Saturday 5 April 2014

PERJALANAN MENUJU MASA LALU I


PERJALANAN meNuju MASA LALU 

Panas terik jam 10 pagi di atas kota Banda Aceh telah menyeretku menuju sebuah tempat yang paling menentramkan dan mendamaikan jiwa.. Tiada tempat lain yang lebih pantas disebut sebagai taman surga di tengah kota yang semakin hari semakin menggelora  dengan panasnya yang terik dan siap membakar emosi seluruh penghuninya, selain mahligai ini.

Hawa sejuk itu langsung mengaliri relung jiwaku yang tengah galau menghadapi ujian komprehensif yang akan kuikuti sepekan ke depan, begitu menapaki areal istana yang megah ini.

Demi menghalau gulana yang bersemayam di lubuk itu, kini aku berdiri di samping kanan bangunan angkuh nan perkasa sambil menyirami seluruh kepalaku dengan air sejuk yang tak pernah berhenti keluar dari faucet-faucet yang terpasang rapi berjejer di taman kanan istana.

Air yang sengaja kusiram ke atas kepala dan wajahku kini menetesi seluruh tengkuk dan kerah kaos berwarna abu-abu yang sedang kukenakan. Rasa segar yang segera mengalir ke seluruh tubuhku terasa sempurna, ketika kakiku berhasil mencapai tangga paling atas bangunan istemewa ini.

Hawa surgawipun langsung menghampiri tatkala aku memasuki gerbang kokoh nan menawan, menuju titik yang paling zero untuk bermunajat kepada-NYa di tengah terik dhuha yang semakin menyiksa.

Usai menunaikan empat rakaat yang ku bagi dua-dua. Aku memohon kepada-Nya agar Dia memudahkanku menghadapi ujian lisan akhirku pekan depan.

Rasa penat kemudian memaksa tubuhku untuk membaringkan dirinya sejenak di lantai pualam berwarna putih hitam bercampuran bercak abu-abu yang tampak seperti sebuah cermin besar, tanpa menghimbau larangan untuk tidur, yang tertulis dengan jelas di pamplet-pamplet putih yang tersandar di dinding masjid kebanggaan Nanggroeku ini.

Badanku yang setengah condong ke belakang dan sedang kutumpu dengan kedua lenganku, urung mendarat di lantai yang berkilau dan dingin itu, karena tiba-tiba aku melihat sesuatu yang aneh terjadi di depan mataku.

Seorang laki-laki berwajah tirus dengan kepala dipenuhi uban sedang berdiri di sudut paling kiri masjid raya ini. Berdirinya ia disana adalah hal yang lazim dan sering dilakukan oleh pengunjung lainnya. Namun adalah hal yang tak lagi sama, ketika aku melihat tangannya yang keriput sedang mengelus-elus tiang pilar kokoh berwarna putih seperti seorang balita yang sedang mempermainkan rambut boneka dengan ujung-ujung jarinya yang halus.

Laki-laki itu menengadahkan kepalanya ke atas seperti sedang memerhatikan sesuatu yang sudah sangat lama ia rindui.. Kemudian dia berjongkok sejenak dan mengetuk-ngetuk dasar tiang yang berwarna merah keemasan seperti warna gantungan paun di kalung yang sering dipakai oleh nenekku. Itu warna emas paon alias emas london, kata  nenekku. Dia mengetuk-ngetuk hiasan unik yang terukir di bagian bawah pillar itu beberapa kali dan tersenyum.

Kemudian kulihat ia mulai berjalan menuju tiang lain yang bersetentangan dengan tiang pertama tadi dan melakukan hal yang sama. Tak tampak ada jenuh di wajah yang sudah dipenuhi keriput itu, ketika ia mengulang hal itu terus menerus di setiap pillar yang sedang ia sentuhi.

Satu demi satu, tiang-tiang kokoh itu dielusnya dengan lembut, kemudian dia berjongkok sejenak mengusap-usap tangannya di atas ukiran unik berwarna emas kemerahan itu, sebuah kolaborasi yang indah antara tiang-tiang yang berdiri tegap dan kokoh yang ditopang oleh sebentuk lempeng berukiran indah dengan ukiran yang tak biasa. Pastilah lempengan itu adalah sebuah mahakarya sejati yang telah sangat lama menempel disitu. Namun keindahan yang telah bertahun-tahun menetap di bawah pilar-pilar tersebut telah membuat perhatian pengunjungnya tak lagi penuh kepadanya.

