Sepertu halnya anak-anak lain yang merasa hidupnya sangat lengkap ketika kedua orang tuanya bersama, anak-anak Rahmahpun demikian. Tapi takdir tak selalu berjalan sesuai keinginan. Ada saatnya orang tua mereka hidup bersama, namun ada saatnya ayah harus pergi mencari rezeki di tempat yang sangat jauh dari jangkauan anak-anak.
Suatu malam
dalam kehidupan rumah tangga Rahmah, saat itu mereka hidup nun di negeri
seberang, suaminya berkata, visa turisku tinggal seminggu, aku harus
keluar dari negara ini sebelum temponya habis.
“Apakah Kau
akan pulang ke Indonesia atau hanya menyeberang ke Batam untuk beberapa hari?”
tanya Rahmah.
“Aku malah
punya ide bagus. Aku akan ke Thailand untuk bekerja di sana selama satu bulan.
Jika nanti usahaku berjalan baik, aku akan kembali kemari satu minggu untuk
memperpanjang permit turisku di Thailand dan melanjutkan kerjaku di sana.
Karena di sini, kita tak punya peluang.” Ujar suaminya panjang lebar.
Serta merta emosi
Rahmah naik, dia galau karena merasa akan ditinggalkan sendirian di Negeri
Jiran.
“Tak usah
rewel. Ini baru rencana.” Sambung suaminya diplomatis.
Setelah
semuanya dimusyawarahkan dan dipersiapkan, maka Husen pergilah mencari rezeki
ke perbatasan Malaysia-Thailand. Rahmah sangat kehilangan. Tapi ternyata
anak-anak mereka yang paling merasa kehilangan. “Aku tak suka jika ayah tak
disini. Biasanya setiap Sabtu kita selalu main ke park (lapangan).” Kata
si Bungsu
“Kan bisa
pergi dengan Ibu, Sayang.” Bujuk Rahmah.
Tapi Ibukan
selalu sibuk dengan tugas. Biasanya kami malah main di depan ruang kuliah Ibu
yang ramai itu. Main di dalam perpustakaan kan dilarang.” Jawab si Kecil
lagi dengan nada kecewa.
“Nanti saat
ada waktu luang, Ibu janji ya, akan mengajakmu ke lapangan.” Rahmah
menyorongkan jari kelingking ke arah bungsunya namun tak disambut. Tak
disangkanya ternyata bungsunya sudah besar sekarang, sudah tak bisa disogok
dengan rayuan.
Lain lagi
kakaknya. “Kakakkan pingin main ke rumah kawan di apartement sana
sekali-kali sambil berenang. Di apartement mereka kolamnya besar.
Disini malah gak ada kolam. Ibu kan
belum pernah mau kesana, biasanya kan ayah yang antar.” Cerocos sulungnya.
Rahmah
mengurut-urut dada, ini baru tiga hari, bagaimana kelanjutannya ya. Ia
menenbak-nebak.
Setiap malam
sebelum tidur mereka akan menelpon ayahnya sejenak untuk berkeluh kesah. Dan
jawabannya selalu sama, “Sabar ya, sebentar lagi juga ayah pulang.”
Janji itu
cukup untuk membuat mereka tertidur lagi malam itu.
Tetapi tidak
dengan Rahmah, dia tak bisa tidur sampai tengah malam memikirkan bagaimana
nasibnya di tempat rantau tanpa Husen di sisi.
Sepuluh hari
berlalu, malam ini Husen menelpon anak-anak lebih lama dari biasanya.
“Sayang Ayah, Adek dan Kakak
harus baik-baik ya di tempat orang. Kakak dan Adek harus jaga Ibu ya. Harus
patuh dan nurut jika disuruh Ibu, jangan melawan. Dengar, mulai besok ada
sesuatu yang sedikit berubah.” Lalu jeda.
“Ayah
sudah menemukan kerja yang cocok, tapi Ayah perlu modal tambahan. Jadi handphone
ini harus Ayah jual sementara. Nanti kalau sudah ada rezeki Ayah beli lagi.
Jadi anak-anak harus sabar kalau besok malam tidak bisa menelpon Ayah lagi
seperti biasa.” Tutur Husen panjang lebar.
Anak-anak
diam saja karena kecewa. Kemudian Husen mengirim beberapa foto tempat
persinggahannya di Thailand sambil terus bercerita tentang tempat-tempat
tersebut.“ Nanti kita pergi lagi kemari sama-sama ya. Tapi janji dulu doain Ayah
dan bantuin Ibu disitu ya. Janji?” tanya Husen penuh semangat.
“Janjiiiii…”
jawab anak-anak tak kalah semangat.
Seperti
malam-malam yang lalu, anak-anak tidur pulas setelah mengobrol dengan ayahnya
sementara Rahmah semakin merasa bersedih karena akan terputus komunikasi dengan
suaminya mulai besok. Namun demikian suaminya telah berpesan, jika ada hal
penting dia boleh mengirim pesan melalui email.
