Friday 18 April 2014

PERJALANAN MENUJU MASA LALU II


Setelah ia memberikan senyum yang lebih kutangkap sebagai sebuah isyarat itu. Iya pun menyebrangi jalan menuju ke arah kiri. Dan aku bagaikan terhipnotis dengan geraknya, kembali mengikutinya berjalan di bawah pohon-pohon asam jawa (bak mee) yang dengan rajin menggugurkan daun-daunnya yang berserakan di sepanjang trotoar ini. Sesampai di lapangan Kodam Neusu, pak tua berdiri sejenak dan menyapu-pandang ke seluruh areal komplek lapangan militer tersebut. Ia berdiri disitu hanya tiga menit. Iya, hanya tiga menit tak lebih dan kemudian kembali berbelok ke arah yang sama dan melewati tempatku berdiri sambil mengajakku untuk kembali mengikutinya dengan isyarat senyuman yang tak berubah.      


Aku kembali berjalan di mengikutinya. Namun aku tak lagi pasang jarak bermeter-meter seperti tadi. Aku kini berjalan di dekatnya walaupun tidak bersisi-sisian, tapi aku kini berada tepat di belakangnya.

Deretan-deretan pohon asam jawa yang telah menaungi kami kini telah semuanya terlewati. Yang tertinggal hanya sinar matahari jam 12.45 siang yang semakin galak menghantam kepala kami yang tak bertutup dengan sinarnya yang semakin mengganas. Ketika kembali berhasil menyebrang jalan, dan berada di sepanjang pagar gedung Anjong Mon Mata, azan dhuhurpun terdengar dari segala penjuru arah mata angin.

Pak tua tampak mempercepat langkahnya dan bergegas mendekati gerbang kawasan pribadi Meuligoe Gubernur Aceh tersebut. Aku sedikit bingung ketika melihat pak tua berbelok memasuki kawasan elit itu. 

Seorang security yang sedang bertugas jaga, tersenyum kepada sang bapak yang terlihat sedang mengucapkan sesuatu kepadanya. Kemudian si bapak kembali menoleh ke arahku dan berjalan segera menuju ke mesjid yang terletak bersambung dengan bangunan meuligoe gubernur itu.

Akupun mengikutinya dengan agak ragu karena khawatir diinterogasi oleh security meuligoe.

Ketika aku menapaki satu persatu tangga mesjid yang tak seberapa luas ini, aku melihat pak tua sudah selesai berwudhu dan berjalan tanpa alas kaki menuju pintu mesjid sebelah kanan yang khusus di peruntukkan untuk jamaah laki-laki.

Setelah shalat, aku melihat pak tua duduk di anak tangga ke tiga berwarna putih krem di depan pintu gerbang jemaah perempuan dimana tak seorang jamaahpun berada disana dhuhur ini. Aku yang ketinggalan dua rakaat setelahnya, kini juga ikut-ikutan duduk di sampingnya. Kebingungan dan rasa penasaran yang telah berotasi memenuhi rongga kepalaku telah berhasil menghilangkan rasa takutku untuk mendekatinya dan mulai membuka suara.

Aku berusaha mengeluarkan satu persatu pertanyaan yang kini telah menyesaki ruang otakku, namun aku tak tahu harus mulai dari mana. Akhirnya aku hanya memilih untuk berdiam diri sambil menatap ke arah sungai yang mengalir dengan deras di bawah areal masjid dan meligoe ini.

“Kau tau sungai apa ini, anak muda?” Itulah ucapan pertama yang membuka pembicaraan kami tanpa perkenalan seperti layaknya orang-orang yang baru pertama kali bertemu.

“Emm, saya tidak tau, Cek. Saya belum pernah masuk kemari. Hanya lewat-lewat saja di jalan depan pendopo.” Jawabku jujur.

“ Kau pernah dengar tentang Darul Ishky? Inilah dia Darul Ishky yang mengalir di seluruh kawasan kerajaan Darod Donya (2)” Ujarnya dengan tenang..

Aku terdiam sejenak ketika mendengar nama kerajaan yang tadi disebutnya. Nama itu terdengar begitu indah dan luar biasa. Untuk orang yang sedikit faham Bahasa Arab sepertiku, nama itu terdengar sedikit menggetarkan sampai bulu-bulu halus di lenganku dan tengkukku ikut berdiri karena mencoba percaya bahwa kerajaan kami dulu mempunyai nama sehebat itu.

Darod Donya,  Cek? Kenapa namanya Darod Donya?” Bukannya menjawab pertanyaannya tentang sungai saksi sejarah yang mengalir deras dan dapat kulihat dengan jelas di bawah sana, aku malah memberinya pertanyaan lain.

“Itu tugasmu, Anak muda.. Kau harus tahu kenapa kerajaan yg lebih dikenal dengan nama Aceh Darussalam dulunya bernama Darud Donya.”  

  

Rasa penasaran itu kini berdentang-dentang seperti bunyi jam di dalam kepalaku.

“Cek, Kenapa di taman sari ada tugu proklamasi?” Aku mencoba menyuguhinya pertanyaan lain.
Aku melihatnya tersenyum. Wajahnya tampak masih sangat segar walaupun uban telah memenuhi hampir di seluruh kepalanya. Wajah yang penuh dengan gurat optimisme itu kini menghadap ke arahku. Kini aku dapat dengan jelas memerhatikan bola matanya yang hitam dengan tulang mata yang agak menonjol ke atas, seperti mata nenekku. Aku selalu percaya bahwa bentuk mata itu adalah mata yang mempunyai pandangan paling tajam dan tatapan dari jenis mata seperti itu mampu menghujam langsung ke ulu hatimu.

“Kau sempat membaca pamplet yang berada di depan tugu itu?” Ia kemudian menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan yang lain.

“Iya, ada. Tapi saya rasa penjelasannya kurang nyambung. Tahunnyas aja berbeda dengan tahun proklamasi di Indonesia.” Ucapku mengingat tahun 1959 yang terpampang di pamplet tersebut.

