Wednesday 16 February 2022

JOGJAKARTA

Entah kenapa, Aku dan Jogja tak bisa akur. Meskipun aku sudah merinduinya sekian lama, tetap saja ketika mengunjunginya sekali dalam seumur hidupku, aku mendapati Jogja tak sayang aku.

Aku ke Jogja memang bukan untuk refreshing melainkan tugas dinas mendampingi siswa-siswiku mengikuti sebuah event besar yang diadakan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

Selama di Jogja ada saja hal-hal aneh yang terjadi, mulai dari dikejar-kejar seorang nenek sang penjual topi di kaki Prambanan karena aku memilih membeli topi dari penjual lain hingga makanan favorit yang kubeli ternyata membuatku ilfeel (ilang feeling). Masalah makan sebenarnya aku bukan pencinta kuliner  yang suka rewel dengan makanan tak enak. Tapi sekali lapar aku ingin makan sesuatu yang istimewa. Maka ketika lelah mengelilingi Prambanan, salah satu candi kebanggaan Indonesia itu, aku memilih sebuah kantin sayur pecal yang tampak ramai yang sangkaku pecalnya pasti enak. Sayangnya setelah memesan seporsi besar, aku baru sadar kalau sayur pecalnya hanya isi bayam pahit yang beda dengan bayam biasa di kotaku, dan olala bumbu kacangnya pun terasa aneh di mulutku.

Kali kedua, setelah seminggu lebih berada di Jogja, aku sangat rindu dengan martabak telur, maka kerak telurpun jadi pilihan saat mengujungi pameran di seputaran keraton malam itu. Aku membeli kerak telor sebanyak 30.000, karena ingin makan sepuasnya. Tapi ternyata rasanya sungguh di luar dugaan. Keraknya terasa hambar dan isinya hanya sayur kol tiada rasa. Ya ampun, menetes air mataku melihat kerak telor makanan favoritku harus berakhir di tempat sampah.

Selain makanan, sikap para pengemudi taksi yang sewenang-wenang juga membuatku menganggap Jogja tak menerimaku. Saat aku berkunjung ke sana, tidak ada taksi online yang bisa kupakai untuk berkeliling, hanya taksi biasa. Karena aku baru pertama kali ke Jogja dan belum menghafal rute bus, akhirnya taksi menjadi satu-satunya pilihan transport selama di Jogja.

Saking seringnya naik taksi, aku jadi hafal tarifnya. Namun ada satu kejanggalan yang dilakukan para pengemudi taksi ini. Ketika akhir pekan dan hari libur, harga taksi melejit tiga kali lipat dari hari biasa. Aku terheran-heran dengan kompaknya para pemilik taksi menaikkan tarif hari libur. Pun ketika aku meminta dikurangi ongkos seperti hari biasa, mereka kompak memarahiku, “jika tak mau naik, tak usah, ini hari libur, banyak orang yang perlu taksi.” Nah lho.. begitu jawabnya.

Jogja oh Jogja betapa kau tak sayang aku, batinku saat itu

Namun demikian, program kunjungan ke Jogjaku harus tetap berjalan. Semua planning yang sudah kususun rapi dari awal harus kuselesaikan. Salah satu dari program itu adalah membelikan hadiah cenderamata untuk orang-orang kesayangan saat aku pulang. Untuk satu orang yang spesial, aku berniat sekali untuk membawakannya sesuatu, apapun mungkin. Jadi ketika berada di pasar seputaran Borobudur, mataku tak henti-hentinya melirik ke sebuah kaos khas Jogja dengan gambar becak yang besar di bagian depan bawah T-shirt tersebut. Sepertinya ini bisa kujadikan cenderamata.

Tapi sepanjang jalan aku menimbang-nimbang, alangkah tidak eloknya memberikan hadiah 'pakaian' untuk seseorang yang kita tidak punya hubungan khusus dengannya meski kaos itu sudah masuk ke kantong dalam jinjinganku.