Tapi tak begitu halnya dengan pak tua yang sudah mulai berjalan ke arah barisan tengah yang dijadikan sebagai tempat shaf untuk muslimah. Dia masih saja menyentuhi satu persatu tiang-tiang yang dihampirinya. Aku mulai memerhatikan apakah ada orang lain yang sedang memerhatikan ulah aneh pak tua yang sedang memainkan aksi seolah-olah sedang berkomunikasi non verbal dengan tiang-tiang kokoh masjid ini.

Sesaat kemudian, mataku sempat menangkap beberapa orang pemuda, yang sedang beristirahat dan bersender di tiang dan dinding pualam di bagian samping sebelah kanan, ternyata juga sedang melakukan hal yang sama denganku. Mungkin bukan karena sengaja mereka memerhatikannya, tapi terlebih karena istirahat mereka terganggu ketika pak tua menghampiri tiang-tiang bernuansa sejuk yang sedang mereka gunakan sebagai sandaran. Kulihat pak tua tersenyum kepada penghuni tiang dan seolah meminta izin untuk sejenak mengganggu rehat mereka karena ia sedang ingin menyampaikan sesuatu kepada pilar yang sedang disentuhinya.

Ketika pak tua mulai berjalan ke sudut agak belakang dari shaf para muslimah, aku mulai bangkit dan mengekorinya dengan perlahan, tidak lagi memerhatikannya dari tempat dudukku tadi.. Aku berjalan dengan sangat pelan berharap dia tak tahu kalau ia sedang diikuti olehku, sambil sesekali aku menoleh ke arah para jemaah wanita yang sedang khusyuk melaksanakan shalat dhuha dan sebagian lainnya sedang terlihat beristirahat dengan Qur’an terbuka di tangan mereka.

Aku memerhatikan ketika posisi pak tua yang kini berada di tengah bagian belakang mesjid, dia terlihat menengadah ke atas dan memberi perhatian penuh ke arah kubah besar bewarna hijau dan kuning keemasan sebelum ia mengalihkan perhatiannya ke arah khattul ‘arabi yang tertulis dengan rapi dan padat di atas lempengan berbackground hijau dan putih yang tampak terawat.

Kuperhatikan dia sedang senang berlama-lama menegadahkan kepalanya ke atas. Mungkin dia sedang membaca tulisan yang sempit dan terlalu dempet itu. Mungkin juga hanya memperhatikannya. Entahlah.

Di saat menuju gerbang keluar, kulihat ia kembali berdiri berlama-lama menyentuh gerbang emas berwarna merah kuningan. Sejenak aku tertegun ketika menyadari bahwa gerbang itu adalah gerbang yang paling indah yang pernah kulihat di seluruh tempat yang pernah kudatangi. Ukiran-ukiran di gerbang yang mungkin terbuat dari kuningan itu, tak kalah indah bila dibandingkan dengan gambar-gambar mesjid Angung lainnya di seluruh penjuru dunia. Baru hari ini aku benar-benar menyadari dan memerhatikan gerbang elok nan menawan itu, padahal aku sering sekali berada disini. Tempat ini adalah destinasi terakhir ketika aku membutuhkan energi untuk bangkit dan untuk terus berusaha. Berada di dalam bangunan suci ini selalu berhasil membuatku mendapat aliran semangat baru. Selalu.. Tak pernah gagal.