“Iya, itu benar. Telah terjadi banyak pencucian sejarah selama beberapa abad ini. Hanya anak muda yang peduli sajalah yang bisa menjawab semua dan membersihkan kembali noda-noda yang ditoreh secara sengaja atau tidak dalam penceritaan kembali sejarah bangsa ini.”  Sejumput rasa khawatir dan takut menyusup diam-diam ke hatiku demi mendengar ucapannya.

Aku ingin bertanya berbagai macam hal kepadanya, tapi aku tak yakin dia akan menjawab semua pertanyaan-pertanyaanku dengan jelas. Ia hanya memberikan clue untukku dan kemudian ia seperti ingin agar aku memasuki gerbang masa lalu itu sendirian. Ia hanya datang mengantarkan sampai ke pintu dan penjelajahan yang dahsyat itu harus kujalani sendiri. Kurasa.
 
Jadi aku memutuskan untuk tidak lagi banyak bertanya. Ia kemudian bercerita. “Tempat-tempat dan jalan-jalan yg telah kita lalui hari ini adalah lingkungan ‘dalam’ kerajaan darud dunia yang telah dikuasai oleh puluhan bahkan ratusan raja-raja besar secara turun temurun. Nama ‘dalam’ kemudian diganti dengan nama Kuta Raja pada saat Belanda datang ke Aceh dahulu. Raja-Raja Aceh Lhee Sagoe tinggal di istana megah tempat pertama kali kita bertemu tadi. Dan meligoe ini adalah bagian dari lingkungan istana. Ada banyak tempat-tempat indah di lingkungan ‘dalam’ ini.     
  

                
Seperti Taman sari,Taman Sari Gunongan, Taman putro Phang dan Kherkhoff, semuanya adalah satu, yaitu tempat bermain para sulthan dan sulthanah kerajaan Darud Dunia yang lebih dikenal dengan sebutan TAMAN GHAIRAH (3). 

Yang kudengar dari cerita sahibut tarikh, dulu di lokasi Kherkhof itu ada sebuah taman yang indah khusus untuk putroe-putroe yang disebut dengan nama Taman Khairani. Sementara lapangan yang kita kunjungi tadi adalah Taman Khayali, dimana para raja dan pembesar istana menghabiskan waktu senggangnya disana untuk menonton pacuan kuda dan pacuan gajah. Kau tahu, Anak muda, menurut kabar yang kudengar, jumlah gajah yang dipunyai oleh kerajaan darud dunia mencapai 800 ekor .”



Rasa takut dan khawatir kini semakin membesar dalam hatiku, namun rasa kagumku yang terlanjur lebih besar telah mengalahkan rasa takut itu.

Aku takut pak tua itu mengada-ada. Atau mungkin ia benar-benar tahu yang sebenarnya. Tapi kalau semua yang dia katakan adalah sebuah kebenaran, lalu kenapa aku saja yang tidak tahu apa-apa tentang hal ini.
“Dan Darul ishky itu adalah sungai yang terindah yang mengalir di sepanjang keraajan dan berada di bawah seluruh bangunan-bangunan inti yang dijadikan tempat kediaman raja. “

Alam khayalku  kini dipenuhi oleh pemandangan sebuah film yang berjudul Lord of The Ring, ketika adegan para elves pulang ke daerahnya yang bernama Rivendell. Kilasan lain adalah beberapa ayat Al- Qur’an yang menerangkan tentang surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Tanpa sedikitpun bermaksud untuk membanding-bandingkan dunia yang hina ini dengan surga, aku hanya takjub dengan kehebatan peradaban masa lalu yang mampu menghadirkan view surgawi itu di lingkungan tempat tinggal mereka.
Rasa khawatir yang kini mulai berperang dari dalam hatiku membuatku tampat sedikit gelisah. Akupun beristighfar untuk menangkap kembali imajinasiku yang kini berterbangan entah kemana. Aku takut, takut sekali, bukan karena aku tak bisa percaya akan cerita-cerita yang telah kudengar. Aku hanya tak berani untuk mempercayai semua ini. 

Apa yang kau tahu tentang taman Putro Phang? Ujarnya lagi padahal aku yakin ia telah melihatku mulai tak tenang di tempat dudukku.

“Sebuah Taman yang di bangun Baginda sulthan Iskandar Muda untuk salah satu istrinya yang berasal dari Pahang.” Jawabku sesuai dengan berita dari buku yang pernah kubaca.

“Saya juga sering membaca seperti itu, selain itu menurut sirah lainnya, pembangunan Batu Pelinggam pinto khop itu dibuat oleh menantu Sulthan yg bernama Iskandar Tsani yang berasal dari Pahang. Namun menurut cerita yang kudengar secara turun temurun, taman itu memang sudah ada sejak dulu ketika ayah dan kakek Mengkuta Alam Sulthan Iskandar Muda (4) berkuasa, karena itu adalah taman permainan yang sudah turun temurun ada di kerajaan ini.  Nama Indera Bangsa yang dinisbatkan pada Batu pelinggam itu adalah gelar yang disandang oleh Ibunda Sulthan Iskandar Muda

“Pernahkah kau berkunjung ke museum, Anak muda?” Ia mencecarku dengan pertanyaan lain sebelum aku sempat sepenuhnya paham dengan penjelasannya tantang taman yang namanya dinisbatkan kepada nama sebuah daerah yang berada di daratan melayu sana.

“Museum tsunami, Cek?” Ucapku ragu-ragu.

“Museum Aceh, Anak muda. Kebanyakan anak muda zaman sekarang ketika kita bertanya tentang museum, yang ada di dalam kepala mereka adalah museum baru yang berdiri gagah dan mewah itu. Mereka bahkan lupa bahwa di tepian Darul Ishki telah lama berdiri sebuah museum yang sering juga disebut Rumoh Aceh. “  Aku mengangguk-angguk menyetujui pendapatnya. 

