Friday 9 July 2021

WONDER WOMAN

“Noooor… Zi di Banda ni.” Suara teriakan Azianti sahabatku terdengar nyaring di ujung telpon selular yang baru saja berdering.

Setiap kali pesan seperti itu kudengar, maka kemungkinan besar hari itu atau besoknya aku akan berganti peran dari seorang guru menjadi tukang ojek keliling yang siap membawa sahabatku ini keliling Banda Aceh.

Maka setelah tak lama basa-basi kami segera membuat sebuah keputusan.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali aku sudah berada di depan rumah kontrakan kakaknya Zi di seputaran Kuta Alam. Berhubung hari ini hari dinas, maka hari ini aku akan membawanya ke sebuah tempat istimewa, ke sebuah lapangan serbaguna di tengah kota Banda Aceh yang biasanya digunakan oleh orang-orang untuk berolah raga. Tebak kami mau ngapain di lapangan milik para tentara itu? Mau jogging? Oh no, no! Kebetulan hari ini aku bertugas mengawal siswa-siswiku yang sedang mengadakan lomba program ekstrakurikuler semesteran. Karena aku sedang piket, Zianti sahabatku juga ikut berpiket bersamaku untuk mengontrol para bocah SMA ini berolahraga.

Setelah jadwal ekskul siswa selesai, saatnya kami keliling Banda Aceh. Sekedar melihat-lihat atau throw back tempat-tempat yang pernah kami lewati dulu saat masih gadis ataupun nongkrong di tempat kuliner yang menyajikan makanan khas aceh.

Hari itu kami sengaja melewati daerah Rumah Sakit Umum Zainal Abidin (RSUZA) untuk mengenang sesuatu. Dulu aku sering menunggunya pulang di terminal depan RSUZA saat pulang kuliah untuk kemudian pulang ke kosannya di belakang Masjid Al Makmur, Lamprik, Banda Aceh.

Seperti itulah tahun-tahun berlalu, hingga suatu saat aku ingin mengingat-ingat lagi, kapan dan bagaimana ya dulu kami bertemu. Bagaimana jalan takdir ini menjadikan kami teman baik meskipun dia bukan teman SD atau SMP atau SMA ataupun teman kuliahku. Zi juga bukan teman sekampungku yang seharusnya menjadi asbab kami menjadi dekat. Tak perlu alasan dan sebab akibat ketika Allah memutuskan jalan takdir untuk kami  menjadi sepasang sahabat.

Siang itu adalah jadwal kelas speaking tambahan yang suka rela kuambil demi membantu meningkatkan kemampuanku untuk bisa bercasciscus menggunakan bahasa asing yang merupakan jurusan kuliah yang sedang kuambil. Adalah Zi seorang pendatang baru hari itu bergabung di kelas speaking tersebut, padahal ia bukan mahasiswi IAIN Ar-Raniry. Zi adalah seorang Mahasiswi tingkat satu di sebuah SPK (Sekolah Perawat Kesehatan) di Banda Aceh yang ingin meningkatkan kemapuan Bahasa Inggrisnya. Segera saja hari itu, Zi langsung menjadi akrab denganku. Pasalnya penghuni kelas tersebut kebanyakannya adalah laki-laki. Jikapun bukan laki-laki, tak ada anak perempuan yang seumur denganku. Jadilah Azianti atau Zia alias Zian yang lebih suka kupanggil Zi itu langsung membuatku nyaman. Dan hari-hari selanjutnya dia sering mengajakku singgah ke kosannya atau sekadar jalan-jalan bareng setelah keluar dari kelas speaking tersebut. Selain karena pembawaannya yang asik, Zi juga pinter merajut. Di sela-sela istirahat, atau saat menunggu mentor kami hadir, Zi merajut ujung jilbab hijau mint yang dibawanya. Wah, aku yang benar-benar tak faham tentang skill tersebut tentu saja terpukau mengetahui bahwa Zi adalah perempuan sejati; pinter masak, bisa jahit dan merajut. Pinter merawat luka dan hati juga, eaaa. Kan anak SPK.

Begitulah kisah itu dimulai, kurasa… Hingga akhirnya Zi menjadi sahabatku, until now, meskipun kami sudah di penghujung kepala tiga. Sudah beranak pinak. Ups ..