Ketika pak tua hampir menyelesaikan sentuhan-sentuhannya terhadap pilar-pilar yang berada di dalam mesjid agung ini, dia berjalan keluar. Ia duduk berehat sejenak di anak-anak tangga pualam yang tampak seperti cermin yang bayangan wajahmu tampak samar di dalamnya. Aku kemudian tersenyum melihat pak tua menyelonjorkan kakinya ke dalam air jernih yang selalu mengalir di dalam saluran dari keramik berwarna krem putih bercampur sedikit warna abu-abu. Ingatanku tiba-tiba berpindah kepada sebuah cerita yang sering kudengar dari nenekku, tentang seorang ratu yang bernama Balqis yang tertipu oleh kebeningan lantai istananya yang telah direnovasi dalam waktu sepersekian detik oleh para tukang dari kerajaan Raja Sulaiman a.s. Ratu Balqis sampai harus mengangkat kainnya karena mengira lantai kaca itu adalah lantai yang dipenuhi air. Ada sedikiit kemiripan antara visualisasiku tentang istanaku ini dan istananya. Walaupun itu hanya sedikit.

Dia tak berlama-lama duduk disitu karena kulihat dia segera mengepit sandal berwarna hitam yang entah bermerek apa.

Tatkala ia mulai beranjak dari tempat ia mengambil sendalnya, ia sempat melihat ke arahku. Aku sedikit gelagapan mendapati  aku terangkap kamera retinanya karena ketahuan mengintai.
Sudah kepalang tanggung. Si pak tua sudah tahu ada kamera ccKornea yang sedari tadi merekam semua aktivitasnya. Akupun dengan rasa penasaran menggunung, kini berjalan mengekorinya berkeliling Mesjid Raya Baiturrahman(1).  

Aku berjalan agak jauh beberapa meter di belakangnya agar tak mengganggu kegiatannya menikmati bangunanan yang seolah-olah mempunya arti khusus untuknya.

Dari jarak sekitar lima meter di belakangnya, aku terus berjalan mengikuti pria tua yang kutaksir berumur sekitar 70-an itu. Sesekali ketika ia berhenti sambil menatap tiang-tiang yang sebagian juga tampak dari luar bangunan mesjid, akupun berhenti juga mengikutinya.

Setelah kami- pak tua dan aku yang hanya mengikuti semua hal yang dilakukannya sedari tadi- berada kembali di bagian depan mesjid, aku tanpa sengaja menemukan sesuatu yang luar bisa disini. Bukan seonggok harta karun yang tercecer di sepanjang  jalan yang sedang kulewati, melainkan aku baru menyadari bahwa mesjid megah ini mempunyai 40 tiang kokoh nan indah yang telah menopangnya selama berabad-abad. 

Ruginya aku, mengaku-ngaku sebagai seorang warga Aceh, namun baru hari ini aku benar-benar memperhatikan sebuah bangunan yang luar biasa, berkubah tujuh, yang lama sebelum aku lahir, telah teronggok tangguh di sini tak pernah gentar menghadapi penjajah, bahkan tsunami sekalipun tak membuatnya bergeming.

BAITURAHMAN DULU dan SEKARANG


Lelahnya berkeliling tak membuat pak tua tampak ingin kembali beristirahat sejenak.

Kini aku melihat ia menyeret langkah-langkah kakinya menuju gerbang sebelah kiri Mesjid Baiturrahman. Tampaknya ia akan segera meninggalkan lokasi mesjid agung ini. Rasa penasaran yang telah kusimpan sejak pertama kali aku melihat kelakuannya, membuatku masih ingin mengikuti langkah-langkah kakinya. Mungkin nanti ketika ia beristirahat, aku bisa pura-pura berbasa basi untuk kemudian bertanya berbagai macam pertanyaan yang sudah mulai berkecamuk di alam fikirku.

Pertanyaan-pertanyaan itu kemudian memaksa kakiku untuk juga mengarahkan langkah-langkahnya ke arah gerbang berbentuk kubah berwarna putih yang juga dihiasi dengan ornamen-ornamen yang sama dengan ornamen yang ada di dinding bagian atas mesjid raya. Dan akupun telah dengan sempurna melupakan misi keduaku hari ini, yakni megunjungi perpustakaan mesjid raya untuk memperoleh beberapa buku yang bisa kupakai sebagai referensi untuk ujian komprenhensifku.

Teriknya matahari tengah hari menjelang dhuhur menyengat ubun-ubunku tanpa ampun. Namun kakiku seperti juga kakinya terus bergerak  ke arah yang aku tak tahu akan mengarah kemana. Aku hanya mengekorinya dengan setia, hingga ia berhenti kembali di sebuah taman yang sering kami sebut dengan nama“Taman sari”. 