“Saya pernah beberapa kali kesana. Tapi saya tidak begitu tertarik dengan isinya. Saya hanya suka dengan surat-surat dari Sulthan Aceh kepada raja-raja dari daerah lain dan juga sebaliknya. Kebanyakan surat itu ditulis dalam bahasa Arab dan Bahasa Aceh, walaupun untuk Ratu Elizabeth I sekalipun. Selain itu saya juga melihat berbagai macam jenis bate jirat dengan berbagai ukuran dan bentuk di sana. Namun saya tidak dapat membedakan antara batu-batu tersebut.” Aku menjawab panjang lebar.



“Ada banyak barang berharga yang sudah dipindahkan dari Museum Aceh ke tempai-tempat lain di seluruh dunia. Tak perlu kau tanya apa alasannya.” Suara pak tua sedikit meninggi ketika mengucapkan kalimat itu. Ia tampak tak rela dengan apa yang telah berlaku atas nanggroe ini. 

“Dan jika kau ingin melihat lebih banyak lagi batu-batu bersejarah itu, carilah orang yang bisa membaca batu itu. Ajaklah mereka bermain-main ke Ulee Lhee. Pergilah ke sebuah tempat sejauh beberapa ratus meter dari jembatan Lampaseh Aceh yang berada di sebelah  kanan jalan. Di sisi sebuah rumah bertipe 36 yang kini dijadikan posko sebuah partai, kau akan menemukan sebuah belokan ke kiri. Lewatlah jalan itu, berjalanlah terus lurus ke arah Kampong Pande dan Kampong Jawa. Maka di sepanjang jalan itu, engkau akan menemukan puluhan bahkan ratusan bate-bate jirat (5) lain yang lebih besar dan lebih indah ukirannya yang kini berserakan di dalam rawa bakau di sepanjang jalan itu.” Cerita yang disampikan pak tua kini telah berhasil menambah cepat detak jantungku dan menambah dentuman di dalam kepalaku. 

“Kenapa Yah cek menyebut Ulee Lhee (Kepala Tiga) bukan Ulee Lheu?”  Tanyaku penasaran setelah tadi hanya berdiam diri mendengarkan penjelasannya yang semakin lama semakin terdengar runyam.

“Kerajaan Aceh Darussalam ini awalnya bernama Aceh Lhee Sagoe (6), dan Barisan Pantai Ulee Lhee adalah Sagoe ke tiga dari kerajaan besar itu, Nak. Dan tugasmu yang lain adalah mencari tahu dimana tempat yang disebut Sagoe satu dan Sagoe Dua.” Pak tua tak tampak ingin memberiku kesempatan lagi.
Ada sesuatu di balik semua ini, namun ia hanya memberiku kunci pembuka, tanpa penjelasan lain. Ia dengan sendirinya telah memberiku tugas yang amat banyak untuk kuselesaikan. Padahal beban ujian akhir lisanku yang akan kuikuti minggu depan sudah cukup membuatku amat kelelahan.

“Ketika kau pulang nanti, lewatilah jalan di belakang komplek Kodam, kau akan menemukan sesuatu disitu.” Kata-katanya seperti petuah seorang bajak laut dalam sebuah film petualangan besar yang sedang memberi petunjuk kepada anak buahnya yang akan memainkan peran utama menggantikan posisinya menuju ke arah tempat harta karun yang tak ternilai tersembunyi.

“Kenapa kita tak pergi sama-sama? “ Tanyaku kemudian berharap lawatan ini tidak berakhir disini. Dan kalaupun harus berakhir, paling tidak aku tak harus berjalan sendirian untuk kembali ke mesjid raya.

“Saya sudah dijemput.” Ia menunjuk ke arah seorang pemuda yang kini sedang berjalan perlahan-lahan mendekati kami.

“Kalau kau masih ingin melanjutkan lawatan ini, pergilah ke tempat-tempat yang dijaga dengan sangat ketat.”  Pak tua memberikan aku sebuah ‘kata kunci’  terakhir sebelum akhirnya si anak muda yang kutaksir seusia denganku kini berdiri tepat di samping kami dan langsung memotong pembicaraan kami.

“Aku telah mencari Abu ke maejid raya, dan sudah mutar-mutar di daerah sini semenjak usai shalat dhuhur tadi. Rupanya Abu disini. Ini sudah waktunya pulang.” Anak muda itu berucap dengan lembut kepada ayahnya seperti sedang merayu seorang anak kecil untuk ikut pulang bersamanya.

“Maaf, Bang, kalau Abu saya membuat abang bingung. Abu memang suka bercerita, tapi ceritanya tak usahlah Abang masukkan ke dalam hati. Dia hanya bercerita legenda dan mitos.”  Lelaki muda itu kini tersenyum tak enak kepadaku.

Kini akupun bangkit,ikut bersama mereka berjalan di belakang ayah dan anak itu agar aku tidak tertinggal sendirian di komplek elit ini.

Ketika tiba di pintu gerbang aku melihat anak muda yang menggunakan T-shirt berwarna putih tadi berjalan mendekati mobil innova berwarna hitam metalik dan membukakan pintu di sebelah kanan untuk ayahnya.
Lelaki tua itu melihat ke arahku dan kembali tersenyum dan berkata’ “Kau mau ikut, anak muda?”

Aku menggeleng lemah dan berkata tidak apa-apa. Tapi jawaban itu kini membuatku harus kembali berjalan menelusurui teriknya panas ba’da dhuhur sendirian ketika mobil berplat BL itu mulai beranjak dari samping gerbang kawasan Anjong Mon Mata menuju ke arah Simpang Lima taman sari .

Langkahku yang lunglai karena ditinggal sendiri di tengah misi besar mengunjungi keyajaan masa lalu ini, berjalan tergesa-gesa menyusuri pagar-pagar pendopo gubernur yang dihiasai dengan tulisan Asmaul Husna di sepanjang pagar setinggi 3 meter yang mengelilingi seluruh komplek pendopo tersebut.

