
Setelah shalat, aku melihat pak
tua duduk di anak tangga ke tiga berwarna putih krem di depan pintu gerbang
jemaah perempuan dimana tak seorang jamaahpun berada disana dhuhur ini. Aku
yang ketinggalan dua rakaat setelahnya, kini juga ikut-ikutan duduk di sampingnya.
Kebingungan dan rasa penasaran yang telah berotasi memenuhi rongga kepalaku
telah berhasil menghilangkan rasa takutku untuk mendekatinya dan mulai membuka
suara.
Aku berusaha mengeluarkan satu
persatu pertanyaan yang kini telah menyesaki ruang otakku, namun aku tak tahu
harus mulai dari mana. Akhirnya aku hanya memilih untuk berdiam diri sambil
menatap ke arah sungai yang mengalir dengan deras di bawah areal masjid dan
meligoe ini.
“Kau tau sungai apa ini, anak
muda?” Itulah ucapan pertama yang membuka pembicaraan kami tanpa perkenalan
seperti layaknya orang-orang yang baru pertama kali bertemu.
“Emm, saya tidak tau, Cek. Saya
belum pernah masuk kemari. Hanya lewat-lewat saja di jalan depan pendopo.”
Jawabku jujur.
“ Kau pernah dengar tentang Darul Ishky? Inilah dia Darul Ishky yang mengalir di seluruh
kawasan kerajaan Darod Donya (2)”
Ujarnya dengan tenang..
Aku terdiam sejenak ketika
mendengar nama kerajaan yang tadi disebutnya. Nama itu terdengar begitu indah
dan luar biasa. Untuk orang yang sedikit faham Bahasa Arab sepertiku, nama itu
terdengar sedikit menggetarkan sampai bulu-bulu halus di lenganku dan tengkukku
ikut berdiri karena mencoba percaya bahwa kerajaan kami dulu mempunyai nama
sehebat itu.
“Darod Donya, Cek? Kenapa
namanya Darod Donya?” Bukannya
menjawab pertanyaannya tentang sungai saksi sejarah yang mengalir deras dan
dapat kulihat dengan jelas di bawah sana, aku malah memberinya pertanyaan lain.
“Itu tugasmu, Anak muda.. Kau
harus tahu kenapa kerajaan yg lebih dikenal dengan nama Aceh Darussalam dulunya
bernama Darud Donya.”

Rasa penasaran itu kini
berdentang-dentang seperti bunyi jam di dalam kepalaku.
“Cek, Kenapa di taman sari ada
tugu proklamasi?” Aku mencoba menyuguhinya pertanyaan lain.
Aku melihatnya tersenyum.
Wajahnya tampak masih sangat segar walaupun uban telah memenuhi hampir di
seluruh kepalanya. Wajah yang penuh dengan gurat optimisme itu kini menghadap
ke arahku. Kini aku dapat dengan jelas memerhatikan bola matanya yang hitam dengan
tulang mata yang agak menonjol ke atas, seperti mata nenekku. Aku selalu
percaya bahwa bentuk mata itu adalah mata yang mempunyai pandangan paling tajam
dan tatapan dari jenis mata seperti itu mampu menghujam langsung ke ulu hatimu.
“Kau sempat membaca pamplet yang
berada di depan tugu itu?” Ia kemudian menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan
yang lain.
“Iya, ada. Tapi saya rasa
penjelasannya kurang nyambung. Tahunnyas aja berbeda dengan tahun proklamasi di
Indonesia.” Ucapku mengingat tahun 1959 yang terpampang di pamplet tersebut.
“Iya, itu benar. Telah terjadi
banyak pencucian sejarah selama beberapa abad ini. Hanya anak muda yang peduli
sajalah yang bisa menjawab semua dan membersihkan kembali noda-noda yang
ditoreh secara sengaja atau tidak dalam penceritaan kembali sejarah bangsa
ini.” Sejumput rasa khawatir dan takut
menyusup diam-diam ke hatiku demi mendengar ucapannya.