TAMAN SARI BANDA ACEH dari MASA ke MASA



 




Kini aku memperhatikannya sedang berdiri di depan sebuah monumen setinggi lebih kurang tiga meter. Dan tanpa sengaja aku menangkap sesungging senyum sinis terukir di bibirnya tatkala ia sedang memerhatikan sesuatu di monumen itu.

Ketika ia turun dan menuju sebuah pamplet  putih berisi keterangan tentang monumen itu, aku kemudian naik menjajaki anak-anak tangga berwarna merah bata yang  mengelilingi monumen yang berada tepat di seberang kids rock, sebuah seluncuran raksasa setinggi 9 meter yang berada tepat di posisi tower air dahulu.

Tepat di depan monumen aku terhenyak ketika membaca satu persatu kalimat yang terpahat di atas sebuah keramik besar berwarna agak keorenan. Monumen yang terlalu sering kulihat ketika aku berkunjung ke taman bermain ini atau ketika aku sedang duduk nongkrong bersama kawan-kawanku di café Menara yg terletak tepat bersejejeran dengan tugu ini, ternyata adalah sebuah tugu bersejarah. Ini adalah TUGU PROKLAMASI yang  keberadaannya tidak diketahui oleh banyak orang. Jangankan untuk mengetahui alasan kenapa tugu bersejarah itu bisa berada di sebuah taman di tengah kota Banda Aceh, untuk menyadari keberadaannnya saja, kuyakin tak banyak yang memerhatikannya. Karena selama bertahun-tahun ini ada sebuah tugu lain yang berdiri tegak dan kokoh di sampingnya sebelum bencana tsunami merobohkan tower setinggi puluhan meter tersebut. Tower air itu telah menjadi icon tersendiri untuk taman ini.


Aku baru beranjak dari tugu proklamasi yang kini menambah kebingunganku akan asbab keberdaannya di situ, di sebuah provinsi yang jauh dari pusat ibu kota negara ini, ketika aku melihat pak tua kembali berjalan menelusuri trotoar yang terpasang setinggi setengah meter lebih tinggi dari posisi taman.    
Aku kembali mengikuti langkahnya yang masih tegap dan kuat setelah berdiri dan berjalan selama dua jam lebih. Padahal usianya menunjukkan bahwa umur sebanyak yang dipunyainya itu telah sering merampas kekuatan masa muda kita.

Keteduhan daun-daun pohon asan (angsana/redwood) yang terjulur dan melambai-melambai ditiup angin, sedikit membantuku untuk berlindung dari keganasan sinar mentari yang semakin hari semakin galak saja terhadap bumi yang ia seharusnya tunduk kepadanya, kepada khalifah yang menghuni bumi ini.  Atau mungkin para khalifah yang layak ditunduki dan dipatuhi mandatnya oleh seluruh alam itu, kini telah banyak yang tak menghargai diri. Seperti pemandangan yang sedang tertangkap indraku. Para muda mudi yang kulihat sedang berboncengan di jalan besar di depan kantor Departemen Agama Kota Banda Aceh  itu saja tak lagi menghargai diri mereka sendiri. Bagaimana aku menuntut matahari menghargai mereka.

Tepat sebelum lampu lalu lintas di persimpangan antara Taman Sari dan taman Putroe Phang berganti warna menjadi hijau kembali, aku telah berhasil menyusul bapak tua yang belum lagi kutahu siapa dia dan apa inginnya itu, untuk menyebrang ke sebelah kiri jalan dan berjalan menyebrangi lagi jalan besar menuju daerah Neusu itu dua kali. Hingga aku melihatnya kini memasuki sebuah gerbang putih yang sudah luntur warna catnya. Dan kini ia berjalan menyusuri sebuah tembok putih setinggi lebih dari 2 meter yang berbentuk persegi panjang. Bangunan ini sering kami sebut kandang.