Sesampai di sisi pagar yang mulai berputar ke arah kanan, aku tak melanjutkan langkahku menyusuri pagar itu. Namun aku memilih untuk menuju ke jalan seberang dan memasuki jalan kecil yang berada tepat di belakang komplek Kodam Banda Aceh seperti pesan yang telah diamanahkan oleh pak tua kepadaku.

Saat tiba di persimpangan kecil, akupun berbelok ke arah kanan yang menuju kembali ke jalan besar di depan mesjid raya. Setelah berjalan beberapa meter dari simpang dua, rasa lelahku terbayar dengan pemandangan indah yang telah kubayang-bayangkan bagaimana wujudnya sedari tadi. Sebuah komplek pemakaman yang terdiri dari beberapa makam besar berwarna coklat tanah tampak terawat dengan baik di balik pagar kawat setinggi 3 meter lebih . Aku berdiri dengan hati-hati di balik pagar dan mengamati kandang yang kuyakini juga milik orang-orang yang sangat hebat di masa lalu. Setelah beberapa saat mengamati, akupun kembali berjalan menelusuri jalan kecil di belakang komplek perumahan Kodam, karena merasa tak enak diperhatikan oleh beberapa orang yang sedang melintas di jalan itu.

Setibaku di ujung jalan, aku melihat sebuah pamplet bertuliskan kandang XII di atas sudut pagar kawasan Barata Department Store.

Ternyata petunjuk menuju kandang tadi ada disini, tapi banyak sekali orang yang tidak memperhatikan keberadaan tempat bersejarah itu. Mungkin karena jalan kecil di belakang komplek pribadi itu baru terbuka untuk umum beberapa tahun setelah bencana tsunami terjadi.

Kini tanpa menunggu lagi aku berjalan dengan hati-hati menuju ke seberang jalan untuk kembali ke masjid raya Baiturrahman tempat dimana aku telah meninggalkan kenderaanku dan bertemu dengan seorang laki-laki tua yang hingga diakhir pertemuan tadi, aku tak tahu siapakah dia sebenarnya. Rasa penasaran yang berputar-putar seperti sebuah tornado di dalam kepalaku, telah membuatku tak sempat untuk berfikir sedikitpun untuk berkenalan dengan sang Sahibut Tarikh, Si penjaga sejarah..

Aku tak tau harus percaya atau tidak tentang semua cerita yang telah kudengar hari ini. Aku berharap semua ini benar ,walaupun aku belum punya keberanian untuk percaya sepenuhnya. Ketika keraguan itu muncul dan aku menganggap bahwa semua ini hanyalah khayalan belaka, akupun mencubiti pinggangku yang kini telah terbaring dengan kelelahan yang luar biasa di atas lantai pulam teras Mesjid Raya Baiturrahman. Rasa sakit akan cubitan dan rasa lelah yang sangat luar biasa ini, telah menjawab bahwa perjalananku hari ini bukanlah mimpi.

Kemudian tanpa memperdulikan tulisan di pamplet-pamplet putih kecil itu, aku berusaha memejamkan mata ditemani angin sepoi-sepoi yang segera membasuh rasa lelahku dan segera mengantarkanku kepada mimpi yang sebenarnya.

Di alam bawah sadarku, hanya ada satu kalimat yang terus terngiang-ngiang dan tak mau pergi.

“Kalau kau masih ingin melanjutkan lawatan ini, pergilah ke tempat-tempat yang dijaga dengan sangat ketat.”

Ya, hanya itulah satu-satunya password yang akan menemaniku nanti, seandainya aku masih ingin melanjutkan perburuan menuju kejayaan masa lalu ini.



……………………
Foot notes :




3. Shahdan adalah pertemuan dewala Taman Ghairah itu yang pada Sungai Darul-Ishki itu, dua buah jambangan, bergelar Rambut Gemalai. Maka kedua belah tebing Sungai Darul Ishki itu di-turap-nya dengan batu panchawarna, bergelar Tebing Sangga Saffa.

Dan adalah kiri kanan tebing sungai arah ka-hulu itu dua buah tangga batu hitam di-ikat-nya dengan tembaga semburan seperti emas rupa-nya. Maka ada-lah di-sisi tangga arah ka-kanan itu suatu batu me-ngampar, bergelar Tanjong Indera Bangsa. Di-atas-nya suatu balai dulapan sagi, seperti peterana rupa-nya. Sana-lah hadharat Yang Mahamulia semayam mengail.

Dan di-sisi-nya itu sa-pohon buraksa terlalu rampak, rupa-nya seperti payong hijau. Dan ada-lah sama tengah Sungai Darul-Ishki itu sa-buah pulau bergelar Pulau Sangga Marmar. Di-kepala pulau itu sabuah batu mengampar, perusahan-nya seperti tembus, bergelar Banar Nila Warna. Dan ada-lah keliling pulau itu karang berbagai warna-nya, bergelar Karang Panchalogam. Di-atas Pulau Sanggar Marmar itu suatu pasu, ia-itu permandian, bergelar Sangga Sumak.

Dan ada-lah isi-nya ayer mawar yazdi yang amat merebak bau-nya, tutup-nya daripada perak, dan kelah-nya daripada perak, dan charak-nya daripada fidhah yang abyadh. Dan ada-lah kersek pulau terlalu elok rupa-nya, puteh seperti kapor barus.

 (BUSTANUSSALAATIN)

………………
Berdasarkan teks dari kitab tersebut kiranya dapat diketahui pada dasarnya bangunan Gunongan itu berdiri dengan tinggi 9,5 meter, menggambarkan sebuah bunga yang dibangun dalam tiga tingkat.
Tingkat pertama terletak di atas tanah dan tingkat tertinggi bermahkota sebuah tiang berdiri di pusat bangunan. Keseluruhan bentuk Gunongan adalah oktagonal (bersegi delapan). Serambi selatan merupakan lorong masuk yang pendek, tertutup pintu gerbang yang penyangganya sampai ke dalam gunung.