Aku ingin bertanya berbagai macam
hal kepadanya, tapi aku tak yakin dia akan menjawab semua
pertanyaan-pertanyaanku dengan jelas. Ia hanya memberikan clue untukku dan kemudian ia seperti ingin agar aku memasuki
gerbang masa lalu itu sendirian. Ia hanya datang mengantarkan sampai ke pintu
dan penjelajahan yang dahsyat itu harus kujalani sendiri. Kurasa.
Jadi aku memutuskan untuk tidak
lagi banyak bertanya. Ia kemudian bercerita. “Tempat-tempat dan jalan-jalan yg
telah kita lalui hari ini adalah lingkungan ‘dalam’ kerajaan darud
dunia yang telah dikuasai oleh puluhan bahkan ratusan raja-raja besar secara
turun temurun. Nama ‘dalam’ kemudian
diganti dengan nama Kuta Raja pada saat Belanda datang ke Aceh dahulu.
Raja-Raja Aceh Lhee Sagoe tinggal di
istana megah tempat pertama kali kita bertemu tadi. Dan meligoe ini adalah
bagian dari lingkungan istana. Ada banyak tempat-tempat indah di lingkungan ‘dalam’ ini.
Seperti Taman sari,Taman Sari Gunongan,
Taman putro Phang dan Kherkhoff, semuanya adalah satu, yaitu tempat bermain
para sulthan dan sulthanah kerajaan Darud
Dunia yang lebih dikenal dengan sebutan TAMAN GHAIRAH (3).
Yang
kudengar dari cerita sahibut tarikh, dulu di lokasi Kherkhof itu ada sebuah
taman yang indah khusus untuk putroe-putroe yang disebut dengan nama Taman Khairani. Sementara lapangan yang
kita kunjungi tadi adalah Taman Khayali,
dimana para raja dan pembesar istana menghabiskan waktu senggangnya disana untuk
menonton pacuan kuda dan pacuan gajah. Kau tahu, Anak muda, menurut kabar yang
kudengar, jumlah gajah yang dipunyai oleh kerajaan darud dunia mencapai 800
ekor .”
Rasa takut dan khawatir kini
semakin membesar dalam hatiku, namun rasa kagumku yang terlanjur lebih besar
telah mengalahkan rasa takut itu.
Aku takut pak tua itu
mengada-ada. Atau mungkin ia benar-benar tahu yang sebenarnya. Tapi kalau semua
yang dia katakan adalah sebuah kebenaran, lalu kenapa aku saja yang tidak tahu
apa-apa tentang hal ini.
“Dan Darul ishky itu adalah sungai yang terindah yang mengalir di
sepanjang keraajan dan berada di bawah seluruh bangunan-bangunan inti yang
dijadikan tempat kediaman raja. “
Alam khayalku kini dipenuhi oleh pemandangan sebuah film
yang berjudul Lord of The Ring,
ketika adegan para elves pulang ke
daerahnya yang bernama Rivendell.
Kilasan lain adalah beberapa ayat Al- Qur’an yang menerangkan tentang surga
yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Tanpa sedikitpun bermaksud untuk
membanding-bandingkan dunia yang hina ini dengan surga, aku hanya takjub dengan
kehebatan peradaban masa lalu yang mampu menghadirkan view surgawi itu di lingkungan tempat tinggal mereka.
Rasa khawatir yang kini mulai
berperang dari dalam hatiku membuatku tampat sedikit gelisah. Akupun
beristighfar untuk menangkap kembali imajinasiku yang kini berterbangan entah
kemana. Aku takut, takut sekali, bukan karena aku tak bisa percaya akan
cerita-cerita yang telah kudengar. Aku hanya tak berani untuk mempercayai semua
ini.
Apa yang kau tahu tentang taman
Putro Phang? Ujarnya lagi padahal aku yakin ia telah melihatku mulai tak tenang
di tempat dudukku.
“Sebuah Taman yang di bangun
Baginda sulthan Iskandar Muda untuk salah satu istrinya yang berasal dari
Pahang.” Jawabku sesuai dengan berita dari buku yang pernah kubaca.
