Dulu
sebelum kuliah saya semangat sekali mengajak kawan-kawan untuk hunting
beasiswa, kuliah lagi. Meskipun sudah tiga belas kali tak lolos seleksi akhir,
saya masih terus berusaha untuk mendapat beasiswa S2 hingga suami geleng-geleng
kepala sambil berkata,”tak pernah kulihat seorang perempuan sengotot kamu.”
Hingga akhirnya takdir Allah membawa saya ke negeri jiran, Malaysia, tepatnya
di Negeri Pulau Pinang.
Begitupun
ketika sudah kuliah, saya juga masih setia ngomporin emak-emak untuk
semangat kuliah. Hingga tiba-tiba, pada awal semester ketiga, anak-anak harus
pulang ke Aceh karena si sulung akan segera mengikuti Ujian Akhir Nasional
(UAN) tingkat sekolah dasar. Semuanya jadi berbalik 180 derajat. Semangat
kuliah saya jadi luntur. Ingin rasanya berhenti, tapi saya terikat perjanjian
harus menyelesaikan kuliah dengan Pemerintah Daerah. Jika tidak, semua beasiswa
yang sudah saya gunakan selama di Malaysia harus dikembalikan.
Maka
dalam kedhaifan itu, saya terpaksa melanjutkan kuliah. Di semester tiga ini
masih ada satu mata kuliah lagi yang harus saya ikuti di setiap malam Selasa.
Akhirnya saya memutuskan untuk Pulang-Pergi (PP) Penang - Banda Aceh dua minggu
sekali. Setelah masuk kuliah dua kali, kemudian pulang seminggu ke Banda Aceh
dan Senin pagi saya kembali terbang ke Penang. Begitu seterusnya karena ada si
sulung dan si bungsu yang tak henti-henti mengingatkan, “coba kalau umi masih
kecil terus ditinggal-tinggal sama Nenek. Apa gak sedih?”
Untuk
menebus rasa bersalah sudah meninggalkan mereka, maka saya merutinkan pulang ke
Banda Aceh dua minggu sekali. Tapi tentu saja tidak ada status berwara-wiri
sedang berada di airport ini itu ditambah foto-foto selfie dengan
latar Bandar Udara Pulau Pinang atau Bandar Udara KLIA atau Bandar Udara Kuala
Namu ataupun Bandar Udara Sultan Iskandar Muda Banda Aceh. Tidak ada. Sebab
bisa pulang saja sudah syukur. Dan perjalanan-perjalanan tersebut benar-benar
menguras tenaga.
Hingga
semester tiga selesai, anak-anak yang baru selesai ujian, saya boyong ke Penang
selama satu bulan. Mereka tinggal bersama saya di asrama untuk International
Students yang seharusnya hanya muat untuk satu orang untuk menemani saya yang
belum ujian. Tidak ada lagi apartement berkamar dua yang lengkap dengan
dapur, ruang tamu dan kamar mandi. Semenjak suami dan anak-anak terpaksa pulang
ke Aceh, apartement tersebut kami kembalikan kepada ownernya
untuk menghemat biaya.
Meskipun
bersempit-sempit di bilik kecil International House, tapi anak-anak
merasa sangat bahagia karena kami bisa bersama-sama. Untuk membuat mereka tak
cepat bosan, sesekali saya mengajak anak-anak berjalan-jalan ke Queens Bay
Mall yang letaknya tak jauh dari Bandara Pulau Pinang.
Setelah
selesai ujian, kemudian saya memesan tiket pulang, namun ternyata anak-anak
sudah overstay satu hari. Kami sempat diinterogasi beberapa lama di airport
dan passport yang digunakan anak-anak dibawa ke ruang kantor
imigrasi bandara. Saya merasa sangat panik saat itu, namun berbekal ilmu Magnet
Rezeki yang sudah saya pelajari, saya terus berprasangka baik kepada Allah, inna
ma’al ‘usri yusra fainna inna ma’al ‘usri yusra. Sungguh di balik kesulitan
itu ada kemudahan. Sampai dua kali Allah mengulangnya dalam surat yang sama.