Hari berganti
sejak hari itu dia tak pernah mendengar kabar dari suaminya, sementara
anak-anak tak henti bertanya kapan ayah pulang. Jangankan untuk menjawab
tentang itu, mengenai kabar Husen saja dirinya tak tahu.
Setelah
bermalam-malam tidur anak-anaknya tak lagi pulas, Rahmah menceritakan sebuah
nasehat yang didengarnya dari sebuah channel telegram. Channel
Magnet Rezeki namanya.
“Ibu baru
dengar cerita Pak Nas tadi.” Dia membuka cerita malam itu dan anak-anak sudah
tau siapa yang dipanggil Pak Nas oleh ibunya. Beliau adalah founder Akademi
Magnet Rezeki.
“Kata pak Nas kalau kita
pingin sesuatu, gampang kok. Kita tinggal pikir-pikir aja tentang itu setiap
hari. Tinggal sebut-sebut itu tiap saat.” Seandainya usia anak-anaknya sudah
remaja tentu Rahmah akan mengumpamakannya dengan istilah, seperti orang yang
sedang jatuh cinta.
Sayangnya
anak-anak Rahmah masih berusia delapan dan sepuluh tahun, jadi rasanya mereka tak akan paham maksudnya.
“Sekarang
kakak dan adek pingin apa misalnya?” pancing Rahmah sengaja meskipun ia sudah
tau akan jawabannya.
“Tentu pingin
Ayah pulanglah, Bu.” Kata si Kakak.
“Secepat-cepatnya,”
sambung si Adek.
“Okay,
kalau gitu sebelum tidur dan setelah bangun nanti, Kakak sama Adek harus
bayangin kalau Ayah udah pulang ya. Bisa kira-kira?”
“Kakak bisa,”
ujar Adiba.
“Adek bisa,”
lanjut Fudhail.
“Sekarang
tutup mata, baca doa, terus bayangin Ayah pulang dan bawa kita main-main lagi
ke park.”
“Kata Pak Nas
itu namanya Law of Projection atau LOP. Lanjut Rahmah. “Hukum
proyeksi. Pikiran kita seperti laptop yang akan menayangkan apa-apa yang
ada di dalamnya ke layar kehidupan.” Lanjut Rahmah berharap anak-anaknya faham.
Ia lanjut bertutur meskipun kedua buah hatinya sudah memejamkan mata untuk
membayangkan ayahnya segera pulang.
Esok
pagi-pagi sebuah ide brillian muncul dari Adiba. “Bu, bolehkah Kakak membuat
beberapa gambar Ayah?”
“Tentu saja
boleh, Sayang. Kakak mau gambar apa?” Tanya Rahmah kepada sulungnya yang tampak
sangat dewasa bahkan di usia sepuluh tahun.
“Pertama
kakak mau gambar kita lagi makan pizza sama Ayah. Terus kakak mau gambar
kami lagi main di park ditemani Ayah. Terakhir Kakak cuman mau buat
gambar kami bertiga. Terus kakak tempel di pintu kamar.” Jelas sulungnya
panjang lebar.
Setelah
ketiga gambar itu jadi, mereka menempelkan gambar-gambar itu di pintu kamar Rahmah.
Semenjak ayah mereka pergi mencari rezeki, anak-anak sudah membuat kamarnya
menjadi basecamp.
Setelah satu
persatu gambar direkatkan dengan selotip, Rahmah mengambil spidol dan
menuliskan sesuatu di bawah gambar suami dan kedua anaknya: BESOK AYAH PULANG.
“Iya bu?
Besok Ayah pulang?” tanya si bungsu
“Kan doa dek.
LOP kita kalau besok Ayah pulang. Besok waktu kita lihat gambar ini lagi, kita
bilang lagi, besok Ayah pulang, setiap hari seperti itu. Iyakan, Bu? Lama-lama
LOP kita akan menjadi kenyataan.” Jawab Adiba cerdas.
“Kan semua
yang kita pikir jadi doa, Sayang. Semua doa kita dikabulkan Allah baik cepat
atau lambat. Makanya kita harus selalu pikir yang baik-baik, ngomong yang
baik-baik.” Rahmah menambahkan.
“DISIPLIN
KATA.” Jawab kedua anaknya kompak.
“Iya, kita
harus melatih disiplin untuk terus berucap dan berpikir yang baik-baik.” Ucap
Rahmah.
Itu materi lainnya dari teori
magnet rezeki yang sudah mereka hafal.
“Nah, selain
berpikir dan berkata baik, kita juga akan bersedekah setiap hari untuk
mendoakan semoga Ayah mudah urusannya disana.” Rahmah menambah satu trick
lagi.
