“Noooor… Zi di Banda ni.” Suara teriakan Azianti sahabatku terdengar nyaring di ujung telpon selular yang baru saja berdering.
Setiap kali pesan seperti itu kudengar, maka
kemungkinan besar hari itu atau besoknya aku akan berganti peran dari seorang
guru menjadi tukang ojek keliling yang siap membawa sahabatku ini keliling Banda
Aceh.
Maka setelah tak lama basa-basi kami segera
membuat sebuah keputusan.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali aku sudah
berada di depan rumah kontrakan kakaknya Zi di seputaran Kuta Alam. Berhubung
hari ini hari dinas, maka hari ini aku akan membawanya ke sebuah tempat istimewa,
ke sebuah lapangan serbaguna di tengah kota Banda Aceh yang biasanya digunakan
oleh orang-orang untuk berolah raga. Tebak kami mau ngapain di lapangan milik
para tentara itu? Mau jogging? Oh no, no! Kebetulan hari ini aku
bertugas mengawal siswa-siswiku yang sedang mengadakan lomba program
ekstrakurikuler semesteran. Karena aku sedang piket, Zianti sahabatku juga ikut
berpiket bersamaku untuk mengontrol para bocah SMA ini berolahraga.
Setelah jadwal ekskul siswa selesai, saatnya
kami keliling Banda Aceh. Sekedar melihat-lihat atau throw back
tempat-tempat yang pernah kami lewati dulu saat masih gadis ataupun nongkrong
di tempat kuliner yang menyajikan makanan khas aceh.
Hari itu kami sengaja melewati daerah Rumah
Sakit Umum Zainal Abidin (RSUZA) untuk mengenang sesuatu. Dulu aku sering menunggunya
pulang di terminal depan RSUZA saat pulang kuliah untuk kemudian pulang ke
kosannya di belakang Masjid Al Makmur, Lamprik, Banda Aceh.
Seperti itulah tahun-tahun berlalu,
hingga suatu saat aku ingin mengingat-ingat lagi, kapan dan bagaimana ya dulu
kami bertemu. Bagaimana jalan takdir ini menjadikan kami teman baik meskipun
dia bukan teman SD atau SMP atau SMA ataupun teman kuliahku. Zi juga bukan
teman sekampungku yang seharusnya menjadi asbab kami menjadi dekat. Tak perlu
alasan dan sebab akibat ketika Allah memutuskan jalan takdir untuk kami menjadi sepasang sahabat.
Siang itu adalah jadwal kelas speaking
tambahan yang suka rela kuambil demi membantu meningkatkan kemampuanku untuk
bisa bercasciscus menggunakan bahasa asing yang merupakan jurusan kuliah
yang sedang kuambil. Adalah Zi seorang pendatang baru hari itu bergabung di
kelas speaking tersebut, padahal ia bukan mahasiswi IAIN Ar-Raniry. Zi
adalah seorang Mahasiswi tingkat satu di sebuah SPK (Sekolah Perawat Kesehatan)
di Banda Aceh yang ingin meningkatkan kemapuan Bahasa Inggrisnya. Segera saja
hari itu, Zi langsung menjadi akrab denganku. Pasalnya penghuni kelas tersebut kebanyakannya
adalah laki-laki. Jikapun bukan laki-laki, tak ada anak perempuan yang seumur
denganku. Jadilah Azianti atau Zia alias Zian yang lebih suka kupanggil Zi itu
langsung membuatku nyaman. Dan hari-hari selanjutnya dia sering mengajakku
singgah ke kosannya atau sekadar jalan-jalan bareng setelah keluar dari kelas
speaking tersebut. Selain karena pembawaannya yang asik, Zi juga pinter
merajut. Di sela-sela istirahat, atau saat menunggu mentor kami hadir, Zi
merajut ujung jilbab hijau mint yang dibawanya. Wah, aku yang benar-benar
tak faham tentang skill tersebut tentu saja terpukau mengetahui bahwa Zi
adalah perempuan sejati; pinter masak, bisa jahit dan merajut. Pinter merawat luka
dan hati juga, eaaa. Kan anak SPK.
Begitulah kisah itu dimulai, kurasa… Hingga akhirnya
Zi menjadi sahabatku, until now, meskipun kami sudah di penghujung kepala tiga.