Meskipun setelah selesai kuliah, Zi kembali ke kampungnya dan menikah, namun cerita kami terus berlanjut. Ketika kembar pertamanya lahir, Zi memintaku memilihkan nama. Aku yang baru saja menikah saat itu, mengiriminya beberapa pilihan nama anak kembar dan Ia memilih sepasang nama yang indah. Rajulus Syakir (Laki-laki yang bersyukur) dan Niswah Syakira (Perempuan yang bersyukur) resmi menjadi nama anak pertamanya. Bahagianya aku dan merasa sangat terhormat telah diizinkan ikut dalam memilih nama untuk anak-anak Zi.

Cerita selanjutnya adalah kisah-kisah yang berulang, Zi ke Banda Aceh, aku menjemputnya mutar-mutar Banda Aceh. Pernah sekali aku yang mengunjungi kotanya, tepatnya melewati kota tempat Zi tinggal. Zi menyamperiku dan suami di tempat kami menginap. Tapi aku tak bisa mengobrol lama, badan penat tak mau diajak bekerjasama setelah dua hari kami ngetrip keliling Aceh. Malam itu kami menginap di rumah kakeknya Runni, sahabat SMA-ku untuk besoknya melanjutkan perjalanan balik ke Banda Aceh. Tapi Zi selalu sama, dengan hati besarnya Ia selalu faham dan memaklumi segala situasi.

Beberapa belas tahun setelah itu, aku mendapat kesempatan untuk melanjutkan kuliah ke jenjang master di negeri Jiran, Malaysia. Dan Zi adalah satu-satunya yang pernah menginap di flat kontrakanku disana. Jika diingat-ingat, Zi adalah satu-satunya orang yang pernah mengunjungi semua rumah yang pernah kutinggali termasuk rumahku di Negeri Seberang. Hebat sekali dikau, Sobat.

Meskipun kami jarang berjumpa, namun ada beberapa fakta yang membuatku tercengang tentang Zi...   Ia perempuan yang baik, kuat, dan luwes ketika bergaul. Saat masih gadis, ibu kosnya sangat menyayanginya. Setelah menikah, Ia istri yang sangat sabar dan pengertian. Ia juga sangat bijak dan dewasa dalam menyikapi masalah. Tak heran jika aku selalu memilihnya menjadi penyimpan rahasia terbaikku. Kami berdua saling berbagi kisah agar bisa saling menguatkan. Aku sering bertanya dalam hati, sebenarnya kamu siapa ya, Zi? Allah sangat bermurah hati mengirimkan engkau kepadaku. Bahkan untuk urusan hutang berutangpun engkau juga menjadi salah satu estimasi awalku untuk bertanya, setelah mamak dan beberapa sahabat dekatku. Dan seperti biasa kau tak pernah menolak untuk meminjamiku berapapun yang kubutuhkan.

Suatu saat Zi pernah membuatku tercengang dengan pengakuan bahwa infaqnya sekarang semakin meningkat drastis, dia menyanggupi untuk membayar uang listrik dan air di masjid kampungnya. Dia semakin keren saja di mataku.

Pun ketika baru-baru ini dia berkeinginan mengajakku untuk menghadiri pernikahan kedua suaminya jika nanti suaminya benar-benar berniat menikah lagi. Ya Allah Zi… baru kali ini kujumpai wanita berhati lapang selapang hatimu.

Kata kawan-kawanku kan, Zi, jika kita izinkan suami menikah lagi itu tandanya kita sudah bosan. Tentu saja kau tak termasuk dalam salah seorang yang mereka maksud. Karena setiap kali mengunjungiku, Aku salalu mendengar kau menelpon dan mengobrol asik dengan suamimu. Selalu…

Fakta lainnya yang sangat kusuka darimu, entah mengapa aku tak pernah merasa direpotkan olehmu, meskipun setiap ke Banda Aceh kau selalu ingin kita berjumpa. Mungkin kau rindu, tapi sungguh rinduku lebih besar dari milikmu. Hingga suatu saat kau mengaku,  “ Zi mau sekolahkan si Abang Syakir di Banda Aceh, biar Zi bisa sering ke Banda, bisa sering-sering jumpa Noor.”

