Wednesday 16 February 2022

SAAT AYAH TAK DI SISI

             Sepertu halnya anak-anak lain yang merasa hidupnya sangat lengkap ketika kedua orang tuanya bersama, anak-anak Rahmahpun demikian. Tapi takdir tak selalu berjalan sesuai keinginan. Ada saatnya orang tua  mereka hidup bersama, namun ada saatnya ayah harus pergi mencari rezeki di tempat yang sangat jauh dari jangkauan anak-anak.

Suatu malam dalam kehidupan rumah tangga Rahmah, saat itu mereka hidup nun di negeri seberang, suaminya berkata, visa turisku tinggal seminggu, aku harus keluar dari negara ini sebelum temponya habis.

“Apakah Kau akan pulang ke Indonesia atau hanya menyeberang ke Batam untuk beberapa hari?” tanya Rahmah.

“Aku malah punya ide bagus. Aku akan ke Thailand untuk bekerja di sana selama satu bulan. Jika nanti usahaku berjalan baik, aku akan kembali kemari satu minggu untuk memperpanjang permit turisku di Thailand dan melanjutkan kerjaku di sana. Karena di sini, kita tak punya peluang.” Ujar suaminya panjang lebar.

Serta merta emosi Rahmah naik, dia galau karena merasa akan ditinggalkan sendirian di Negeri Jiran.

“Tak usah rewel. Ini baru rencana.” Sambung suaminya diplomatis.

Setelah semuanya dimusyawarahkan dan dipersiapkan, maka Husen pergilah mencari rezeki ke perbatasan Malaysia-Thailand. Rahmah sangat kehilangan. Tapi ternyata anak-anak mereka yang paling merasa kehilangan. “Aku tak suka jika ayah tak disini. Biasanya setiap Sabtu kita selalu main ke park (lapangan).” Kata si Bungsu

“Kan bisa pergi dengan Ibu, Sayang.” Bujuk Rahmah.

Tapi Ibukan selalu sibuk dengan tugas. Biasanya kami malah main di depan ruang kuliah Ibu yang ramai itu. Main di dalam perpustakaan kan dilarang.” Jawab si Kecil lagi  dengan nada kecewa.

“Nanti saat ada waktu luang, Ibu janji ya, akan mengajakmu ke lapangan.” Rahmah menyorongkan jari kelingking ke arah bungsunya namun tak disambut. Tak disangkanya ternyata bungsunya sudah besar sekarang, sudah tak bisa disogok dengan rayuan.

Lain lagi kakaknya. “Kakakkan pingin main ke rumah kawan di apartement sana sekali-kali sambil berenang. Di apartement mereka kolamnya besar. Disini  malah gak ada kolam. Ibu kan belum pernah mau kesana, biasanya kan ayah yang antar.” Cerocos sulungnya.

Rahmah mengurut-urut dada, ini baru tiga hari, bagaimana kelanjutannya ya. Ia menenbak-nebak.

Setiap malam sebelum tidur mereka akan menelpon ayahnya sejenak untuk berkeluh kesah. Dan jawabannya selalu sama, “Sabar ya, sebentar lagi juga ayah pulang.”

Janji itu cukup untuk membuat mereka tertidur lagi malam itu.

Tetapi tidak dengan Rahmah, dia tak bisa tidur sampai tengah malam memikirkan bagaimana nasibnya di tempat rantau tanpa Husen di sisi.

Sepuluh hari berlalu, malam ini Husen menelpon anak-anak lebih lama dari biasanya.

“Sayang Ayah, Adek dan Kakak harus baik-baik ya di tempat orang. Kakak dan Adek harus jaga Ibu ya. Harus patuh dan nurut jika disuruh Ibu, jangan melawan. Dengar, mulai besok ada sesuatu yang sedikit berubah.” Lalu jeda.

            “Ayah sudah menemukan kerja yang cocok, tapi Ayah perlu modal tambahan. Jadi handphone ini harus Ayah jual sementara. Nanti kalau sudah ada rezeki Ayah beli lagi. Jadi anak-anak harus sabar kalau besok malam tidak bisa menelpon Ayah lagi seperti biasa.” Tutur Husen panjang lebar.

Anak-anak diam saja karena kecewa. Kemudian Husen mengirim beberapa foto tempat persinggahannya di Thailand sambil terus bercerita tentang tempat-tempat tersebut.“ Nanti kita pergi lagi kemari sama-sama ya. Tapi janji dulu doain Ayah dan bantuin Ibu disitu ya. Janji?” tanya Husen penuh semangat.

“Janjiiiii…” jawab anak-anak tak kalah semangat.

Seperti malam-malam yang lalu, anak-anak tidur pulas setelah mengobrol dengan ayahnya sementara Rahmah semakin merasa bersedih karena akan terputus komunikasi dengan suaminya mulai besok. Namun demikian suaminya telah berpesan, jika ada hal penting dia boleh mengirim pesan melalui email.