Peterana batu berukir berupa kursi bulat berbentuk kelopak bunga yang sedang mekar dengan lubang cekung di bagian tengah. Kursi batu ini berdiameter 1 m dengan arah hadap ke utara dan mempunyai tinggi sekitar 50 cm. Sekeliling peterana batu berukir berhiaskan arabesque berbentuk motif atau jaring jala.

Peterana batu berukir berfungsi sebagai tahta tempat penobatan sultan. Belum diketahui dengan pasti nama-nama sultan yang pernah dinobatkan di atas peterana batu berukir tersebut. Bustanus as salatin menyebutkan ada dua buah batu peterana, yaitu peterana batu berukir (kembang lela masyhadi) dan peterana batu warna nilam (kembang seroja). Namun yang masih dapat disaksikan hingga saat ini adalah peterana batu berukir kembang lela masyhadi yang terletak bersebelahan dengan Gunongan dan berada di sisi sungai.

Dalam komplek Gunongan tersebut juga dikatakan terdapat Kandang Baginda. Kandang Baginda ini merupakan sebuah lokasi pemakaman keluarga sultan Kerajaan Aceh, di antaranya makam Sultan Iskandar Tsani (1636-1641 M) sebagai menantu Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) dan istri Sulthanah Tajul Alam (1641-1670).

Bangunan kandang berupa teras dengan tinggi 2 m dikelilingi oleh tembok dengan ketebalan 45 cm dan lebar 18 m. Bangunan ini dibuat dari bahan bata berspesi kapur serta berdenah persegi empat dengan pintu masuk di sisi selatan.

Areal pemakaman terletak di tengah lahan yang ditinggikan. Konon lahan yang ditinggikan pernah dilindungi oleh sebuah bangunan pelindung. Pagar keliling Kandang mempunyai profil berbentuk tempat sirih dengan tinggi 4 meter.

Pagar ini diperindah dengan beragam ukiran berbentuk nakas, selimpat (segi empat), temboga (seperti hiasan tembaga). Mega arak-arakan (awan mendung) dan dewala (hiasan serumpun bunga dengan kelopak yang runcing dan bintang_seperti teratai), merupakan hiasan. Pada kolom tembok keliling berupa arabesque berbentuk pola suluran mengikuti bentuk segi empat.

Mega arak-arakan yaitu hiasan arabesque berupa awan mendung yang dibentuk dari suluran sebagai hiasan sudut pada bingkai dinding. Dewamala merupakan hiasan yang berbentuk menara-menara kecil berjumlah dua belas buah di atas tembok keliling terutama di bagian sudut, berbentuk bunga dengan kelopak daunnya yang runcing menguncup. Menurut sumber bangunan ini dibuat oleh orang Turki atas perintah Sulthan.

Di sisi barat Taman Ghairah (Gunongan) terdapat Medan Khairani yang merupakan sebuah padang luas dan diisi dengan pasir dan kerikil, dikenal dengan nama kersik batu pelinggam. Sebagian besar lahannya kini digunakan sebagai Kherkoff. Kompleks makam ini digunakan untuk menguburkan prajurit Belanda yang gugur dalam Perang Aceh (1873-1942).

Dalam Taman Ghairah juga dibangun lima unit balai dengan halaman pada tiap-tiap balai beserta teknik pembangunan dan kelengkapan ragam hiasnya. Balai merupakan bangunan panggung terbuka yang dibangun dari kayu dengan fungsi yang berbeda-beda.

Balai-balai tersebut antara lain Balai Kambang yang berfungsi sebagai tempat peristirahatan. Kemudian Balai Gading yang berfungsi sebagai pelaksanaan kenduri, Balai Rekaan Cina tempat peristirahatan yang dibangun oleh ahli bangunan dari Cina, Balai Keemasan tempat peristirahatan yang dilengkapi dengan pagar keliling dari pasir dan Balai Kembang Caya. Sayangnya, balai-balai yang disebutkan dalam kitab Bustanul Salatin saat ini sudah tidak ada yang tersisa.

Bangunan lain yang terdapat dalam Taman Ghairah ini adalah Pinto Khop (Pintu Biram Indrabangsa) yang secara bebas dapat diartikan dengan pintu mutiara keindraan atau kedewaan/raja-raja. Di dalam Busatanul Salatin disebut dengan Dewala.

Gerbang yang lebih dikenal dengan sebutan Pinto Khop ini merupakan pintu penghubung antara istana dengan Taman Ghairah. Pintu ini berukuran panjang 2 m, lebar 2 m dan tinggi 3 m. Pinto Khop ini terletak pada sebuah lembah sungai Darul Isyki (Krueng Daroy).

Dugaan sementara, tempat ini merupakan tebing yang disebutkan dalam Bustanul Salatin dan bersebelahan dengan sungai tersebut. Dengan adanya perombakan pada tata kota Banda Aceh dikemudian hari, Pinto Khop akhirnya tidak berada lagi dalam satu komplek dengan Taman Sari Gunongan (taman ini juga telah berubah dari arsitektur semula seperti yang digambarkan dalam kitab Bustanul Salatin).

Bangunan Pinto Khop dibuat dari bahan kapur dengan rongga sebagai pintu dan langit-langit berbentuk busur untuk dilalui dengan arah timur dan barat. Bagian atas pintu masuk berhiaskan dua tangkai daun yang disilang, sehingga menimbulkan fantasi (efek) figur wajah dengan mata dan hidung serta rongga pintu sebagai mulut.

Atap bangunan yang bertingkat tiga dihiasi dengan berbagai hiasan dalam bingkai-bingkai antara lain; biram berkelopak (mutiara di dalam kelopak bunga seperti yang ditemukan juga pada bangunan Gunongan) dan bagian puncak dihiasi dengan sangga pelinggam (mahkota berupa topi dengan bagian puncak meruncing).

