Thursday 19 August 2021

KANTONG BELANJA ADIBA

Prolog

Teet, teet, suara klakson yang terdengar dari belakang mobil ayah berhasil mengalihkan perhatian Adiba yang sedang menatap sebuah papan iklan besar berhias foto bapak Wali Kota Banda Aceh yang berisi iklan tentang kebijakan berbelanja tanpa kantong plastik yang tertuang dalam peraturan Wali Kota No.111 tahun 2020 tentang pembatasan penggunaan kantong plastik sekali pakai di swalayan, supermarket, dan mall. Kata Ayah, kebijakan itu baru diluncurkan 5 juni 2021 lalu.

Iklan yang baru saja dilihatnya membuat Adiba melamun sepanjang jalan pulang. Ia mengingat kenangan dua tahun lalu saat dia baru saja menyelesaikan ujian terakhirnya di sekolah dasar.

***

Suatu sore yang hujan, saat Adiba dan kedua adiknya sedang menatap tetes-tetes hujan di luar jendela, mereka melihat ayahnya keluar dari mobil dan berlari ke arah rumah sambil melambaikan tangan ke arah mereka. “Ayah pulang, ayah pulang,” teriak Adiba dan kedua adiknya sambil berlari untuk berebut membukakan pintu untuk ayah.

“Kopi, Bang?” tanya ibu Adiba sambil mengambil mantel hujan dan tas kerja suaminya.

“Boleh.” Jawab ayah Adiba sambil berlalu ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Setelah selesai membersihkan diri, ayah Adiba menuju sofa yang ada di ruang keluarga. “Ayah, Ayah, Ayah.” Ketiga bocah kecil menyerbu sang ayah.

“Haha, maaf ya, hari ini ayah terlambat pulang. Ada sesuatu yang harus ayah bereskan di kantor. Kalian pasti dari tadi menunggu ayah, kan?” Ayah bertanya dengan penuh rasa percaya diri sambil merangkul ketiga anaknya.

“Gak kok biasa aja.” Zacki membalas candaan ayahnya. 

“Iya tu, iya. abang bohong. Padahal dari tadi kami udah lama tunggu ayah pulang.” Ujar si bungsu Muluki polos.

“Ini kok pada ngepung ayah semua. Pindah dulu biar ayah bisa duduk di atas.” Ibu mengambil Muluki dari pelukan ayahnya.

Meskipun demikian Adiba dan Zacki tidak mau melepaskan genggaman mereka dari lengan ayah, “aduh sayang, duduk manis dulu ya, ayah punya kabar besar.” Ujar ayah Adiba agar kedua anak kesayangannya mau duduk manis di sampingnya.

“Kabar besar apa, bilang terus, bilang terus, kami jadi penasaran!” Adiba dan Zacki mendesak ayah.

Ayah Adiba tersenyum sambil mengeluarkan amplop yang rapi dari belakang badannya.

“Waaah apa itu, Ayah?” tanya si Muluki kecil sambil memegang boneka teddy bear-nya. ayah Adiba hanya tersenyum sambil melihat ke arah istrinya.

Ayah menyerahkan amplop di tangannya kepada ibu Adiba. “Ibu, Ibu, apa isinya?” Tanya Adiba tak sabar.

“Isinyaaaa,” jawaban ibu Adiba menggantung membuat anak-anaknya semakin penasaran.

“Ayah dapat hadiah jalan-jalan dinas ke Malaysia.”

“Ye ye, ye yey,  sontak ketiga anaknya melompat-lompat dan berputar ria mendengar berita tersebut.

“Tapi, ada tapinya. Jalan-jalannya ke Kantor Imigrasi di Pulau Pinang. Tempat ayah kerja praktek saat kuliah dulu.” Lanjut ayah Adiba.

“Abang ikut, adek ikut,” kata kedua adik Adiba sambil memeluk bahu ayahnya.

“Oke, nanti kita bahas lagi ya. Sudah magrib, yuk kita shalat dulu.” Ayah menyudahi suara gaduh yang ditimbulkan anak-anak seiring suara azan yang terdengar dari Menasah (surau).

Ketiga anak Pak Hasan bergegas ke kamar mandi dan mempersiapkan keperluan shalat mereka.