Sudah beranak pinak. Ups ..
Meskipun setelah selesai kuliah, Zi kembali ke
kampungnya dan menikah, namun cerita kami terus berlanjut. Ketika kembar
pertamanya lahir, Zi memintaku memilihkan nama. Aku yang baru saja menikah saat
itu, mengiriminya beberapa pilihan nama anak kembar dan Ia memilih sepasang
nama yang indah. Rajulus Syakir (Laki-laki yang bersyukur) dan Niswah
Syakira (Perempuan yang bersyukur) resmi menjadi nama anak pertamanya. Bahagianya
aku dan merasa sangat terhormat telah diizinkan ikut dalam memilih nama untuk
anak-anak Zi.
Cerita selanjutnya adalah kisah-kisah yang
berulang, Zi ke Banda Aceh, aku menjemputnya mutar-mutar Banda Aceh. Pernah sekali
aku yang mengunjungi kotanya, tepatnya melewati kota tempat Zi tinggal. Zi
menyamperiku dan suami di tempat kami menginap. Tapi aku tak bisa mengobrol
lama, badan penat tak mau diajak bekerjasama setelah dua hari kami ngetrip
keliling Aceh. Malam itu kami menginap di rumah kakeknya Runni, sahabat SMA-ku
untuk besoknya melanjutkan perjalanan balik ke Banda Aceh. Tapi Zi selalu sama,
dengan hati besarnya Ia selalu faham dan memaklumi segala situasi.
Beberapa belas tahun setelah itu, aku mendapat
kesempatan untuk melanjutkan kuliah ke jenjang master di negeri Jiran, Malaysia.
Dan Zi adalah satu-satunya yang pernah menginap di flat kontrakanku disana.
Jika diingat-ingat, Zi adalah satu-satunya orang yang pernah mengunjungi semua
rumah yang pernah kutinggali termasuk rumahku di Negeri Seberang. Hebat sekali
dikau, Sobat.
Meskipun kami jarang berjumpa, namun ada
beberapa fakta yang membuatku tercengang tentang Zi... Ia perempuan yang baik, kuat, dan luwes
ketika bergaul. Saat masih gadis, ibu kosnya sangat menyayanginya. Setelah
menikah, Ia istri yang sangat sabar dan pengertian. Ia juga sangat bijak dan
dewasa dalam menyikapi masalah. Tak heran jika aku selalu memilihnya menjadi
penyimpan rahasia terbaikku. Kami berdua saling berbagi kisah agar bisa saling
menguatkan. Aku sering bertanya dalam hati, sebenarnya kamu siapa ya, Zi? Allah
sangat bermurah hati mengirimkan engkau kepadaku. Bahkan untuk urusan hutang
berutangpun engkau juga menjadi salah satu estimasi awalku untuk bertanya,
setelah mamak dan beberapa sahabat dekatku. Dan seperti biasa kau tak pernah
menolak untuk meminjamiku berapapun yang kubutuhkan.
Suatu saat Zi pernah membuatku tercengang
dengan pengakuan bahwa infaqnya sekarang semakin meningkat drastis, dia menyanggupi
untuk membayar uang listrik dan air di masjid kampungnya. Dia semakin keren
saja di mataku.
Pun ketika baru-baru ini dia berkeinginan
mengajakku untuk menghadiri pernikahan kedua suaminya jika nanti suaminya
benar-benar berniat menikah lagi. Ya Allah Zi… baru kali ini kujumpai wanita
berhati lapang selapang hatimu.
Kata kawan-kawanku kan, Zi, jika kita izinkan
suami menikah lagi itu tandanya kita sudah bosan. Tentu saja kau tak termasuk dalam
salah seorang yang mereka maksud. Karena setiap kali mengunjungiku, Aku salalu
mendengar kau menelpon dan mengobrol asik dengan suamimu. Selalu…
Fakta lainnya yang sangat kusuka darimu, entah
mengapa aku tak pernah merasa direpotkan olehmu, meskipun setiap ke Banda Aceh kau
selalu ingin kita berjumpa. Mungkin kau rindu, tapi sungguh rinduku lebih besar
dari milikmu. Hingga suatu saat kau mengaku, “ Zi mau sekolahkan si Abang Syakir di Banda
Aceh, biar Zi bisa sering ke Banda, bisa sering-sering jumpa Noor.”