Bagian atap merupakan pelana dengan modifikasi di empat sisi dan berlapis tiga. Pada sisi utara dan selatan dewala ini berkesinambungan dengan tembok tebal (tebal 50 m dan tinggi 130 meter) yang diduga merupakan pembatas antara lingkungan Dalam (kraton) dengan taman. Namun, lagi-lagi dikemudian hari tembok tersebut tidak diketemukan lagi akibat pembangunan tata ruang kota Banda Aceh.  (Boy Nasruddin Agus)

….dan tiada-lah hamba panjangkan kata beberapa dari kekayaan Allah s.w.t yang gharib. Dan sakalian dalam taman itu daripada sarwa bagai buah-buahan daripada buah serbarasa, dan buah tufah, dan buah anggor, dan buah tin, dan delima, dan buah manggista, dan buah rambutan…”.[]
(BUSTANUSSALAATIN)






REFERENSI :

1.     1.  Bustanussalatin (Syech Nuruddin Ar-Raniry)
2.      2.  Tarich Atjeh dan Nusantara jilid I.( H.M Zainuddin)
3.      3.  Reid, Anthony (1996) Indonesian Heritage; Early of Modern History
4.      4.  A. Hasymi (1994) Kebudayaan Aceh dalam Sejarah

……………………………………………………………………………………………………………………………………………………..



Saturday 5 April 2014

PERJALANAN MENUJU MASA LALU I


PERJALANAN meNuju MASA LALU 

Panas terik jam 10 pagi di atas kota Banda Aceh telah menyeretku menuju sebuah tempat yang paling menentramkan dan mendamaikan jiwa.. Tiada tempat lain yang lebih pantas disebut sebagai taman surga di tengah kota yang semakin hari semakin menggelora  dengan panasnya yang terik dan siap membakar emosi seluruh penghuninya, selain mahligai ini.

Hawa sejuk itu langsung mengaliri relung jiwaku yang tengah galau menghadapi ujian komprehensif yang akan kuikuti sepekan ke depan, begitu menapaki areal istana yang megah ini.

Demi menghalau gulana yang bersemayam di lubuk itu, kini aku berdiri di samping kanan bangunan angkuh nan perkasa sambil menyirami seluruh kepalaku dengan air sejuk yang tak pernah berhenti keluar dari faucet-faucet yang terpasang rapi berjejer di taman kanan istana.

Air yang sengaja kusiram ke atas kepala dan wajahku kini menetesi seluruh tengkuk dan kerah kaos berwarna abu-abu yang sedang kukenakan. Rasa segar yang segera mengalir ke seluruh tubuhku terasa sempurna, ketika kakiku berhasil mencapai tangga paling atas bangunan istemewa ini.

Hawa surgawipun langsung menghampiri tatkala aku memasuki gerbang kokoh nan menawan, menuju titik yang paling zero untuk bermunajat kepada-NYa di tengah terik dhuha yang semakin menyiksa.

Usai menunaikan empat rakaat yang ku bagi dua-dua. Aku memohon kepada-Nya agar Dia memudahkanku menghadapi ujian lisan akhirku pekan depan.

Rasa penat kemudian memaksa tubuhku untuk membaringkan dirinya sejenak di lantai pualam berwarna putih hitam bercampuran bercak abu-abu yang tampak seperti sebuah cermin besar, tanpa menghimbau larangan untuk tidur, yang tertulis dengan jelas di pamplet-pamplet putih yang tersandar di dinding masjid kebanggaan Nanggroeku ini.

Badanku yang setengah condong ke belakang dan sedang kutumpu dengan kedua lenganku, urung mendarat di lantai yang berkilau dan dingin itu, karena tiba-tiba aku melihat sesuatu yang aneh terjadi di depan mataku.

Seorang laki-laki berwajah tirus dengan kepala dipenuhi uban sedang berdiri di sudut paling kiri masjid raya ini. Berdirinya ia disana adalah hal yang lazim dan sering dilakukan oleh pengunjung lainnya. Namun adalah hal yang tak lagi sama, ketika aku melihat tangannya yang keriput sedang mengelus-elus tiang pilar kokoh berwarna putih seperti seorang balita yang sedang mempermainkan rambut boneka dengan ujung-ujung jarinya yang halus.

Laki-laki itu menengadahkan kepalanya ke atas seperti sedang memerhatikan sesuatu yang sudah sangat lama ia rindui.. Kemudian dia berjongkok sejenak dan mengetuk-ngetuk dasar tiang yang berwarna merah keemasan seperti warna gantungan paun di kalung yang sering dipakai oleh nenekku. Itu warna emas paon alias emas london, kata  nenekku. Dia mengetuk-ngetuk hiasan unik yang terukir di bagian bawah pillar itu beberapa kali dan tersenyum.

Kemudian kulihat ia mulai berjalan menuju tiang lain yang bersetentangan dengan tiang pertama tadi dan melakukan hal yang sama. Tak tampak ada jenuh di wajah yang sudah dipenuhi keriput itu, ketika ia mengulang hal itu terus menerus di setiap pillar yang sedang ia sentuhi.

Satu demi satu, tiang-tiang kokoh itu dielusnya dengan lembut, kemudian dia berjongkok sejenak mengusap-usap tangannya di atas ukiran unik berwarna emas kemerahan itu, sebuah kolaborasi yang indah antara tiang-tiang yang berdiri tegap dan kokoh yang ditopang oleh sebentuk lempeng berukiran indah dengan ukiran yang tak biasa. Pastilah lempengan itu adalah sebuah mahakarya sejati yang telah sangat lama menempel disitu. Namun keindahan yang telah bertahun-tahun menetap di bawah pilar-pilar tersebut telah membuat perhatian pengunjungnya tak lagi penuh kepadanya.

Tapi tak begitu halnya dengan pak tua yang sudah mulai berjalan ke arah barisan tengah yang dijadikan sebagai tempat shaf untuk muslimah. Dia masih saja menyentuhi satu persatu tiang-tiang yang dihampirinya. Aku mulai memerhatikan apakah ada orang lain yang sedang memerhatikan ulah aneh pak tua yang sedang memainkan aksi seolah-olah sedang berkomunikasi non verbal dengan tiang-tiang kokoh masjid ini.