Setelah makan malam usai, acara santai keluarga Pak Hasan masih membahas perihal keberangkatan ayahnya ke Malaysia. Malam itu Adiba dan kedua adiknya bermimpi menaiki pesawat ke Pulau Pinang, Malaysia. Adiba sangat bersemangat. Ia benar-benar berharap bisa pergi ke Malaysia bersama ayahnya, sementara Zacki tidak tidur lelap karena terus-menerus bermimpi soal Malaysia.

Sementara ayah dan ibu Adiba juga tidak bisa tidur karena ternyata tiket yang disediakan hanya dua. Ayah dan ibu Adiba bingung memutuskan siapa yang harus pergi. Akhirnya mereka berdua setuju untuk membawa Adiba sebagai hadiah Adiba karena Adiba baru saja menyelesaikan Ujian Nasional tingkat sekolah dasar dengan baik.  Ibu Adiba tidak mungkin pergi dan meninggalkan Zacki dan Muluki yang masih kecil.

Akhirnya keputusan sudah bulat, ayah akan pergi bersama Adiba. Malam yang terasa panjang itu akhirnya berakhir. Saat sarapan pagi ayah Adiba berkata, “Ayah ada kabar baik dan kabar buruk” dengan ekspresi wajah yang datar.

 “Kabar apa, Ayah?” Adiba bertanya dengan suara halus kepada ayahnya

“Ternyata kantor ayah hanya menyediakan dua tiket. Jadi kita tidak bisa berangkat semua. Ayah dan ibu memutuskan bahwa Adiba yang akan ikut bersama ayah. Insya Allah di lain waktu kita akan berangkat sama-sama ya.” Ujar ayah panjang lebar.

Kedua adik Adiba sangat bersedih, tapi mereka juga tidak mau ikut jika ibu tidak ikut Bersama mereka ke Pulau Pinang.

Akhirnya, hari yang ditunguu-tunggupun datang. Seluruh keluarga mengantar ayah dan Adiba ke bandara. Adiba sangat bahagia karena ini adalah penerbangan pertama Adiba, tapi juga sekaligus sedih karena harus berpisah dengan adik-adiknya meskipun hanya untuk tiga hari.

Setibanya di bandara penang, Adiba merasa sangat bersemangat. Adiba melihat kesana kemari sambil merapikan masker karena kata ayah, saat berada di pesawat dan di bandara, Adiba harus selalu menggunakan masker untuk mencegah virus yang berpindah dengan cepat. Adiba dan ayahnya mengantri di imigrasi untuk pengecekan paspor. Mata Adiba disenter sekejap dan diizinkan untuk lewat.

Adiba keluar dari Bandar Udara Pulau Pinang dan mengikuti ayahnya membeli kartu internet setempat agar mudah untuk berkomunikasi saat berada di Malaysia. Kemudian ayah mengajak Adiba untuk makan siang di sudut sebuah café bandara. Mereka tak berlama-lama di café, hanya sebentar sampai taksi online yang dipesan ayah tibaa. Adib adan ayah bergegas memasukkan barang ke dalam taksi online yang akan mengantar mereka ke hotel yang sudah dipesan ayah saat masih di Aceh.

Esok Adiba akan ikut ayah ke Kantor Imagrasi Pulau Pinang, oleh karena itu hari ini Adiba harus beristirahat meskipun hatinya sangat penasaran ingin segera berkeliling salah satu dari sembilan negeri di negara Malaysia ini.

Keesokan harinya setelah mengikuti pertemuan di Kantor Imagrasi Pulau Pinang, Adiba dan ayah berjalan-jalan sebentar ke salah satu swalayan yang sangat terkenal di seluruh Malaysia, Tesco namanya. Saat memasuki pusat perbelanjaan tersebut, tiba-tiba ayah ingat sesuatu, “kantong belanjanya dimana, Kak? Ada Kakak bawa?”

“Oh, sebentar Yah. Rasanya masih di dalam ranselku, belum kukeluarkan dari saat pertama ibu menaruhnya disana.” Ujar Adiba sambil memeriksa ranselnya.

“Untuk apa kantong ini, Ayah?” tanya Adiba sambil menunjukkan kantong yang baru saja ia keluarkan dari ranselnya.