“Saya juga sering membaca seperti
itu, selain itu menurut sirah lainnya, pembangunan Batu Pelinggam pinto khop itu dibuat oleh menantu Sulthan yg bernama
Iskandar Tsani yang berasal dari
Pahang. Namun menurut cerita yang kudengar secara turun temurun, taman itu
memang sudah ada sejak dulu ketika ayah dan kakek Mengkuta Alam Sulthan Iskandar Muda (4) berkuasa, karena itu adalah
taman permainan yang sudah turun temurun ada di kerajaan ini. Nama Indera
Bangsa yang dinisbatkan pada Batu
pelinggam itu adalah gelar yang disandang oleh Ibunda Sulthan Iskandar Muda.
“Pernahkah kau berkunjung ke
museum, Anak muda?” Ia mencecarku dengan pertanyaan lain sebelum aku sempat
sepenuhnya paham dengan penjelasannya tantang taman yang namanya dinisbatkan
kepada nama sebuah daerah yang berada di daratan melayu sana.
“Museum tsunami, Cek?” Ucapku
ragu-ragu.
“Museum Aceh, Anak muda.
Kebanyakan anak muda zaman sekarang ketika kita bertanya tentang museum, yang
ada di dalam kepala mereka adalah museum baru yang berdiri gagah dan mewah itu.
Mereka bahkan lupa bahwa di tepian Darul Ishki telah lama berdiri sebuah museum
yang sering juga disebut Rumoh Aceh. “
Aku mengangguk-angguk menyetujui pendapatnya.
“Saya pernah beberapa kali
kesana. Tapi saya tidak begitu tertarik dengan isinya. Saya hanya suka dengan
surat-surat dari Sulthan Aceh kepada raja-raja dari daerah lain dan juga
sebaliknya. Kebanyakan surat itu ditulis dalam bahasa Arab dan Bahasa Aceh,
walaupun untuk Ratu Elizabeth I sekalipun. Selain itu saya juga melihat
berbagai macam jenis bate jirat dengan
berbagai ukuran dan bentuk di sana. Namun saya tidak dapat membedakan antara
batu-batu tersebut.” Aku menjawab panjang lebar.
“Ada banyak barang berharga yang
sudah dipindahkan dari Museum Aceh ke tempai-tempat lain di seluruh dunia. Tak
perlu kau tanya apa alasannya.” Suara pak tua sedikit meninggi ketika
mengucapkan kalimat itu. Ia tampak tak rela dengan apa yang telah berlaku atas
nanggroe ini.
“Dan jika kau ingin melihat lebih
banyak lagi batu-batu bersejarah itu, carilah orang yang bisa membaca batu itu.
Ajaklah mereka bermain-main ke Ulee Lhee. Pergilah ke sebuah tempat sejauh
beberapa ratus meter dari jembatan Lampaseh Aceh yang berada di sebelah kanan jalan. Di sisi sebuah rumah bertipe 36
yang kini dijadikan posko sebuah partai, kau akan menemukan sebuah belokan ke
kiri. Lewatlah jalan itu, berjalanlah terus lurus ke arah Kampong Pande dan
Kampong Jawa. Maka di sepanjang jalan itu, engkau akan menemukan puluhan bahkan
ratusan bate-bate jirat (5) lain
yang lebih besar dan lebih indah ukirannya yang kini berserakan di dalam rawa
bakau di sepanjang jalan itu.” Cerita yang disampikan pak tua kini telah
berhasil menambah cepat detak jantungku dan menambah dentuman di dalam
kepalaku.
“Kenapa Yah cek menyebut Ulee
Lhee (Kepala Tiga) bukan Ulee Lheu?”
Tanyaku penasaran setelah tadi hanya berdiam diri mendengarkan
penjelasannya yang semakin lama semakin terdengar runyam.
“Kerajaan Aceh Darussalam ini
awalnya bernama Aceh Lhee Sagoe (6),
dan Barisan Pantai Ulee Lhee adalah Sagoe ke tiga dari kerajaan besar itu, Nak.
Dan tugasmu yang lain adalah mencari tahu dimana tempat yang disebut Sagoe satu
dan Sagoe Dua.” Pak tua tak tampak ingin memberiku kesempatan lagi.
Ada sesuatu di balik semua ini,
namun ia hanya memberiku kunci pembuka, tanpa penjelasan lain. Ia dengan sendirinya
telah memberiku tugas yang amat banyak untuk kuselesaikan. Padahal beban ujian
akhir lisanku yang akan kuikuti minggu depan sudah cukup membuatku amat
kelelahan.