Esoknya, dibantu Ari, seorang kawan lama, aku berkeliling Jogja dengan mobil yang di sewanya. Kami muter-muter di mall dan masuk ke salah satu toko buku yang paling tersohor di Indonesia, Gramedia.

Tidak yakin dengan kaos bergambar becak, sambilan mencari-cari buku untuk anak-anak, plus juga buku titipan dari sohib terbaikku, aku juga berencana mencari sesuatu yang bisa kuhadiahkan untuknya mengganti hadiah yang konyol kemarin

Setelah berkeliling, tetiba mataku tertumbuk ke sebuah judul buku yang kira-kira dikhususkan untuk tes para capra, catar, catam, dan ca-ca lainnya yang aku lebih sering menyebutnya 'aparat'.

Ahh, aku benci menghadiahinya buku itu, itu membuatku seolah-olah telah ridha dengan pilihannya, padahal tidak, tidak sama sekali. Tapi rasa sayang perlu sedikit pengorbanan. Dan buku itupun kubawa menuju kasir, hingga kudengar Ari berkata, "Gak usah beli disini, mahal, nanti kita cari di Taman Pintar aja, mau buku apa saja ada, dan harganya terjangkau."

Hmm, boleh juga, jawabku dalam hati sembari meletakkan kembali buku itu di tumpukan buku-buku lain yang senyawa.

Walhasil  keluar dari Gramedia aku hanya membeli beberapa buku cerita anak-anak dan sebuah Al-Qur'an yang juga ingin kuhadiahi kepada seseorang.

Sepulang dari situ, akupun menyusun rencana untuk mengunjungi Taman Pintar, yang sudah pernah kukunjungi sekali saat ke Benteng Vredeburg. Kata Ari, "Biar kuantar Sabtu selepas ujianku, karena besok Jum'at." Aku tak menjawabnya.

Maka ketika besoknya, pasukanku berangkat menuju Bioskop XXI untuk menonton Star War dan Langit Terbelah di Eropa, akupun berangkat sendirian ke Taman Pintar. Nekatnya aku yang tak tau jalan dan arah, berjalan-jalan sendiri di kampung orang. Tapi aku tak punya banyak waktu, hari minggu aku harus pulang, dan besok aku sudah harus packing.

Setiba di Taman Pintar diantar taksi, aku mencari food-court karena sudah sangat kelaparan tak sempat sarapan. Usai menyantap empek-empek Palembang yang terasa sangat aneh di lidahku, aku langsung berkeliling, membuka list di Handphone-ku mencari satu persatu buku pesanana kawan-kawan terbaik everku.

Selain buku-buku antropologi dan filsafat dan beberapa buku 'gila' lainnya yang dipesan saudara-saudariku itu, aku juga membeli beberapa novel untuk koleksi plus novel untuk hadiah bagi yang pantas mendapat hadiah nantinya.

Kau ingin tau salah satu buku gila yang dipesankan kepadaku? - Perempuan di Titik Nol alias Firdaus - Karya Nawal el-Sadawi. itu adalah buku yang paling gila yang pernah kubaca, dan sangat tidak dianjurkan untuk makhluk berusia di bawah 25. Aku serius.

Nah, setelah semua buku itu terkumpul, aku tak jua menemukan buku yang ingin kuhadiahkan kepadanya, dia yang kuingat dimana-mana. Padahal di setiap toko yang kusinggahi aku menanyakan perihal buku tersebut. Mereka telah berusaha juga mencari-cari ke kios lain, namun nihil, hasilnya nol. Buku itu tak dijual disini.

Betapa menyesalnya aku, kenapa tak jadi membelinya di Gramedia kemarin. Ahh, rencanaku gagal, gagal total.

Tapi aku tak akan menyerah, masih ada beberapa kios yang belum kutanyai, dan akupun mulai bergerak lagi dengan dua kantong besar buku-buku titipan best friends dan novel-novel punyaku.