“Untuk membawa barang-barang kita nanti setelah berbelanja. Di sini semua orang membawa kantong sendiri-sendiri saat berbelanja, untuk mengurangi sampah plastik. Pemerintah Malaysia mewajibkan setiap orang yang berbelanja untuk membayar setiap kantong plastik yang mereka pakai untuk membawa belanjaan mereka. Oleh karena itu, setiap kali berbelanja, masyarakat lebih memillih untuk membawa reusable shopping bag-nya masing-masing.”

Penjelasan ayah yang panjang lebar membuat Adiba terheran-heran. Ada rasa menyesal dalam hatinya mengingat Adiba sempat menolak memasukkan kantong tersebut ke ranselnya sesuai perintah ibu.

“Nanti, bolehkah kita juga berbelanja menggunakan kantong belanja seperti ini terus, Ayah? Maksudku nanti ketika kita pulang ke Aceh. Bolehkah?” Tanya Adiba mencoba menghilangkan rasa bersalahnya.

“Tentu saja, Sayang.” Jawab ayah senang.

“Adiba pernah lihatkan, tas anyam yang dibawa nenek kemana-mana? Kadang-kadang nenek mambawanya ke pasar, kadang-kadang ke sawah. Ingat?” Tanya ayah

“Tas rotan nenek ya, Yah?” Tanya Adiba kurang yakin.

Ayah tersenyum mengiyakan. “Tas itu terbuat dari anyaman on ngom (pandan segi), bukan dari rotan. Di kampung kita tas tersebut disebut dengan nama eumpang pt, artinya karung yang dikepit (dengan ketiak). Begitulah indatu (para leluhur) kita menjaga alam dengan menggunakan barang-barang dari alam yang mereka buat sendiri.” Jelas ayah panjang lebar kepada Adiba yang sudah duduk manis di seberang meja ayah menunggu nasi kerabu mereka di hidangkan oleh para pelayan Tesco Café.

Adiba terkagum-kagum mendengar penjelasan ayah. Ternyata penjelasan ayah masih berlanjut. Ternyata kantong yang dibawa Adiba adalah hadiah dari Paman Ugahara, kawan ayahnya yang sedang berkuliah magister di Inggris.

“Di Inggris, orang menyebut kantong belanja pakai ulang ini sebagai bag for life, artinya kantong kehidupan.” Lanjut ayah lagi.

“Kenapa bisa seperti itu, Yah?” Tanya Adiba kagum.

“Ayah juga tidak tau pasti alasannya, tapi ayah rasa karena dengan menggunakan kantong tersebut, orang-orang di Inggris sana sudah menyelamatkan bumi dengan cara mengurangi sampah plastik, dengan demikian mereka menyebutnya dengan tas untuk (menyelamatkan) kehidupan.” Ujar ayah lagi seperti seorang profesor.

Waah.. Mata Adiba menatap ayah sumringah. Dia bahagia sekali mendengar istilah tersebut, sangat dahsyat. Padahal cuma kantong belanja aja. Kok bisa memberi dampak sebesar itu ya? Batin Adiba.

“Udah, jangan melamun,” ayah memberi isyarat kepada Adiba untuk menggeser gelas minumannya ke samping agar kakak pelayan bisa meletakkan nasi berwarna biru khas Negeri Kelantan di depan Adiba.

“Nanti di Aceh kita pakai bag for life juga ya, Yah.” Pinta Adiba sungguh -sungguh. “Aku juga ingin menjadi seorang pahlawan penyelamat bumi dengan mengurangi penggunaan sampah plastik.”

Ayah mengangguk-angguk menyelesaikan kunyahan di mulutnya, “Kabar baiknya, Sayang., pemerintah Indonesia juga sudah mengeluarkan peraturan tentang larangan penggunaan kantong plastik sekali pakai. Sudah lumayan lama juga. Tahun 2016 kalau ayah tidak salah. Namun peraturan itu belum sepenuhnya berjalan. Lanjut ayah membantu menuntaskan rasa penasaran Adiba.

“Aku gak mau lagi pakai kantong plastik. Aku mau pakai kantong pakai ulang aja,” ujar adiba penuh semangat.

