Selalu saja, di setiap masa.. ada seseorang yang ketika dia pergi, dia juga membawa sepotong hati..
Apa kabar, Boi? Rasanya
sudah lama sekali tidak mengiriminya pesan - pesan seperti itu. Mungkin dia
sibuk. Mungkin pesan-pesanku nanti akan mengganggu kegiatannya. Mungkin dia
akan merasa tak enak jika pesanku diterima tapi tak sempat dibalas. Dan ribuan
mungkin lainnya menari-nari di anganku, hingga akhirnya aku mengalah dengan rasa
ingin menyapa. Padahal dulunya dia adalah salah satu nama yang setiap weekend
bertengger paling atas di list chatboxku. Salah seorang yang sering
kuajak ngobrol hal-hal yang penting dan tak penting.
Tiga tahun yang unik penuh cerita terlewati dengan sukses. Lalu
kuikhlaskan semua cerita itu berlalu. Kubiarkan mereka terbebas dari aku yang
sudah menganggap diri sebagai ibu. Jika kuizinkan kau mengikuti kisah kami,
tentunya kau akan tau bahwa tak mudah bagiku ketika lambat laun mereka tak lagi
mengirimiku ucapan selamat hari raya, selamat hari guru, selamat ini, selamat
itu. Benar-benar tak mudah. Apalagi jika ini berhubungan dengan si Boi,
sesorang yang tak pernah menggoreskan luka apapun di hatiku, atau mungkin
belum.
Setelah dia pergi, akupun menyimpan harap bahwa akan ada suatu saat dimana
kami akan bersama-sama lagi sesering-seringnya. Mungkin seminggu sekali, atau
sebulan sekali. Yang penting dia disini, di kota ini, tempat cerita indah dan luka
bercampur menjadi sebuah kekuatan yang menghantarkan aku dan mereka ke
mimpi-mimpi besar kami.
“Berapa lama kuliahnya?” tanyaku ketika dulu dia menelpon memberi tahu
kalau tempat tujunya jauh disana, di pulau Jawa.
“4 tahun, Miss. Sama seperti S1 biasa.”
Baiklah, rasanya aku akan oke-oke saja untuk 4 tahun itu, “Tapi
berjanjilah, jika pulang, kau akan mengabariku.”
“Tentu saja.” Janjinya
Dan kurasa, benar saja. Setiap kali pulang ke kota ini, aku entah
bagaimana caranya, akan selalu tau bahwa dia berada disini. Di radius beberapa kilometer
saja dari tempatku.
Sekali dalam 4 tahun itu, kami pernah hangout bareng bersama
kawan-kawannya dan aku merasa sangat bahagia.
Kali kedua, tanpa sengaja aku bertemu dengannya di sekolah tanpa
terencana. Seharusnya saat itu dia sedang berada di pulau Jawa dan aku di
Malaysia, tapi ternyata dalam catatan takdir, aku diizinkan bertemu dengannya
meskipun tak tererncana.
Di lain waktu, ketika ia pulang, aku menyanggupi untuk datang di acara
pesta keluarganya, meskipun sedikit terlambat, tapi demi berjumpa aku berhadir
kesana.
Lain waktu setelahnya, dia menyempatkan diri untuk singgah ke rumah di tengah
jadwal yang padat hanya demi menghargai hatiku yang ia panggil, guru.
Dan yang terakhir, sebulan yang lalu.. Entah bagaimana Allah
mengaturnya. Ketika tak sengaja tasku tertinggal di rumah seorang kawan dan aku
harus buru-buru pulang, sementara ada seorang kawan lain yang harus kuantar ke
sekolah. Sempat tebersit, alamat apa ini? Aku tak suka planning yang tak
berjalan lancar.
Namun… di gerbang sekolah, aku melihatnya bersama seorang gadis, “O
MY GOD ! Mimpi apa semalam bisa jumpa gini gak janjian. Bla bla bla.”
Belum sempat dia menjawab, aku menyambung lagi, “pacarmu ya Boi?” Sambil
melihat ke arah si gadis cantik yang canggung karena kuperhatikan lama.