“Ketika kau pulang nanti,
lewatilah jalan di belakang komplek Kodam, kau akan menemukan sesuatu disitu.”
Kata-katanya seperti petuah seorang bajak laut dalam sebuah film petualangan
besar yang sedang memberi petunjuk kepada anak buahnya yang akan memainkan
peran utama menggantikan posisinya menuju ke arah tempat harta karun yang tak
ternilai tersembunyi.
“Kenapa kita tak pergi sama-sama?
“ Tanyaku kemudian berharap lawatan ini tidak berakhir disini. Dan kalaupun
harus berakhir, paling tidak aku tak harus berjalan sendirian untuk kembali ke
mesjid raya.
“Saya sudah dijemput.” Ia
menunjuk ke arah seorang pemuda yang kini sedang berjalan perlahan-lahan
mendekati kami.
“Kalau kau masih ingin
melanjutkan lawatan ini, pergilah ke tempat-tempat yang dijaga dengan sangat
ketat.” Pak tua memberikan aku sebuah ‘kata
kunci’ terakhir sebelum akhirnya si anak muda yang
kutaksir seusia denganku kini berdiri tepat di samping kami dan langsung
memotong pembicaraan kami.
“Aku telah mencari Abu ke maejid
raya, dan sudah mutar-mutar di daerah sini semenjak usai shalat dhuhur tadi.
Rupanya Abu disini. Ini sudah waktunya pulang.” Anak muda itu berucap dengan
lembut kepada ayahnya seperti sedang merayu seorang anak kecil untuk ikut
pulang bersamanya.
“Maaf, Bang, kalau Abu saya
membuat abang bingung. Abu memang suka bercerita, tapi ceritanya tak usahlah
Abang masukkan ke dalam hati. Dia hanya bercerita legenda dan mitos.” Lelaki muda itu kini tersenyum tak enak
kepadaku.
Kini akupun bangkit,ikut bersama
mereka berjalan di belakang ayah dan anak itu agar aku tidak tertinggal
sendirian di komplek elit ini.
Ketika tiba di pintu gerbang aku
melihat anak muda yang menggunakan T-shirt berwarna putih tadi berjalan
mendekati mobil innova berwarna hitam metalik dan membukakan pintu di sebelah
kanan untuk ayahnya.
Lelaki tua itu melihat ke arahku
dan kembali tersenyum dan berkata’ “Kau mau ikut, anak muda?”
Aku menggeleng lemah dan berkata
tidak apa-apa. Tapi jawaban itu kini membuatku harus kembali berjalan
menelusurui teriknya panas ba’da dhuhur sendirian ketika mobil berplat BL itu
mulai beranjak dari samping gerbang kawasan Anjong Mon Mata menuju ke arah
Simpang Lima taman sari .
Langkahku yang lunglai karena
ditinggal sendiri di tengah misi besar mengunjungi keyajaan masa lalu ini,
berjalan tergesa-gesa menyusuri pagar-pagar pendopo gubernur yang dihiasai dengan
tulisan Asmaul Husna di sepanjang pagar setinggi 3 meter yang mengelilingi
seluruh komplek pendopo tersebut.
Sesampai di sisi pagar yang mulai berputar ke
arah kanan, aku tak melanjutkan langkahku menyusuri pagar itu. Namun aku
memilih untuk menuju ke jalan seberang dan memasuki jalan kecil yang berada
tepat di belakang komplek Kodam Banda Aceh seperti pesan yang telah diamanahkan
oleh pak tua kepadaku.
Saat tiba di persimpangan kecil,
akupun berbelok ke arah kanan yang menuju kembali ke jalan besar di depan mesjid
raya. Setelah berjalan beberapa meter dari simpang dua, rasa lelahku terbayar
dengan pemandangan indah yang telah kubayang-bayangkan bagaimana wujudnya
sedari tadi. Sebuah komplek pemakaman yang terdiri dari beberapa makam besar
berwarna coklat tanah tampak terawat dengan baik di balik pagar kawat setinggi
3 meter lebih . Aku berdiri dengan hati-hati di balik pagar dan mengamati
kandang yang kuyakini juga milik orang-orang yang sangat hebat di masa lalu.