Adiba dan ayah menyelesaikan santapan nasi kerabu dan segera memasuki Tesco untuk berbelanja keperluan mereka selama tiga hari di Pulau Pinang.

Di dalam hati Adiba, ia bersyukur bahwa perjalanan pertamanya ke luar negeri ternyata bukan hanya untuk jalan-jalan semata, namun juga untuk belajar tentang bahaya sampah plastik sehingga membuat Adiba tersadar bahwa sebagai generasi penerus sudah seharusnya mulai sekarang Adiba belajar untuk menjaga bumi, demi kelangsungan hidup seluruh makhluk dan anak cucu manusia.

                                                                                         Banda Aceh, 27 Juli 2021

                                                                                         Nura Avadatis Sulha Hassan

                                                                                         Kelas IX Putri

SEKOLAH DASAR KHIYAR

Seperti juga kakaknya, Sulha, yang mempunyai empat sekolah dasar, begitupun dengan adiknya Khiyar.

Khiyar awalnya mendaftar di sebuah Madrasah Ibtadaiyah tepat di belakang rumah toko milik ayahnya. Sudah delapan tahun keluarganya tinggal disana, di tengah sebuah pasar tradisional yang bising. Mau tak mau, Khiyar didaftarkan ke sekolah tersebut karena kakaknya juga bersekolah disana.

Tapi keberuntungan belum memihak kepada Khiyar saat itu. Ia tidak lulus di Madrasah Ibtidaiyah tersebut. Kata Bu Guru ketika ditanya ibu tentang nasibnya, khiyar kurang beruntung karena kartu keluarganya tidak terdaftar di kecamatan tersebut. Kata bu guru lagi, tahun ini banyak sekali peserta yang mendaftar sehingga yang tidak ada kartu keluarga dari daerah tersebut tidak bisa diloloskan.

Lalu, ibu mencari sekolah lain yang terdekat dari rumah agar tidak jauh sekali mengantarnya. Ibu menemukan sebuah sekolah dasar yang sangat biasa dan tak banyak muridnya. Di situlah Khiyar memulai kehidupan sekolah dasarnya.

Jumlah kawan sekelas Khiyar hanya sembilan orang, tapi teman dekatnya hanya satu orang di kelas tersebut, Busra kecil. Kawan lainnya semua abang kelas IV dan V. Abang-abang tersebut adalah kawan yang sangat seru. Setiap pulang sekolah mereka mengajak Khiyar memetik delima ataupun menangkap ikan di saluran irigasi di dekat sekolah sampai ibu tiba menjemput.

Sayangnya keseruan itu tidak berlangsung lama. Ibu dan Ayah memutuskan untuk pindah ke tempat lain karena kehidupan di tengah pasar tradisional sudah kurang cocok untuk Khiyar dan kakaknya.

Rumah toko mereka disewakan dan mereka pindah ke sebuah kampung yang dekat dengan sekolah tempat ibunya mengajar. Khiyar dan kakaknya akhirnya bersekolah di sebuah sekolah dasar, lagi-lagi yang paling dekat dengan rumah mereka.

Kata ibu ketika kakak bertanya kenapa kami selalu bersekolah di sekolah biasa agar kami bisa cepat pulang. Anak-anak tidak seharusnya belajar sampai sore. Nanti tak ada lagi waktu mereka bermain. Jika anak-anak tak puas bermain saat kecil, dia akan terus bermain-main hingga dewasa. Kata ibu lagi, jika anak-anak cepat pulang, kita bisa makan siang bersama.

Benar saja, bahkan ketika Khiyar naik kelas II dan kakaknya naik kelas IV, kakaknya malah mengajak kawan-kawannya makan siang bersama di rumah. Pasalnya setiap hari Rabu dan Kamis, si kakak dan kawan-kawannya masuk lagi setelah dhuhur untuk belajar Diniyah.

Tidak ada pengalaman yang luar biasa di sekolah dasar yang sekarang. Semuanya biasa saja. Setelah dua tahun bersekolah di sana, tiba-tiba ibu mendapat panggilan untuk melanjutkan pendidikan ke negeri jiran, Malaysia. Khiyar dan kakaknya sangat senang membayangkan akan ikut ke Malysia bersama-sama. Tapi sayang sekali ternyata ibu harus pergi sendiri dulu karena belum ada rumah untuk mereka tinggali di sana. Khiyar dan kakak sangat sedih. Ternyata mereka harus pindah lagi sekolah, kali ini ke kampung nenek mereka. Bersekolah di sekolah kecil tempat nenek mereka mengajar.

