Wednesday 16 February 2022

EMAK TRAVELLER

 

Dulu sebelum kuliah saya semangat sekali mengajak kawan-kawan untuk hunting beasiswa, kuliah lagi. Meskipun sudah tiga belas kali tak lolos seleksi akhir, saya masih terus berusaha untuk mendapat beasiswa S2 hingga suami geleng-geleng kepala sambil berkata,”tak pernah kulihat seorang perempuan sengotot kamu.” Hingga akhirnya takdir Allah membawa saya ke negeri jiran, Malaysia, tepatnya di Negeri Pulau Pinang.

Begitupun ketika sudah kuliah, saya juga masih setia ngomporin emak-emak untuk semangat kuliah. Hingga tiba-tiba, pada awal semester ketiga, anak-anak harus pulang ke Aceh karena si sulung akan segera mengikuti Ujian Akhir Nasional (UAN) tingkat sekolah dasar. Semuanya jadi berbalik 180 derajat. Semangat kuliah saya jadi luntur. Ingin rasanya berhenti, tapi saya terikat perjanjian harus menyelesaikan kuliah dengan Pemerintah Daerah. Jika tidak, semua beasiswa yang sudah saya gunakan selama di Malaysia harus dikembalikan.

Maka dalam kedhaifan itu, saya terpaksa melanjutkan kuliah. Di semester tiga ini masih ada satu mata kuliah lagi yang harus saya ikuti di setiap malam Selasa. Akhirnya saya memutuskan untuk Pulang-Pergi (PP) Penang - Banda Aceh dua minggu sekali. Setelah masuk kuliah dua kali, kemudian pulang seminggu ke Banda Aceh dan Senin pagi saya kembali terbang ke Penang. Begitu seterusnya karena ada si sulung dan si bungsu yang tak henti-henti mengingatkan, “coba kalau umi masih kecil terus ditinggal-tinggal sama Nenek. Apa gak sedih?”

Untuk menebus rasa bersalah sudah meninggalkan mereka, maka saya merutinkan pulang ke Banda Aceh dua minggu sekali. Tapi tentu saja tidak ada status berwara-wiri sedang berada di airport ini itu ditambah foto-foto selfie dengan latar Bandar Udara Pulau Pinang atau Bandar Udara KLIA atau Bandar Udara Kuala Namu ataupun Bandar Udara Sultan Iskandar Muda Banda Aceh. Tidak ada. Sebab bisa pulang saja sudah syukur. Dan perjalanan-perjalanan tersebut benar-benar menguras tenaga.

Hingga semester tiga selesai, anak-anak yang baru selesai ujian, saya boyong ke Penang selama satu bulan. Mereka tinggal bersama saya di asrama untuk International Students yang seharusnya hanya muat untuk satu orang untuk menemani saya yang belum ujian. Tidak ada lagi apartement berkamar dua yang lengkap dengan dapur, ruang tamu dan kamar mandi. Semenjak suami dan anak-anak terpaksa pulang ke Aceh, apartement tersebut kami kembalikan kepada ownernya untuk menghemat biaya.

Meskipun bersempit-sempit di bilik kecil International House, tapi anak-anak merasa sangat bahagia karena kami bisa bersama-sama. Untuk membuat mereka tak cepat bosan, sesekali saya mengajak anak-anak berjalan-jalan ke Queens Bay Mall yang letaknya tak jauh dari Bandara Pulau Pinang.

Setelah selesai ujian, kemudian saya memesan tiket pulang, namun ternyata anak-anak sudah overstay satu hari. Kami sempat diinterogasi beberapa lama di airport dan passport yang digunakan anak-anak dibawa ke ruang kantor imigrasi bandara. Saya merasa sangat panik saat itu, namun berbekal ilmu Magnet Rezeki yang sudah saya pelajari, saya terus berprasangka baik kepada Allah, inna ma’al ‘usri yusra fainna inna ma’al ‘usri yusra. Sungguh di balik kesulitan itu ada kemudahan. Sampai dua kali Allah mengulangnya dalam surat yang sama. Oleh kerena itu saya masih dapat tersenyum di balik persoalan, karena saya yakin setelah sandiwara ini berakhir akan ada hadiah indah yang menanti.