Setelah tanya sana sini, rasanya para penjual di lapak-lapak itu merasa aku sedang mencari sesuatu yang tak ada. Bagaimana cara mereka bisa mendapatkan buku yang memang tak pernah dicetak, hehehehe. Tapi aku tak peduli, sudah kepalang tanggung, aku belum tentu bisa kembali kemari dalam beberapa tahun lagi.

 Demi semangat itu, akupun menyusuri sebuah koridor lagi yang masih buka, sementara kios-kios lain ada beberapa yang sudah mulai tutup karena jadwal shalat Jum'at sudah tiba. Hmm, mirip dengan kondisi di kampungku yaa. Walaupun disini tak wajib tutup semua, tapi banyak juga yang tidak mau berjualan saat shalat Jum'at dilaksanakan.

Tiba di lapak pertama, di lorong itu yang dijaga oleh seorang perempuan, dia menjawab pertanyaanku dengan murung, mungkin kecapaian dari pagi sudah duduk disana.

Lapak ke dua dijaga oleh dua orang yang sepertinya kakak beradik : laik-laki dan perempuan. 'Ada buku ini ga?’ tanyaku menyebut sebuah judul. Dan senangnya aku, karena muka penjaga laki-laki itu seolah-olah merasa pernah mendengar tentang buku tersebut. Lalu dia mulai mengambil beberapa buku Tes Potensi Akademik dari rak atas, namun bukan itu yang kucari. Lalu aku menujuk kesebuah buku, "Ukurannya segini, bukunya untuk tes masuk Akademi Polisi, bukan Tes Polisinya", ujarku.

Dan pucuk dicinta ulampun tiba, dia menarik sebuah buku di tumpukan bawah, tereeeeeeng... 'Here you go.' teriakku dalam hati.

Berapa ini, serius, pada saat itu aku tak rencana minta kurang, lelahnya aku, berjalan setengah harian hanya untuk sebuah buku. Selain membayar, akupun berterima kasih kepada si penjaga lapak dengan mengeluarkan 15 butir permen (mungkin lebih) dari tasku untuk kuberikan kepadanya dan semua penjaga lapak di lorong itu.

 "Terima kasih yaaa," Hmm, bahagia sekali rasanya, semua yang ingin kubawa pulang sudah lengkap sekarang. Aku memasukkan buku itu ke dalam tas dan menarik dua kertas besar penuh buku tanpa menghiraukan tatapan-tatapan dari penghuni lorong yang melihat aneh ke arahku. Senewen mungkin, kok ada orang datang kemari pigi bagi-bagi permen siang-siang. Tapi biarlah, aku ingin pulang. Aku lelah.

Namun, rasa letihku ternyata tak tertebus hanya dengan buku itu berhasil kudapat, itu jam shalat Jum'at dan aku tak berhasil menyetop sebuah taksipun karena semuanya full dan ongkosnya sudah tak masuk akal.

Putus asa dengan taksi, akupun mencoba bertanya kepada penjaga halte, kira-kira kalau ke arahku, akau harus naik bus apa. Dia menjawabku dengan tersenyum. Betapa berharganya nilai sebuah senyum dari Jogja untukku saat itu. Setelah membayarnya, akupun meninggalkan beberapa butir permen di atas mejanya, dan dia tersenyum lagi.

Sepanjang jalan aku berfikir bagaimana caranya aku bisa pulang ya, sementara bus ini tidak sampai menjangkau wilayah tempat yang aku tinggali sementara di Jogja. Lalu, aku iseng mengirimi Ari sms, dan ia langsung merespon. "Turun saja di halte UGM, nanti saya jemput pakai motor,"

"Beres Boss." Dia memang kawan terbaik dan selalu bisa diandalkan.


No comments:

Post a Comment

JOGJAKARTA

Entah kenapa, Aku dan Jogja tak bisa akur. Meskipun aku sudah merinduinya sekian lama, tetap saja ketika mengunjunginya sekali dalam seumur ...