Setelah beberapa saat mengamati, akupun kembali berjalan menelusuri jalan kecil
di belakang komplek perumahan Kodam, karena merasa tak enak diperhatikan oleh
beberapa orang yang sedang melintas di jalan itu.
Setibaku di ujung jalan, aku
melihat sebuah pamplet bertuliskan kandang XII di atas sudut pagar kawasan
Barata Department Store.
Ternyata petunjuk menuju kandang
tadi ada disini, tapi banyak sekali orang yang tidak memperhatikan keberadaan
tempat bersejarah itu. Mungkin karena jalan kecil di belakang komplek pribadi
itu baru terbuka untuk umum beberapa tahun setelah bencana tsunami terjadi.
Kini tanpa menunggu lagi aku
berjalan dengan hati-hati menuju ke seberang jalan untuk kembali ke masjid raya
Baiturrahman tempat dimana aku telah meninggalkan kenderaanku dan bertemu
dengan seorang laki-laki tua yang hingga diakhir pertemuan tadi, aku tak tahu
siapakah dia sebenarnya. Rasa penasaran yang berputar-putar seperti sebuah
tornado di dalam kepalaku, telah membuatku tak sempat untuk berfikir sedikitpun
untuk berkenalan dengan sang Sahibut Tarikh, Si penjaga sejarah..
Aku tak tau harus percaya atau
tidak tentang semua cerita yang telah kudengar hari ini. Aku berharap semua ini
benar ,walaupun aku belum punya keberanian untuk percaya sepenuhnya. Ketika
keraguan itu muncul dan aku menganggap bahwa semua ini hanyalah khayalan
belaka, akupun mencubiti pinggangku yang kini telah terbaring dengan kelelahan
yang luar biasa di atas lantai pulam teras Mesjid Raya Baiturrahman. Rasa sakit
akan cubitan dan rasa lelah yang sangat luar biasa ini, telah menjawab bahwa
perjalananku hari ini bukanlah mimpi.
Kemudian tanpa memperdulikan
tulisan di pamplet-pamplet putih kecil itu, aku berusaha memejamkan mata
ditemani angin sepoi-sepoi yang segera membasuh rasa lelahku dan segera
mengantarkanku kepada mimpi yang sebenarnya.
Di alam bawah sadarku, hanya ada
satu kalimat yang terus terngiang-ngiang dan tak mau pergi.
“Kalau kau masih ingin
melanjutkan lawatan ini, pergilah ke tempat-tempat yang dijaga dengan sangat
ketat.”
Ya, hanya itulah satu-satunya password yang akan menemaniku nanti, seandainya
aku masih ingin melanjutkan perburuan menuju kejayaan masa lalu ini.
……………………
Foot notes :
3. Shahdan adalah pertemuan dewala Taman Ghairah itu yang pada Sungai
Darul-Ishki itu, dua buah jambangan, bergelar Rambut Gemalai. Maka kedua belah
tebing Sungai Darul Ishki itu di-turap-nya dengan batu panchawarna, bergelar
Tebing Sangga Saffa.
Dan adalah kiri kanan tebing sungai arah ka-hulu itu dua
buah tangga batu hitam di-ikat-nya dengan tembaga semburan seperti emas
rupa-nya. Maka ada-lah di-sisi tangga arah ka-kanan itu suatu batu me-ngampar,
bergelar Tanjong Indera Bangsa. Di-atas-nya suatu balai dulapan sagi, seperti
peterana rupa-nya. Sana-lah hadharat Yang Mahamulia semayam mengail.
Dan di-sisi-nya itu sa-pohon buraksa terlalu rampak,
rupa-nya seperti payong hijau. Dan ada-lah sama tengah Sungai Darul-Ishki itu
sa-buah pulau bergelar Pulau Sangga Marmar. Di-kepala pulau itu sabuah batu
mengampar, perusahan-nya seperti tembus, bergelar Banar Nila Warna. Dan ada-lah
keliling pulau itu karang berbagai warna-nya, bergelar Karang Panchalogam.
Di-atas Pulau Sanggar Marmar itu suatu pasu, ia-itu permandian, bergelar Sangga
Sumak.