“Adek maukan
masukkan koin 50 sen setiap kali turun untuk shalat di surau?” Rahmah sangat
bersyukur flat yang mereka tinggali, meskipun tak punya kolam renang dan
fasilitas lainnya, tapi mempunyai sebuah surau di lantai dasar. Disitulah Fudhail
akan menabung sedekah untuk mendoakan ayahnya. Selain hari Jum’at tentunya. Jika
hari Jum’at, Fudhail akan memasukkan beberapa ringgit ke kotak amal mesjid
kampus dimana Rahmah sedang belajar.
Jika waktu Jum’at
tiba, Rahmah akan mengantar si bungsunya yang masih berumur delapan tahun untuk
shalat Jum’at disana. Fudhail adalah anak pemberani. Saat dulu jum’atan
dengan ayahnya dia sudah berjumpa beberapa orang kawan disana. Jadi tak perlu
dirayu lagi, setiap Jum’at, Fudhail selalu siap untuk shalat di mesjid,
meskipun saat ayah tak mememaninya.
Selain
beberapa orang anak Melayu dan Arab yang sudah menjadi kawannya di mesjid itu,
es krim dan jus yang dibagikan gratis di depan masjid setiap hari Jum’at juga
menjadi daya tarik sendiri bagi bocah seumuran Fudhail. Semoga Allah memberkati
pencetus ide dan para pembagi sedekah jus dan es krim Jum’at tersebut.
Sedekah, LOP
dan Disiplin Kata sudah diterapkan oleh Rahmah dan kedua anaknya. Sekarang
tinggal berdoa saja agar keajaiban datang. Meskipun rasa khawatir dan cemas
sering kali hinggap di hati Rahmah mengingat sudah empat puluh hari suaminya
belum juga kembali, dan itu artinya sudah tiga puluh hari mereka tak bisa
berkomunikasi, namun Rahmah melawan semua rasa itu dengan berbaik sangka kepada
Allah.
“Allah itu
baik banget kan ya. Allah itu sayaaaang banget sama anak-anak baik dan shaleh.
Jadi apapun yang mereka minta pasti Allah kasih.” Ucap Rahmah membesarkan hati
kedua anaknya.
Jika
dipikir-pikir lagi, semua kecemasan Rahmah bukan semata-mata karena suaminya
telah pergi terlalu lama, atau karena masalah komunikasi, namun masalah izin turis
yang dipegang suaminya di Thailand hanya berlaku tiga puluh hari. Bagaimana
mungkin Husen masih berada di Negeri Gajah Putih itu selama ini. Apakah Husen
harus berurusan dengan pegawai imigrasi atau dia sudah menyebrang ke negara
lain seperti Laos, Myammar atau malah sudah balik ke Indonesia.
Rahmah
mencoba mengirimi suaminya surel. Tapi sudah tiga surel sebelumnya tak ada
balasan dari Husen. Lagi-lagi Rahmah menghalau pikiran buruknya dan buru-buru
membelokkannya ke pada pikiran baik, positive thinking.
Dan jelang tiga
puluh hari kedua dari pamitnya Husen, Rahmah mengajak anak-anaknya
mengencangkan doa beserta menambah jumlah sedekah mereka.
“Kadang-kadang
Adek takut juga bawa uang sen banyak-banyak, pas masukin kotak amal di surau
kan lama, orang jadi merhatiiin.“ Cerita bungsunya.
“Ya Allah,
kalau begitu besok Ibu kasih uang ringgit aja ya. Misalnya sekali pigi satu
ringgit. Bisa gitu dek?” Rahmah mencoba berunding dengan pemuda kecilnya yang
sangat setia.
“Bisa.” Jawab
jagoannya, polos.”
Dan Allah
selalu tepat janji. Siang itu di hari ke 55 suaminya pergi, pintu rumahnya
diketuk. Tapi tak ada suara salam
terucap.
Ketiga anak
beranak itu merasa degdegan kalau-kalau Sang Pahlawan sudah pulang.
“Coba Kakak
buka pintu.” Pinta Rahmah.
“Adek aja,”
kata si Bungsu.
Lalu
terdengar teriakan nan merdu, “Ayaaaah…”
Adibapun
berlari ke pintu tak percaya. “Ayaaaaah…” teriak si Sulung juga.
Rahmah berdiri
sekejap di depan kaca, melihat kondisi wajah dan rambutnya, merapikan
pakaiannya untuk menyambut tamu agung yang sangat dirinduinya.
“Alhamdulillah,
sudah bisa pulang, Bang,” ujarnya sambil menciumi tangan suaminya.
Husen beranjak
ke arah pintu kamar setelah menyenderkan dua tas bawaannya di sofa. Ia tertawa
menunjuk ke arah gambar dengan tulisan Besok ayah pulang sambil berkata,
“Kok tau?”
Rahmah mengedipkan
mata ke arah kedua anak-anaknya sambil menjawab kompak, “taulaaahh…”
Alhamdulillah
Allah Maha Baik. Allah sesuai prasangka hamba-Nya. Maka teruslah berprasangka
baik kepada Sang Pemilik Semesta. (Noor)
Banda Aceh, 10 September 2021
Pada 11.30 pm
No comments:
Post a Comment