Hari berganti sejak hari itu dia tak pernah mendengar kabar dari suaminya, sementara anak-anak tak henti bertanya kapan ayah pulang. Jangankan untuk menjawab tentang itu, mengenai kabar Husen saja dirinya tak tahu.

Setelah bermalam-malam tidur anak-anaknya tak lagi pulas, Rahmah menceritakan sebuah nasehat yang didengarnya dari sebuah channel telegram. Channel Magnet Rezeki namanya.

“Ibu baru dengar cerita Pak Nas tadi.” Dia membuka cerita malam itu dan anak-anak sudah tau siapa yang dipanggil Pak Nas oleh ibunya. Beliau adalah founder Akademi Magnet Rezeki.

“Kata pak Nas kalau kita pingin sesuatu, gampang kok. Kita tinggal pikir-pikir aja tentang itu setiap hari. Tinggal sebut-sebut itu tiap saat.” Seandainya usia anak-anaknya sudah remaja tentu Rahmah akan mengumpamakannya dengan istilah, seperti orang yang sedang jatuh cinta.

Sayangnya anak-anak Rahmah masih berusia delapan dan sepuluh tahun, jadi  rasanya mereka tak akan paham maksudnya.

“Sekarang kakak dan adek pingin apa misalnya?” pancing Rahmah sengaja meskipun ia sudah tau akan jawabannya.

“Tentu pingin Ayah pulanglah, Bu.” Kata si Kakak.

“Secepat-cepatnya,” sambung si Adek.

Okay, kalau gitu sebelum tidur dan setelah bangun nanti, Kakak sama Adek harus bayangin kalau Ayah udah pulang ya. Bisa kira-kira?”

“Kakak bisa,” ujar Adiba.

“Adek bisa,” lanjut Fudhail.

“Sekarang tutup mata, baca doa, terus bayangin Ayah pulang dan bawa kita main-main lagi ke park.”

“Kata Pak Nas itu namanya Law of Projection atau LOP. Lanjut Rahmah. “Hukum proyeksi. Pikiran kita seperti laptop yang akan menayangkan apa-apa yang ada di dalamnya ke layar kehidupan.” Lanjut Rahmah berharap anak-anaknya faham. Ia lanjut bertutur meskipun kedua buah hatinya sudah memejamkan mata untuk membayangkan ayahnya segera pulang.

Esok pagi-pagi sebuah ide brillian muncul dari Adiba. “Bu, bolehkah Kakak membuat beberapa gambar Ayah?”

“Tentu saja boleh, Sayang. Kakak mau gambar apa?” Tanya Rahmah kepada sulungnya yang tampak sangat dewasa bahkan di usia sepuluh tahun.

“Pertama kakak mau gambar kita lagi makan pizza sama Ayah. Terus kakak mau gambar kami lagi main di park ditemani Ayah. Terakhir Kakak cuman mau buat gambar kami bertiga. Terus kakak tempel di pintu kamar.” Jelas sulungnya panjang lebar.

Setelah ketiga gambar itu jadi, mereka menempelkan gambar-gambar itu di pintu kamar Rahmah. Semenjak ayah mereka pergi mencari rezeki, anak-anak sudah membuat kamarnya menjadi basecamp.

Setelah satu persatu gambar direkatkan dengan selotip, Rahmah mengambil spidol dan menuliskan sesuatu di bawah gambar suami dan kedua anaknya: BESOK AYAH PULANG.

“Iya bu? Besok Ayah pulang?” tanya si bungsu

“Kan doa dek. LOP kita kalau besok Ayah pulang. Besok waktu kita lihat gambar ini lagi, kita bilang lagi, besok Ayah pulang, setiap hari seperti itu. Iyakan, Bu? Lama-lama LOP kita akan menjadi kenyataan.” Jawab Adiba cerdas.

“Kan semua yang kita pikir jadi doa, Sayang. Semua doa kita dikabulkan Allah baik cepat atau lambat. Makanya kita harus selalu pikir yang baik-baik, ngomong yang baik-baik.” Rahmah menambahkan.

“DISIPLIN KATA.” Jawab kedua anaknya kompak.

“Iya, kita harus melatih disiplin untuk terus berucap dan berpikir yang baik-baik.” Ucap Rahmah.

Itu materi lainnya dari teori magnet rezeki yang sudah mereka hafal.

“Nah, selain berpikir dan berkata baik, kita juga akan bersedekah setiap hari untuk mendoakan semoga Ayah mudah urusannya disana.” Rahmah menambah satu trick lagi.

“Adek maukan masukkan koin 50 sen setiap kali turun untuk shalat di surau?” Rahmah sangat bersyukur flat yang mereka tinggali, meskipun tak punya kolam renang dan fasilitas lainnya, tapi mempunyai sebuah surau di lantai dasar. Disitulah Fudhail akan menabung sedekah untuk mendoakan ayahnya. Selain hari Jum’at tentunya. Jika hari Jum’at, Fudhail akan memasukkan beberapa ringgit ke kotak amal mesjid kampus dimana Rahmah sedang belajar.