Baru kali ini dalam 4 tahun aku bisa mengganggunya dengan pertanyaan
itu, padahal adalah kesempatan terbaikku ketika suatu saat, hanya satu kali
dalam 4 tahun, dia menelponku untuk bertanya tentang novel yang cocok sebagai
hadiah untuk seorang gadis. Sangkaku itu pasti untuk gadis pujaannya, tapi dia
mengelak seperti biasa, “untuk adiknya kawan, Miss.” jawabnya saat itu.
Persis seperti hari ini, masih dengan jawaban yang sama, “Bukan Miss…." Bahkan
setelah 4 tahun yang kurasa panjang itu, tak ada yang berubah. Tidak
sedikitpun. Semuanya masih sama. Bahkan cara orang memandang kamipun masih
sama, jealous. :D
Well, aku sangat
berharap bahwa setelah hari itu akan ada farewell party karena dia akan
segera kembali ke sekolahnya. Aku tak bertanya, hanya menunggu. Mungkin hari
raya masih bisa berjumpa. Pasti banyak sekali agenda yang harus dibuatnya di
kota ini, aku tak ingin mengganggu.
Hingga beberapa hari raya terlewat tanpa kabar, akhirnya aku mencoba
menghubungi.. Tapi, wait! Kenapa tak ada satupun kontak namanya di list
Hp-ku. Akhirnya karena khawatir dengan kesempatan terakhir, aku mulai
menghubungi kawan-kawannya untuk bertanya, “si Boi sudah balik ya?” Tak ada
yang tau.
Setelah mendapatkan nomor Handphonenya dari seseorang, aku
langsung menekan tombol dial, bahkan sebelum aku menyimpannya. Ini telpon
kedua selama 4 tahun kurasa. Meskipun yang pertama, Hp-nya dioper-oper ke seluruh
asrama. Sedang nginap di Jogja katanya bersama kawan-kawan yang juga siswaku.
"Ini siapa?” Jawab suara di ujung sana. Diapun tak punya nomorku. Device
kami sepertinya sudah seribu kali berganti sejak 4 tahun terakhir dan aku
tak merasa akan perlu menghubungi dan dihubungi sesorang.
“Sudah balik ya?” Aku balik bertanya.
Dan benar saja, ternyata kesempatan terakhir itu tak pernah ada. Tapi
bukan aku namanya jika tak masih berharap dia akan pulang lagi setelah training
sebulan itu. Paling tidak, dia ditempatkan di Sumatera, tak begitu jauh
dari kota ini. aku masih sangat sangat berharap bahwa masih ada kesempatan lain
selain pertemuan yang 4 kali dalam 4 tahun. Aku tak mau penantian ini diakhiri
dengan pertemuan express 4 menit di sekolah bulan lalu.
Sebulan berlalu aku tiba-tiba perlu sekali menanyai sesuatu kepada
seorang alumni. Kucari-cari semua nama yang pernah mengirimiku pesan via WhatsApp,
tapi satupun tak ada. Mungkin aku tak pernah menyimpannya. Tak banyak lagi nama
yang penting belakangan ini. Karena terlalu menganggap orang penting ternyata
terkadang meninggalkan jejak duka. Sampai akhirnya kutemukan namanya, Za. Tanpa
melihat waktu, langsung ba bi bu.. Tak ingat kami berada di zona waktu yang
satu jam berbeda.
Setelah beberapa baris baru tersadar sudah pukul 22.00 lewat, tapi
ternyata masih aktif WhatsAppnya. Isi pembicaraan itu tak lagi penting
ketika tiba-tiba ia berkata, “Miss, saya sudah dibacain penempatan.”
“Dimana?” tanyaku sedikit khawatir.
“Di Papua.” Ujarnya.
Ya Allah, Ya Allah. Apa mungkin selama ini aku terlalu khawatir bahwa
ini akan terjadi? Bahwa ternyata 4 tahun bukanlah akhir dari perpisahan ini.
Masih ada 9 tahun menanti. Dan aku tak berani berpikir tentang apa saja yang
akan terjadi dalam 9 tahun itu. Mungkin dia menikah, sudah menjadi ayah atau
sudah menjadi komandan atau pembesar di sebuah instalasi pemerintah. Yang jelas
9 tahun itu sudah pasti merubah segalanya dan mengubahnya menjadi seseorang
yang lain, bukan lagi si Boi kecil kesayanganku.
Banda Aceh, 2/10/2020