Bangunan kandang berupa teras dengan tinggi 2 m lebih dikelilingi oleh tembok dengan ketebalan 45 cm dan lebar 18 meter. Bangunan ini dibuat dari bahan yang sangat kokoh yang terlihat seperti tanah liat, hingga tampak menyatu dan tak retak sedikitpun walaupun sudah berdiri sejak abad ke 17
. Dindingnya berspesi kapur serta berdenah persegi empat dengan pintu masuk di sisi selatan.

Areal pemakaman terletak di tengah lahan yang ditinggikan. Konon lahan yang ditinggikan pernah dilindungi oleh sebuah bangunan pelindung. Pagar keliling kandang mempunyai profil berbentuk tempat sirih dengan tinggi 4 meter.

Pagar ini diperindah dengan beragam ukiran berbentuk nakas, selimpat (segi empat), temboga (seperti hiasan tembaga). Mega arak-arakan (awan mendung) dan dewala (hiasan serumpun bunga dengan kelopak yang runcing dan bintang seperti teratai), merupakan hiasan. Pada kolom tembok keliling berupa arabesque berbentuk pola suluran mengikuti bentuk segi empat.

Mega arak-arakan yaitu hiasan arabesque berupa awan mendung yang dibentuk dari suluran sebagai hiasan sudut pada bingkai dinding. Dewamala merupakan hiasan yang berbentuk menara-menara kecil berjumlah dua belas buah di atas tembok keliling terutama di bagian sudut, berbentuk bunga dengan kelopak daunnya yang runcing menguncup. Menurut sumber bangunan ini dibuat oleh orang Turki atas perintah Sulthan.

Konon, katanya kandang itu adalah kuburan yang dibuat oleh Sri Ratu Tajul Alam Safaituddin untuk suaminya tercinta Sulthan Iskandar Tsani. Demi rasa cintanya yang sangat besar terhadap suaminya, Sri Ratu Safaituddin menganugrahinya sebuah keranda berlapis emas. Parsis seperti cerita Taj Mahal, hanya jenis kelamin subjek dan objek pelakunya saja yang berbeda.  

 



Disisi kandang yang besar itu, terlihat sebuah arsitektur lain yang berbentuk seperti sekuntum bunga. Tampak seperti bunga seroja yang belum mekar sepenuhnya. Bangunan itu sering kami sebut dengan nama gunongan. Menurut buku sejarah yang aku baca selama ini dikatakan, bahwa pada dasarnya bangunan gunongan itu berdiri dengan tinggi 9,5 meter, menggambarkan sebuah bunga yang dibangun dalam tiga tingkat.


Tingkat pertama terletak di atas tanah dan tingkat tertinggi bermahkota sebuah tiang berdiri di pusat bangunan. Keseluruhan bentuk gunongan adalah oktagonal (bersegi delapan). Serambi selatan merupakan lorong masuk yang pendek, tertutup pintu gerbang yang penyangganya sampai ke dalam gunung.

Gunongan itu adalah buah karya utoh-utoh (tukang) di masa kerajaan Perkasa Alam Sulthan Iskandar Muda. Gunongan dibangunnya untuk tempat permainan istrinya yang berasal dari Pahang. Bangunan itu sebenarnya adalah bagian dari taman yang terletak di seberang jalan yang sering kami sebut sebagai taman Putro Phang.


Dulu taman yang kini berada di sebelah kiri jalan raya menuju lapangan kodam Banda Aceh bersambung dengan taman gunongan ini. Namun sekarang sebuah jalan selebar 6 meter telah memisahkan taman itu menjadi 2 buah tempat wisata yang berbeda.       
 
Aku tak begitu memperhatikan apa yang dilakukan pak tua di dalam sana. Karena aku yg sudah benar-benar kelelahan lebih memilih untuk duduk di depan pintu gerbang menuju taman, sambil meminum air tebu dingin yang baru saja kubeli..Bodohnya aku, baru tersadar, kenapa aku tidak mengikuti pak tua dengan membawa motorku agar aku tak kelelahan seperti ini.