Oleh kerena itu saya masih dapat tersenyum di balik persoalan, karena saya
yakin setelah sandiwara ini berakhir akan ada hadiah indah yang menanti.
Semester
empat saya bisa berlapang dada sebab selama dua bulan masa penelitian, saya
bisa tinggal di Banda Aceh. Meskipun demikian, saya tetap saja harus bolak
balik Banda Aceh-Penang untuk bimbingan tesis.
Memang
ibu dosen pembimbing membolehkan saya untuk mengerjakan tesis di Aceh,
sayangnya hal itu tak pernah terjadi. Sebaris kalimatpun tak terealisasi. Saya
sibuk bertamasya bersama anak-anak kesana kemari. Walhasil, tiket Btj- Pen dan
Pen-Btj hampir penuh sekeranjang selama satu tahun. Ada lebih kurang dua puluh
delapan lembar tiket dengan berbagai macam model penerbangan ; direct Pen-
Btj atau transit KNO atau malah sempat menginap di musalla KLIA Airport.
Tentunya tanpa selembar moment pun yang sempat saya abadikan karena saya
sudah kelelahan berusaha agar bisa pulang.
Rangkaian
perjalan ini menyadarkan saya bahwa menjadi ibu yang traveller sangatlah
tidak mudah. Long Distance Relationship (LDR) tersebut menuntut semua
ibu untuk merencanakan kapan harus berada di luar dan kapan harus berjumpa dengan
anak-anaknya.
Dan
perjalanan udara itu ternyata tidak selamanya menyenangkan. Jika saya mendapat
pesawat Airbus maka resikonya harus duduk di kursi bertiga yang dua
orang penumpang lainnya terkadang adalah lak-laki, kita seorang diri perempuan.
Selain itu di ketinggian sekian ribu meter di atas permukaan laut, telinga
orang-orang yang mepunyai riwayat sinus akan berdenging dengan lebay.
Lain
lagi jika dapat pesawat kecil, keadaan bisa jadi sangat tidak nyaman dengan turbulence
yang luar biasa. Berkali-kali saya merasa sport jantung karena pesawat
bergoyang-goyang dengan kencang. Seringkali akhirnya saya memilih bergadang
malam dan tidur di dalam pesawat agar tidak perlu merasa deg-degan
selama dalam perjalanan.
Meskipun
demikian, ada satu hal yang menjadi favorit saya saat terbang. Terkadang ada
hal-hal yang sangat menyedihkan terjadi dalam hidup. Maka berdoa sambil
menyentuh awan (melalui kaca pesawat) adalah pilihan favorit. Duduk seorang
diri dengan air mata menderas sambil memohon-mohon kepada Allah agar diampuni
dosa dan dimudahkan semua urusan. Terus menatap ke arah jendela sambil menutup
muka agat tidak ketahuan sedang banjir air mata akan memberikan sensasi yang
luar biasa saat posisi kita berada di langit. Kita akan merasa betapa Allah
begitu dekat karena Arasy-Nya berada di langit. Kita merasa begitu kecil
dibanding alam ciptaan-Nya. Kita merasa begitu kotor ketika bersandingkan awan
nan putih bersih, merasa begitu kerdil ketika bersanding dengan samudera nan
luas. Ya Rabb, ya Rabb.. Sungguh masalahku kecil bagi-Mu. Sungguh
semua urusanku hanya taburan debu dibanding kuasa-Mu. Allah… Laa ilahailla
anta, subhanaka inni kuntu minadl-dlaalimin.
Begitulah
rapalan doa-doa itu berulang terus menerus hingga semester keempat selesai. Tak
perlu menunggu lama, selesai sidang tesis, saya segera terbang lagi ke Aceh.
Tepat pada September 2019, saya akan mengikuti wisuda Program Master Degree
di Universiti Sains Malaysia (USM) Pulau Pinang. Saat itu tentu saya tak perlu lagi
terbang ke Malaysia sendiri. Akan ada anak-anak dan suami yang datang sebagai
tamu kehormatan pendamping wisudawati yang akan segera bergelar Master of
Art.
Maka
nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
(Q.S Ar-Rahman).
No comments:
Post a Comment