Semester empat saya bisa berlapang dada sebab selama dua bulan masa penelitian, saya bisa tinggal di Banda Aceh. Meskipun demikian, saya tetap saja harus bolak balik Banda Aceh-Penang untuk bimbingan tesis.

Memang ibu dosen pembimbing membolehkan saya untuk mengerjakan tesis di Aceh, sayangnya hal itu tak pernah terjadi. Sebaris kalimatpun tak terealisasi. Saya sibuk bertamasya bersama anak-anak kesana kemari. Walhasil, tiket Btj- Pen dan Pen-Btj hampir penuh sekeranjang selama satu tahun. Ada lebih kurang dua puluh delapan lembar tiket dengan berbagai macam model penerbangan ; direct Pen- Btj atau transit KNO atau malah sempat menginap di musalla KLIA Airport. Tentunya tanpa selembar moment pun yang sempat saya abadikan karena saya sudah kelelahan berusaha agar bisa pulang.

Rangkaian perjalan ini menyadarkan saya bahwa menjadi ibu yang traveller sangatlah tidak mudah. Long Distance Relationship (LDR) tersebut menuntut semua ibu untuk merencanakan kapan harus berada di luar dan kapan harus berjumpa dengan anak-anaknya.

Dan perjalanan udara itu ternyata tidak selamanya menyenangkan. Jika saya mendapat pesawat Airbus maka resikonya harus duduk di kursi bertiga yang dua orang penumpang lainnya terkadang adalah lak-laki, kita seorang diri perempuan. Selain itu di ketinggian sekian ribu meter di atas permukaan laut, telinga orang-orang yang mepunyai riwayat sinus akan berdenging dengan lebay.

Lain lagi jika dapat pesawat kecil, keadaan bisa jadi sangat tidak nyaman dengan turbulence yang luar biasa. Berkali-kali saya merasa sport jantung karena pesawat bergoyang-goyang dengan kencang. Seringkali akhirnya saya memilih bergadang malam dan tidur di dalam pesawat agar tidak perlu merasa deg-degan selama dalam perjalanan.

Meskipun demikian, ada satu hal yang menjadi favorit saya saat terbang. Terkadang ada hal-hal yang sangat menyedihkan terjadi dalam hidup. Maka berdoa sambil menyentuh awan (melalui kaca pesawat) adalah pilihan favorit. Duduk seorang diri dengan air mata menderas sambil memohon-mohon kepada Allah agar diampuni dosa dan dimudahkan semua urusan. Terus menatap ke arah jendela sambil menutup muka agat tidak ketahuan sedang banjir air mata akan memberikan sensasi yang luar biasa saat posisi kita berada di langit. Kita akan merasa betapa Allah begitu dekat karena Arasy-Nya berada di langit. Kita merasa begitu kecil dibanding alam ciptaan-Nya. Kita merasa begitu kotor ketika bersandingkan awan nan putih bersih, merasa begitu kerdil ketika bersanding dengan samudera nan luas. Ya Rabb, ya Rabb.. Sungguh masalahku kecil bagi-Mu. Sungguh semua urusanku hanya taburan debu dibanding kuasa-Mu. Allah… Laa ilahailla anta, subhanaka inni kuntu minadl-dlaalimin.

Begitulah rapalan doa-doa itu berulang terus menerus hingga semester keempat selesai. Tak perlu menunggu lama, selesai sidang tesis, saya segera terbang lagi ke Aceh. Tepat pada September 2019, saya akan mengikuti wisuda Program Master Degree di Universiti Sains Malaysia (USM) Pulau Pinang. Saat itu tentu saya tak perlu lagi terbang ke Malaysia sendiri. Akan ada anak-anak dan suami yang datang sebagai tamu kehormatan pendamping wisudawati yang akan segera bergelar Master of Art.

Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? (Q.S Ar-Rahman).

No comments:

Post a Comment

JOGJAKARTA

Entah kenapa, Aku dan Jogja tak bisa akur. Meskipun aku sudah merinduinya sekian lama, tetap saja ketika mengunjunginya sekali dalam seumur ...