Dan ada-lah isi-nya ayer mawar yazdi yang amat merebak
bau-nya, tutup-nya daripada perak, dan kelah-nya daripada perak, dan charak-nya
daripada fidhah yang abyadh. Dan ada-lah kersek pulau terlalu elok rupa-nya,
puteh seperti kapor barus.
(BUSTANUSSALAATIN)
………………
Berdasarkan teks dari
kitab tersebut kiranya dapat diketahui pada dasarnya bangunan Gunongan itu
berdiri dengan tinggi 9,5 meter, menggambarkan sebuah bunga yang dibangun dalam
tiga tingkat.
Tingkat pertama
terletak di atas tanah dan tingkat tertinggi bermahkota sebuah tiang berdiri di
pusat bangunan. Keseluruhan bentuk Gunongan adalah oktagonal (bersegi delapan).
Serambi selatan merupakan lorong masuk yang pendek, tertutup pintu gerbang yang
penyangganya sampai ke dalam gunung.
Peterana batu berukir
berupa kursi bulat berbentuk kelopak bunga yang sedang mekar dengan lubang
cekung di bagian tengah. Kursi batu ini berdiameter 1 m dengan arah hadap ke
utara dan mempunyai tinggi sekitar 50 cm. Sekeliling peterana batu berukir
berhiaskan arabesque berbentuk motif atau jaring jala.
Peterana batu berukir
berfungsi sebagai tahta tempat penobatan sultan. Belum diketahui dengan pasti
nama-nama sultan yang pernah dinobatkan di atas peterana batu berukir tersebut.
Bustanus as salatin menyebutkan ada dua buah batu peterana, yaitu peterana batu
berukir (kembang lela masyhadi) dan peterana batu warna nilam (kembang seroja).
Namun yang masih dapat disaksikan hingga saat ini adalah peterana batu berukir
kembang lela masyhadi yang terletak bersebelahan dengan Gunongan dan berada di
sisi sungai.
Dalam komplek
Gunongan tersebut juga dikatakan terdapat Kandang Baginda. Kandang Baginda ini
merupakan sebuah lokasi pemakaman keluarga sultan Kerajaan Aceh, di antaranya
makam Sultan Iskandar Tsani (1636-1641 M) sebagai menantu Sultan Iskandar Muda
(1607-1636 M) dan istri Sulthanah Tajul Alam (1641-1670).
Bangunan kandang
berupa teras dengan tinggi 2 m dikelilingi oleh tembok dengan ketebalan 45 cm
dan lebar 18 m. Bangunan ini dibuat dari bahan bata berspesi kapur serta
berdenah persegi empat dengan pintu masuk di sisi selatan.
Areal pemakaman
terletak di tengah lahan yang ditinggikan. Konon lahan yang ditinggikan pernah
dilindungi oleh sebuah bangunan pelindung. Pagar keliling Kandang mempunyai
profil berbentuk tempat sirih dengan tinggi 4 meter.
Pagar ini diperindah
dengan beragam ukiran berbentuk nakas, selimpat (segi empat), temboga (seperti
hiasan tembaga). Mega arak-arakan (awan mendung) dan dewala (hiasan serumpun
bunga dengan kelopak yang runcing dan bintang_seperti teratai), merupakan hiasan.
Pada kolom tembok keliling berupa arabesque berbentuk pola suluran mengikuti
bentuk segi empat.
Mega arak-arakan
yaitu hiasan arabesque berupa awan mendung yang dibentuk dari suluran sebagai
hiasan sudut pada bingkai dinding. Dewamala merupakan hiasan yang berbentuk
menara-menara kecil berjumlah dua belas buah di atas tembok keliling terutama
di bagian sudut, berbentuk bunga dengan kelopak daunnya yang runcing menguncup.
Menurut sumber bangunan ini dibuat oleh orang Turki atas perintah Sulthan.
Di sisi barat Taman
Ghairah (Gunongan) terdapat Medan Khairani yang merupakan sebuah padang luas
dan diisi dengan pasir dan kerikil, dikenal dengan nama kersik batu pelinggam.
Sebagian besar lahannya kini digunakan sebagai Kherkoff. Kompleks makam ini
digunakan untuk menguburkan prajurit Belanda yang gugur dalam Perang Aceh
(1873-1942).