Bahagianya aku, Zi.. Bahagia sebahagia-bahagianya,
mengingat bahwa nanti, kita akan semakin sering berjumpa.
Dan saat kau berada di kotaku, kau tak perlu
lagi memberitahu. Ada semacam feeling yang selalu hadir, yang selalu
memaksaku mengambil handphone untuk menelpon atau sekadar mengirimmu
pesan, “Apa kabar, Zi?”
Dan jawabannya selalu sama, “Zi lagi di Banda
Aceh ni.” Hihihi... Sudah kutebak!
Sekarang, setahun sudah sulungmu Syakir
bersekolah di sebuah pesantren yang sangat bagus di Banda Aceh. Dalam setahun
ini sudah lebih dari tiga kali kita berjumpa, saling berbagi kisah, saling
menguatkan. Aku selalu menunggu dan merindukan saat-saat kau hadir lagi di
kotaku.
Meskipun tahun pertama Syakir telah usai, namun
masih ada dua tahun lagi Syakir menempuh pendidikan disini ya kan Zi? begitulah
harapku dan tentu saja harapmu juga…
Tapi ternyata Allah berencana lain…
Pagi itu, dua minggu lalu, saat minggu pertama libur
naik kelas baru saja dimulai, kau menelpon, bercerita bahwa Syakir sedang
kurang sehat. Katamu kau hanya perlu didengarkan. Sambil menggoreng mie hun untuk
brunch, sarapan pagi yang kesiangan, aku mendengar ceritamu dan menjawab
beberapa pertanyaan yang kau ajukan.
Setelah sepuluh hari dari hari kau menelpon,
aku teringat-ingat sekali kepadamu. Terbersit dalam hati, apa kau sedang di Banda
Aceh, membawa Syakir check up? Lalu lepas magrib, aku mengambil smartphone
di tangan gadis sulungku dan mengirimu pesan, “Assalamualaikum, Zi. Apa
kabar? Si Abang sudah sehatkan? tanyaku.
Selang beberapa saat kau menelponku via
WhatsApp, tapi tak kuangkat. Aku berlari mengambil HP biasa karena aku
ingin menelpon lebih lama dan lebih terang dengan Handphone biasa, tanpa
jeda seperti saat menelpon dengan WhatsApp.
Namun belum sempat kupencet nomormu, kau
menelpon lagi, “Assalamualaikum, Noor.”
“Alaikumsalam, kutelpon dengan HP biasa
ya? Biar terang.” Pintaku.
“Tak usah, Noor. Zi hanya sebentar. Zi cuman mau
ngabari, Syakir udah meninggal tadi pagi… Mohon doa ya Noor.” Ujarnya di
seberang sana.
Aku tercekat mendengar kenyataan dan mendengar
suaranya yang tenang, tak bergetar sedikitpun, tanpa nada emosi sedikitpun.
Ya Allah, Zi….
Aku terdiam tak bisa menjawab apa-apa sampai
engkau berkata sebelum menutup telpon, nanti Zi cerita ya.”
“Bunda Zia kenapa Mi?” tanya sulungku melihat
rautku yang berubah pucat.
“Anaknya udah pulang ke Allah, Sayang..”
“Ya Allah, jadi suaranya kok seperti ngomong
biasa.. Bunda Zi gak sedih, Mi?
Ya Rabb.. Bagaimana Umi harus menjawab
pertanyaanmu, Nak..
Umi enggak tau, Sayang, hati bunda Zi terbuat
dari apa. Bunda Zi memang perempuan tegar. Bisikku lebih kepada diriku.
Aku benar-benar tak tau Zi, dari apa Allah
menciptakan hatimu. Tapi satu yang pasti, untuk orang-orang yang spesial
sepertimu, Allah punya rencana khusus, punya rencana istimewa yang tak
seoranpun tau apa. Apapun yang telah dan akan kau jalani, tetaplah menjadi Zi
yang kukenal. Zi, Sang Wonder Woman. Allah yubaarik fiik.
-10:16 PM-