Sesaat kemudian, mataku sempat menangkap beberapa orang pemuda, yang sedang beristirahat dan bersender di tiang dan dinding pualam di bagian samping sebelah kanan, ternyata juga sedang melakukan hal yang sama denganku. Mungkin bukan karena sengaja mereka memerhatikannya, tapi terlebih karena istirahat mereka terganggu ketika pak tua menghampiri tiang-tiang bernuansa sejuk yang sedang mereka gunakan sebagai sandaran. Kulihat pak tua tersenyum kepada penghuni tiang dan seolah meminta izin untuk sejenak mengganggu rehat mereka karena ia sedang ingin menyampaikan sesuatu kepada pilar yang sedang disentuhinya.

Ketika pak tua mulai berjalan ke sudut agak belakang dari shaf para muslimah, aku mulai bangkit dan mengekorinya dengan perlahan, tidak lagi memerhatikannya dari tempat dudukku tadi.. Aku berjalan dengan sangat pelan berharap dia tak tahu kalau ia sedang diikuti olehku, sambil sesekali aku menoleh ke arah para jemaah wanita yang sedang khusyuk melaksanakan shalat dhuha dan sebagian lainnya sedang terlihat beristirahat dengan Qur’an terbuka di tangan mereka.

Aku memerhatikan ketika posisi pak tua yang kini berada di tengah bagian belakang mesjid, dia terlihat menengadah ke atas dan memberi perhatian penuh ke arah kubah besar bewarna hijau dan kuning keemasan sebelum ia mengalihkan perhatiannya ke arah khattul ‘arabi yang tertulis dengan rapi dan padat di atas lempengan berbackground hijau dan putih yang tampak terawat.

Kuperhatikan dia sedang senang berlama-lama menegadahkan kepalanya ke atas. Mungkin dia sedang membaca tulisan yang sempit dan terlalu dempet itu. Mungkin juga hanya memperhatikannya. Entahlah.

Di saat menuju gerbang keluar, kulihat ia kembali berdiri berlama-lama menyentuh gerbang emas berwarna merah kuningan. Sejenak aku tertegun ketika menyadari bahwa gerbang itu adalah gerbang yang paling indah yang pernah kulihat di seluruh tempat yang pernah kudatangi. Ukiran-ukiran di gerbang yang mungkin terbuat dari kuningan itu, tak kalah indah bila dibandingkan dengan gambar-gambar mesjid Angung lainnya di seluruh penjuru dunia. Baru hari ini aku benar-benar menyadari dan memerhatikan gerbang elok nan menawan itu, padahal aku sering sekali berada disini. Tempat ini adalah destinasi terakhir ketika aku membutuhkan energi untuk bangkit dan untuk terus berusaha. Berada di dalam bangunan suci ini selalu berhasil membuatku mendapat aliran semangat baru. Selalu.. Tak pernah gagal.


Ketika pak tua hampir menyelesaikan sentuhan-sentuhannya terhadap pilar-pilar yang berada di dalam mesjid agung ini, dia berjalan keluar. Ia duduk berehat sejenak di anak-anak tangga pualam yang tampak seperti cermin yang bayangan wajahmu tampak samar di dalamnya. Aku kemudian tersenyum melihat pak tua menyelonjorkan kakinya ke dalam air jernih yang selalu mengalir di dalam saluran dari keramik berwarna krem putih bercampur sedikit warna abu-abu. Ingatanku tiba-tiba berpindah kepada sebuah cerita yang sering kudengar dari nenekku, tentang seorang ratu yang bernama Balqis yang tertipu oleh kebeningan lantai istananya yang telah direnovasi dalam waktu sepersekian detik oleh para tukang dari kerajaan Raja Sulaiman a.s. Ratu Balqis sampai harus mengangkat kainnya karena mengira lantai kaca itu adalah lantai yang dipenuhi air. Ada sedikiit kemiripan antara visualisasiku tentang istanaku ini dan istananya. Walaupun itu hanya sedikit.

Dia tak berlama-lama duduk disitu karena kulihat dia segera mengepit sandal berwarna hitam yang entah bermerek apa.

Tatkala ia mulai beranjak dari tempat ia mengambil sendalnya, ia sempat melihat ke arahku. Aku sedikit gelagapan mendapati  aku terangkap kamera retinanya karena ketahuan mengintai.
Sudah kepalang tanggung. Si pak tua sudah tahu ada kamera ccKornea yang sedari tadi merekam semua aktivitasnya. Akupun dengan rasa penasaran menggunung, kini berjalan mengekorinya berkeliling Mesjid Raya Baiturrahman(1).  

Aku berjalan agak jauh beberapa meter di belakangnya agar tak mengganggu kegiatannya menikmati bangunanan yang seolah-olah mempunya arti khusus untuknya.

Dari jarak sekitar lima meter di belakangnya, aku terus berjalan mengikuti pria tua yang kutaksir berumur sekitar 70-an itu. Sesekali ketika ia berhenti sambil menatap tiang-tiang yang sebagian juga tampak dari luar bangunan mesjid, akupun berhenti juga mengikutinya.

Setelah kami- pak tua dan aku yang hanya mengikuti semua hal yang dilakukannya sedari tadi- berada kembali di bagian depan mesjid, aku tanpa sengaja menemukan sesuatu yang luar bisa disini. Bukan seonggok harta karun yang tercecer di sepanjang  jalan yang sedang kulewati, melainkan aku baru menyadari bahwa mesjid megah ini mempunyai 40 tiang kokoh nan indah yang telah menopangnya selama berabad-abad. 

Ruginya aku, mengaku-ngaku sebagai seorang warga Aceh, namun baru hari ini aku benar-benar memperhatikan sebuah bangunan yang luar biasa, berkubah tujuh, yang lama sebelum aku lahir, telah teronggok tangguh di sini tak pernah gentar menghadapi penjajah, bahkan tsunami sekalipun tak membuatnya bergeming.