Jika waktu Jum’at tiba, Rahmah akan mengantar si bungsunya yang masih berumur delapan tahun untuk shalat Jum’at disana. Fudhail adalah anak pemberani. Saat dulu jum’atan dengan ayahnya dia sudah berjumpa beberapa orang kawan disana. Jadi tak perlu dirayu lagi, setiap Jum’at, Fudhail selalu siap untuk shalat di mesjid, meskipun saat ayah tak mememaninya.

Selain beberapa orang anak Melayu dan Arab yang sudah menjadi kawannya di mesjid itu, es krim dan jus yang dibagikan gratis di depan masjid setiap hari Jum’at juga menjadi daya tarik sendiri bagi bocah seumuran Fudhail. Semoga Allah memberkati pencetus ide dan para pembagi sedekah jus dan es krim Jum’at tersebut.

Sedekah, LOP dan Disiplin Kata sudah diterapkan oleh Rahmah dan kedua anaknya. Sekarang tinggal berdoa saja agar keajaiban datang. Meskipun rasa khawatir dan cemas sering kali hinggap di hati Rahmah mengingat sudah empat puluh hari suaminya belum juga kembali, dan itu artinya sudah tiga puluh hari mereka tak bisa berkomunikasi, namun Rahmah melawan semua rasa itu dengan berbaik sangka kepada Allah.

“Allah itu baik banget kan ya. Allah itu sayaaaang banget sama anak-anak baik dan shaleh. Jadi apapun yang mereka minta pasti Allah kasih.” Ucap Rahmah membesarkan hati kedua anaknya.

Jika dipikir-pikir lagi, semua kecemasan Rahmah bukan semata-mata karena suaminya telah pergi terlalu lama, atau karena masalah komunikasi, namun masalah izin turis yang dipegang suaminya di Thailand hanya berlaku tiga puluh hari. Bagaimana mungkin Husen masih berada di Negeri Gajah Putih itu selama ini. Apakah Husen harus berurusan dengan pegawai imigrasi atau dia sudah menyebrang ke negara lain seperti Laos, Myammar atau malah sudah balik ke Indonesia.

Rahmah mencoba mengirimi suaminya surel. Tapi sudah tiga surel sebelumnya tak ada balasan dari Husen. Lagi-lagi Rahmah menghalau pikiran buruknya dan buru-buru membelokkannya ke pada pikiran baik, positive thinking.

Dan jelang tiga puluh hari kedua dari pamitnya Husen, Rahmah mengajak anak-anaknya mengencangkan doa beserta menambah jumlah sedekah mereka.

“Kadang-kadang Adek takut juga bawa uang sen banyak-banyak, pas masukin kotak amal di surau kan lama, orang jadi merhatiiin.“ Cerita bungsunya.

“Ya Allah, kalau begitu besok Ibu kasih uang ringgit aja ya. Misalnya sekali pigi satu ringgit. Bisa gitu dek?” Rahmah mencoba berunding dengan pemuda kecilnya yang sangat setia.

“Bisa.” Jawab jagoannya, polos.”

Dan Allah selalu tepat janji. Siang itu di hari ke 55 suaminya pergi, pintu rumahnya diketuk. Tapi  tak ada suara salam terucap.

Ketiga anak beranak itu merasa degdegan kalau-kalau Sang Pahlawan sudah pulang.

“Coba Kakak buka pintu.” Pinta Rahmah.

“Adek aja,” kata si Bungsu.

Lalu terdengar teriakan nan merdu, “Ayaaaah…”

Adibapun berlari ke pintu tak percaya. “Ayaaaaah…” teriak si Sulung juga.

Rahmah berdiri sekejap di depan kaca, melihat kondisi wajah dan rambutnya, merapikan pakaiannya untuk menyambut tamu agung yang sangat dirinduinya.

“Alhamdulillah, sudah bisa pulang, Bang,” ujarnya sambil menciumi tangan suaminya.

Husen beranjak ke arah pintu kamar setelah menyenderkan dua tas bawaannya di sofa. Ia tertawa menunjuk ke arah gambar dengan tulisan Besok ayah pulang sambil berkata, “Kok tau?”

Rahmah mengedipkan mata ke arah kedua anak-anaknya sambil menjawab kompak, “taulaaahh…”

Alhamdulillah Allah Maha Baik. Allah sesuai prasangka hamba-Nya. Maka teruslah berprasangka baik kepada Sang Pemilik Semesta. (Noor)

Banda Aceh, 10 September 2021

Pada 11.30 pm

 

No comments:

Post a Comment

JOGJAKARTA

Entah kenapa, Aku dan Jogja tak bisa akur. Meskipun aku sudah merinduinya sekian lama, tetap saja ketika mengunjunginya sekali dalam seumur ...