Bahagianya aku, Zi.. Bahagia sebahagia-bahagianya, mengingat bahwa nanti, kita akan semakin sering berjumpa.

Dan saat kau berada di kotaku, kau tak perlu lagi memberitahu. Ada semacam feeling yang selalu hadir, yang selalu memaksaku mengambil handphone untuk menelpon atau sekadar mengirimmu pesan, “Apa kabar, Zi?”

Dan jawabannya selalu sama, “Zi lagi di Banda Aceh ni.” Hihihi... Sudah kutebak!

Sekarang, setahun sudah sulungmu Syakir bersekolah di sebuah pesantren yang sangat bagus di Banda Aceh. Dalam setahun ini sudah lebih dari tiga kali kita berjumpa, saling berbagi kisah, saling menguatkan. Aku selalu menunggu dan merindukan saat-saat kau hadir lagi di kotaku.

Meskipun tahun pertama Syakir telah usai, namun masih ada dua tahun lagi Syakir menempuh pendidikan disini ya kan Zi? begitulah harapku dan tentu saja harapmu juga…

Tapi ternyata Allah berencana lain…

Pagi itu, dua minggu lalu, saat minggu pertama libur naik kelas baru saja dimulai, kau menelpon, bercerita bahwa Syakir sedang kurang sehat. Katamu kau hanya perlu didengarkan. Sambil menggoreng mie hun untuk brunch, sarapan pagi yang kesiangan, aku mendengar ceritamu dan menjawab beberapa pertanyaan yang kau ajukan.

Setelah sepuluh hari dari hari kau menelpon, aku teringat-ingat sekali kepadamu. Terbersit dalam hati, apa kau sedang di Banda Aceh, membawa Syakir check up? Lalu lepas magrib, aku mengambil smartphone di tangan gadis sulungku dan mengirimu pesan, “Assalamualaikum, Zi. Apa kabar? Si Abang sudah sehatkan? tanyaku.

Selang beberapa saat kau menelponku via WhatsApp, tapi tak kuangkat. Aku berlari mengambil HP biasa karena aku ingin menelpon lebih lama dan lebih terang dengan Handphone biasa, tanpa jeda seperti saat menelpon dengan WhatsApp.

Namun belum sempat kupencet nomormu, kau menelpon lagi, “Assalamualaikum, Noor.”

Alaikumsalam, kutelpon dengan HP biasa ya? Biar terang.” Pintaku.

“Tak usah, Noor. Zi hanya sebentar. Zi cuman mau ngabari, Syakir udah meninggal tadi pagi… Mohon doa ya Noor.” Ujarnya di seberang sana.

Aku tercekat mendengar kenyataan dan mendengar suaranya yang tenang, tak bergetar sedikitpun, tanpa nada emosi sedikitpun.

Ya Allah, Zi….

Aku terdiam tak bisa menjawab apa-apa sampai engkau berkata sebelum menutup telpon, nanti Zi cerita ya.”

“Bunda Zia kenapa Mi?” tanya sulungku melihat rautku yang berubah pucat.

“Anaknya udah pulang ke Allah, Sayang..”

“Ya Allah, jadi suaranya kok seperti ngomong biasa.. Bunda Zi gak sedih, Mi?

Ya Rabb.. Bagaimana Umi harus menjawab pertanyaanmu, Nak..

Umi enggak tau, Sayang, hati bunda Zi terbuat dari apa. Bunda Zi memang perempuan tegar. Bisikku lebih kepada diriku.

Aku benar-benar tak tau Zi, dari apa Allah menciptakan hatimu. Tapi satu yang pasti, untuk orang-orang yang spesial sepertimu, Allah punya rencana khusus, punya rencana istimewa yang tak seoranpun tau apa. Apapun yang telah dan akan kau jalani, tetaplah menjadi Zi yang kukenal. Zi, Sang Wonder Woman. Allah yubaarik fiik.

                                                                                                 Banda Aceh, 9 Juli 2021                                                                                                                                 Jum'at Malam yang hujan,

                                                                                                    -10:16 PM-

 

 

 

 

 

 

JOGJAKARTA

Entah kenapa, Aku dan Jogja tak bisa akur. Meskipun aku sudah merinduinya sekian lama, tetap saja ketika mengunjunginya sekali dalam seumur ...