BAITURAHMAN DULU dan SEKARANG


Lelahnya berkeliling tak membuat pak tua tampak ingin kembali beristirahat sejenak.

Kini aku melihat ia menyeret langkah-langkah kakinya menuju gerbang sebelah kiri Mesjid Baiturrahman. Tampaknya ia akan segera meninggalkan lokasi mesjid agung ini. Rasa penasaran yang telah kusimpan sejak pertama kali aku melihat kelakuannya, membuatku masih ingin mengikuti langkah-langkah kakinya. Mungkin nanti ketika ia beristirahat, aku bisa pura-pura berbasa basi untuk kemudian bertanya berbagai macam pertanyaan yang sudah mulai berkecamuk di alam fikirku.

Pertanyaan-pertanyaan itu kemudian memaksa kakiku untuk juga mengarahkan langkah-langkahnya ke arah gerbang berbentuk kubah berwarna putih yang juga dihiasi dengan ornamen-ornamen yang sama dengan ornamen yang ada di dinding bagian atas mesjid raya. Dan akupun telah dengan sempurna melupakan misi keduaku hari ini, yakni megunjungi perpustakaan mesjid raya untuk memperoleh beberapa buku yang bisa kupakai sebagai referensi untuk ujian komprenhensifku.

Teriknya matahari tengah hari menjelang dhuhur menyengat ubun-ubunku tanpa ampun. Namun kakiku seperti juga kakinya terus bergerak  ke arah yang aku tak tahu akan mengarah kemana. Aku hanya mengekorinya dengan setia, hingga ia berhenti kembali di sebuah taman yang sering kami sebut dengan nama“Taman sari”. 

TAMAN SARI BANDA ACEH dari MASA ke MASA



 




Kini aku memperhatikannya sedang berdiri di depan sebuah monumen setinggi lebih kurang tiga meter. Dan tanpa sengaja aku menangkap sesungging senyum sinis terukir di bibirnya tatkala ia sedang memerhatikan sesuatu di monumen itu.

Ketika ia turun dan menuju sebuah pamplet  putih berisi keterangan tentang monumen itu, aku kemudian naik menjajaki anak-anak tangga berwarna merah bata yang  mengelilingi monumen yang berada tepat di seberang kids rock, sebuah seluncuran raksasa setinggi 9 meter yang berada tepat di posisi tower air dahulu.

Tepat di depan monumen aku terhenyak ketika membaca satu persatu kalimat yang terpahat di atas sebuah keramik besar berwarna agak keorenan. Monumen yang terlalu sering kulihat ketika aku berkunjung ke taman bermain ini atau ketika aku sedang duduk nongkrong bersama kawan-kawanku di cafĂ© Menara yg terletak tepat bersejejeran dengan tugu ini, ternyata adalah sebuah tugu bersejarah. Ini adalah TUGU PROKLAMASI yang  keberadaannya tidak diketahui oleh banyak orang. Jangankan untuk mengetahui alasan kenapa tugu bersejarah itu bisa berada di sebuah taman di tengah kota Banda Aceh, untuk menyadari keberadaannnya saja, kuyakin tak banyak yang memerhatikannya. Karena selama bertahun-tahun ini ada sebuah tugu lain yang berdiri tegak dan kokoh di sampingnya sebelum bencana tsunami merobohkan tower setinggi puluhan meter tersebut. Tower air itu telah menjadi icon tersendiri untuk taman ini.


Aku baru beranjak dari tugu proklamasi yang kini menambah kebingunganku akan asbab keberdaannya di situ, di sebuah provinsi yang jauh dari pusat ibu kota negara ini, ketika aku melihat pak tua kembali berjalan menelusuri trotoar yang terpasang setinggi setengah meter lebih tinggi dari posisi taman.    
Aku kembali mengikuti langkahnya yang masih tegap dan kuat setelah berdiri dan berjalan selama dua jam lebih. Padahal usianya menunjukkan bahwa umur sebanyak yang dipunyainya itu telah sering merampas kekuatan masa muda kita.

Keteduhan daun-daun pohon asan (angsana/redwood) yang terjulur dan melambai-melambai ditiup angin, sedikit membantuku untuk berlindung dari keganasan sinar mentari yang semakin hari semakin galak saja terhadap bumi yang ia seharusnya tunduk kepadanya, kepada khalifah yang menghuni bumi ini.  Atau mungkin para khalifah yang layak ditunduki dan dipatuhi mandatnya oleh seluruh alam itu, kini telah banyak yang tak menghargai diri. Seperti pemandangan yang sedang tertangkap indraku. Para muda mudi yang kulihat sedang berboncengan di jalan besar di depan kantor Departemen Agama Kota Banda Aceh  itu saja tak lagi menghargai diri mereka sendiri. Bagaimana aku menuntut matahari menghargai mereka.

Tepat sebelum lampu lalu lintas di persimpangan antara Taman Sari dan taman Putroe Phang berganti warna menjadi hijau kembali, aku telah berhasil menyusul bapak tua yang belum lagi kutahu siapa dia dan apa inginnya itu, untuk menyebrang ke sebelah kiri jalan dan berjalan menyebrangi lagi jalan besar menuju daerah Neusu itu dua kali. Hingga aku melihatnya kini memasuki sebuah gerbang putih yang sudah luntur warna catnya. Dan kini ia berjalan menyusuri sebuah tembok putih setinggi lebih dari 2 meter yang berbentuk persegi panjang. Bangunan ini sering kami sebut kandang.

Bangunan kandang berupa teras dengan tinggi 2 m lebih dikelilingi oleh tembok dengan ketebalan 45 cm dan lebar 18 meter. Bangunan ini dibuat dari bahan yang sangat kokoh yang terlihat seperti tanah liat, hingga tampak menyatu dan tak retak sedikitpun walaupun sudah berdiri sejak abad ke 17

JOGJAKARTA

Entah kenapa, Aku dan Jogja tak bisa akur. Meskipun aku sudah merinduinya sekian lama, tetap saja ketika mengunjunginya sekali dalam seumur ...