Lamunanku tentang motor yang seharusnyaa ikut dalam perjalanan ini, buyar ketika aku melihat pak tua mulai berjalan menyebrangi lagi jalan menuju ke arah taman Putro Phang. Akupun kembali bangun mengikutinya. Pak tua masih saja tidak mengucapkan sepatah katapun ketika melewatiku. Iya hanya tersenyum dan aku membaca matanya mengajakku untuk kembali ikut dalam pengembaraan yang tak tentu ujungnya ini.

Dengan segera akupun berhati-hati menyebrangi lagi jalan dan mengikutinya dengan sedikit tergopoh-gopoh karena kini baju kemeja berwarna coklat muda yg dikenakan laki-laki tadi sudah tak lagi tampak, menghilang di belokan pagar taman Putro Phang. 

Akupun berlari mengejar laki-laki tua itu agar tak kehilangan jejaknya, hingga kemudian aku melihatnya berbelok lagi ke arah kiri memasuki gerbang taman Putro Phang.

Aku kemudian berjalan mengikutinya dan memperhatikan apa yang akan diperbuatnya di taman itu setelah tadi aku sempat melewatkan aksinya di Taman Sari Gunongan karena sudah terlalu kelelahan, hingga aku hanya menungguinya di gerbang sambil mengusir rasa hausku dengan air tebu yang kini kantongnya masih di tanganku.

Aku melihat pak tua berjalan ke arah jembatan berayun berwarna putih yang berada di sebelah kanan  taman. Dia berdiri disana memerhatikan sebuah monumen mirip sebuah pintu gerbang yang berbentuk agak runcing dengan ukiran bunga-bunga di atasnya. Menurut yang kubaca dari buku-buku sejarah, pintu ukir ini memiliki lebar 2 meter, panjang 2 meter, serta tinggi 3 meter, terletak tepat di tengah Sungai Darul Asyiki atau Darul Ishki yang kini lebih dikenal dengan sebutan nama Krung Daroy.


 Langit-langitnya atau rongga pintu berbentuk lengkungan busur dengan ukiran barat-timur. Lalu, ornamen-ornamen yang menghiasi bangunan ini juga didominasi oleh motif sulur-suluran. Bagian atapnya memiliki tiga tingkatan, dengan ornamen dalam bingkai-bingkai. Puncaknya adalah mahkota dengan sudut meruncing.

Aku duduk agak jauh dari jembatan sambil mataku tak lepas-lepas nya memandang ke arah Pinto Khop yang juga terkenal dengan nama Pintu Biram Indra Bangsa yang dikelilingi oleh sungai yang kini airnya tak lagi bersih. Kemudian pandanganku berpindah lagi ke arah pak tua secara bergantian. Setelah berdiri beberapa menit di bawah panas terik di tengah jembatan, aku melihat dia mulai beranjak kembali menuju ujung jembatan yang bergoyang-goyang seirama dengan langkah kakinya. Ia kemudian turun dan langsung kembali ke arah pintu keluar.  

Tadinya aku memperkirakan bahwa ia akan berjalan mengelilingi taman yang indah ini. Namun ternyata ia hanya datang dan berdiri saja di atas jembatan kanan tanpa ingin berputar dan menginjakkan kakinya di jembatan sebelah kiri taman.

Akupun beranjak dari tempat dudukku utuk kembali mengikutinya dari belakang. Kini baju kaos abu-abu yang kupakai telah kuyup dengan keringat, begitu juga dengan baju coklat pak tua yang telah basah setengahnya dapat kulihat dengan jelas karena kini ia hanya berjarak 2 meter di depanku.

Langkahnya kini agak di percepat munelusuri trotoar di sepanjang Taman Putro Phang. Di ujung jalan tepat di persimpangan, kulihat papan-papan berwarna hijau tegak berjejer bertuliskan Asma ul Husna di sepanjang jalan. Aku melihat pak tua kembali berhenti disitu dan menoleh ke arahku yang masih menjaga jarak 2 meter darinya. Dia masih tersenyum dengan senyum yang sama ketika tadi melihatku di mesjid raya.

BERSAMBUNG..

1 comment:

JOGJAKARTA

Entah kenapa, Aku dan Jogja tak bisa akur. Meskipun aku sudah merinduinya sekian lama, tetap saja ketika mengunjunginya sekali dalam seumur ...