Kehidupan sekolah dasar Khiyar berlanjut di sekolah ketiganya. Khiyar beradaptasi dengan kawan-kawan baru lagi. Setelah pulang sekolah beberapa kawan mengajak Khiyar mengaji, memancing dan bermain di dapur batu bata. Jika tidak bermain bersama mereka, Khiyar pasti sudah bersepeda ke kampung-kampung lainnya yang dekat dari kampung neneknya.

Ternyata hanya dua bulan saja pengalaman seru bermain dengan kawan-kawan di kampung. Setelah dua bulan itu, ibu dan ayah menjemput Khiyar dan kakaknya Sulha untuk ikut ke Malaysia. Alangkah bahagia hati mereka berdua, akhirnya mereka bisa bersama-sama lagi dengan ibu dan ayah.

Tapi masalah barupun datang, anak-anak pendatang tidak bisa bersekolah di sekolah Negeri. Kebijakan itu baru saja keluar dalam dua tahun belakang. Ayah dan ibu Khiyar beberapa kali berkunjung ke Dinas Pendidikan Pulau Pinang untuk mengurus agar anak-anak agar bisa belajar di Sekolah Kebangsaan Malaysia bersama anak Melayu lainnya. Paling tidak bahasa yang digunakan tak jauh beda, pun budaya Melayu dan Aceh masih banyak yang sama. Tapi usaha tersebut tetap tidak mendapatkan hasil.

Akhirnya ayah dan ibu memutuskan untuk mengirim Khiyar dan kakaknya ke sekolah internasional : ada sekolah khusus India, sekolah khusus China, dan sekolah khusus untuk anak-anak Timur Tengah. Tentu saja ayah memilih sekolah yang semua siswanya muslim ; sekolah bersama anak-anak Arab.

Sungguh tak mudah bagi Khiyar untuk memahami materi Matematika, Ilmu Alam dan pelajaran lain diajarkan dalam Bahasa Arab. Tapi mereka cepat menyesuaikan diri, karena siswa-siswi di sekolah Arabic School tersebut kebanyakannya tinggal di apartement yang sama dengan tempat Khiyar tinggal.

Setelah setahun bersekolah di Arabic School, Khiyar dan kakak harus kembali pulang ke kampung nenek karena kakaknya akan mengikuti Ujian Nasional (UN). Khiyarpun menghabiskan satu semester lagi di sekolah tersebut.

Setelah ibu wisuda dan menyelesaikan semua urusan kuliahnya, Khiyar, Sulha, beserta ayah dan ibu kembali tinggal di daerah yang dekat dengan sekolah ibu. Kata ibu agar memudahkan jika anak-anak perlu sesuatu. Sementara Kak Sulha melanjutkan ke sebuah Sekolah Menengah Pertama Islam Karakter di seputaran wilayah tersebut juga. Tidak begitu jaun dari rumah yang mereka diami.

Meskipun kelas V dan VI, Khiyar pindah lagi ke sekolah yang baru, tapi alangkah senangnya Khiyar karena ternyata ibu memilih memindahkannya kembali sekolah dasar ke duanya dulu sehingga Khiyar tidak perlu beradaptasi lagi dengan kawan-kawan, karena kawan-kawannya adalah kawan lama Khiyar.

Demikianlah perjalanan sekolah dasar Khiyar yang berpindah-pindah membuat Khiyar harus belajar berinteraksi dengan banayk lingkungan. Meskipun untungnya banyak, tapi ibu tetap berdoa, semoga nanti Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Akhirnya Khiyar cukup satu saja. “Semoga,” kata Ibu.

                                                                                                     Oleh  : Mujaddid Lil Khiyar

                                                                                                     Kelas : VII Putra

JOGJAKARTA

Entah kenapa, Aku dan Jogja tak bisa akur. Meskipun aku sudah merinduinya sekian lama, tetap saja ketika mengunjunginya sekali dalam seumur ...