Dalam Taman Ghairah
juga dibangun lima unit balai dengan halaman pada tiap-tiap balai beserta
teknik pembangunan dan kelengkapan ragam hiasnya. Balai merupakan bangunan
panggung terbuka yang dibangun dari kayu dengan fungsi yang berbeda-beda.
Balai-balai tersebut
antara lain Balai Kambang yang berfungsi sebagai tempat peristirahatan.
Kemudian Balai Gading yang berfungsi sebagai pelaksanaan kenduri, Balai Rekaan
Cina tempat peristirahatan yang dibangun oleh ahli bangunan dari Cina, Balai
Keemasan tempat peristirahatan yang dilengkapi dengan pagar keliling dari pasir
dan Balai Kembang Caya. Sayangnya, balai-balai yang disebutkan dalam kitab
Bustanul Salatin saat ini sudah tidak ada yang tersisa.
Bangunan lain yang
terdapat dalam Taman Ghairah ini adalah
Pinto Khop (Pintu Biram Indrabangsa) yang secara bebas dapat diartikan dengan
pintu mutiara keindraan atau kedewaan/raja-raja. Di dalam Busatanul Salatin
disebut dengan Dewala.
Gerbang yang lebih
dikenal dengan sebutan Pinto Khop ini merupakan pintu penghubung antara istana
dengan Taman Ghairah. Pintu ini berukuran panjang 2 m, lebar 2 m dan tinggi 3
m. Pinto Khop ini terletak pada sebuah lembah sungai Darul Isyki (Krueng Daroy).
Dugaan sementara,
tempat ini merupakan tebing yang disebutkan dalam Bustanul Salatin dan
bersebelahan dengan sungai tersebut. Dengan adanya perombakan pada tata kota
Banda Aceh dikemudian hari, Pinto Khop akhirnya tidak berada lagi dalam satu
komplek dengan Taman Sari Gunongan (taman ini juga telah berubah dari
arsitektur semula seperti yang digambarkan dalam kitab Bustanul Salatin).
Bangunan Pinto Khop
dibuat dari bahan kapur dengan rongga sebagai pintu dan langit-langit berbentuk
busur untuk dilalui dengan arah timur dan barat. Bagian atas pintu masuk
berhiaskan dua tangkai daun yang disilang, sehingga menimbulkan fantasi (efek)
figur wajah dengan mata dan hidung serta rongga pintu sebagai mulut.
Atap bangunan yang
bertingkat tiga dihiasi dengan berbagai hiasan dalam bingkai-bingkai antara
lain; biram berkelopak (mutiara di dalam kelopak bunga seperti yang ditemukan
juga pada bangunan Gunongan) dan bagian puncak dihiasi dengan sangga pelinggam
(mahkota berupa topi dengan bagian puncak meruncing).
Bagian atap merupakan pelana dengan
modifikasi di empat sisi dan berlapis tiga. Pada sisi utara dan selatan dewala
ini berkesinambungan dengan tembok tebal (tebal 50 m dan tinggi 130 meter) yang
diduga merupakan pembatas antara lingkungan Dalam (kraton) dengan taman. Namun, lagi-lagi dikemudian hari
tembok tersebut tidak diketemukan lagi akibat pembangunan tata ruang kota Banda
Aceh. (Boy Nasruddin Agus)
“….dan tiada-lah hamba panjangkan kata beberapa dari
kekayaan Allah s.w.t yang gharib. Dan sakalian dalam taman itu daripada sarwa
bagai buah-buahan daripada buah serbarasa, dan buah tufah, dan buah anggor, dan
buah tin, dan delima, dan buah manggista, dan buah rambutan…”.[]
(BUSTANUSSALAATIN)
REFERENSI :
1. 1. Bustanussalatin
(Syech Nuruddin Ar-Raniry)
2. 2. Tarich
Atjeh dan Nusantara jilid I.( H.M Zainuddin)
3. 3. Reid,
Anthony (1996) Indonesian Heritage; Early of Modern History
4. 4. A. Hasymi (1994) Kebudayaan Aceh dalam Sejarah
……………………………………………………………………………………………………………………………………………………..