“Ada cowok ganteeeeeeeeeeeng.
Mati ana.”
Seorang kawan tergopoh-gopoh lari
sambil berteriak-teriak seperti sedang dikejar maling. Tapi isi teriakannya
sungguh syahdu mendayu sehingga membuat semua penghuni asrama putri bagian
belakang berhamburan keluar mendekati sang pembawa kabar gembira.
“Tarik meja! Angkat kursi!
Cepaaaaaaaaaaat!” Dengan napas yang masih ngos-ngosan, pembawa kabar memberi
aba-aba kepada anggota kamar 9 untuk mengeluarkan satu-satunya meja
multifungsi yang berada dalam kamar tersebut.
Meja dan kursipun didorong
mendekati tembok setinggi dua setengah meter yang menjadi pembatas blok
putra dan putri.
“Pegang, pegang! Ana duluan. Nanti
gantian.” Ucap Ami, si pembawa kabar dengan terburu-buru sembari menaiki meja
beralas kertas kado bergambar teddy bear yang sudah berada tepat di seberang
tembok pembatas berwarna putih buram yang terkelupas di sana sini termakan
waktu.
“Ya Allah, jamil jiddan (ganteng
banget). Mati ana.” Ami terus berceracau mengulang kata-kata yang sama sehingga
membuat kami, yang sedang menunggu giliran untuk melihat santri baru yang
sedang diantar Ustadz menuju blok putra, menjadi sangat penasaran.
“Khalash, inzily! (Udah, turun!)
Baddil, baddil. (Tukaran, tukaran.)” Bahasa Arab broken terdengar dari mulut seorang pengantri yang juga terlihat
sudah tidak sabaran.
“Ain? Ainalladzi jamiil?(Yang
mana yang ganteng?). Ada tiga orang tu.” Seorang santriwati lain bertanya dari
atas kursi yang sedang dinaikinya.
“Athwal, athwal.” Jawaban dari Ami,
si gadis pembawa kabar tadi, menerangkan bahwa si ganteng adalah yang paling
tinggi diantara ke tiga murid baru.
“Udah, turun, turun, kak Sumi
juga mau lihat.” Antrian panjang kami yang sedang penasaran tiba-tiba dipotong
oleh kakak dapur kami yang paling baik budi, yang suka menambah jatah ikan jika
rayuan kami mempan, tanpa sepengetahuan ibu dapur tentunya.
“Kalau gak turun, kak Sumi
laporin ustadz.” Ancamnya sambil menarik-narik rok biru berbunga-bunga kecil
yang dipakai kawanku yang sedang mengintip dari balik tembok panjang.
“Ihhh, kak Sumi ni.” Dania
buru-buru turun sambil menggerutu mendengar ancaman tersebut.
“Aduuuh, udah hampir masuk ke
blok putra, enggak nampak lagi.” Intonasi suara kak Sumi terdengar kecewa.
Namun kekecewaan yang terbesar
adalah milik kami yang telah rela mengangkat meja dan kursi, rela mengantri
lama, tapi tidak mendapatkan apa-apa. Gara-gara kak Sumi datang, harapan kami
melihat cowok-cowok ganteng tersebut pupus sudah.
“Labaksa, ghadan faqadh fil
fashl. (Enggak apa-apa, besok saja di kelas),” ucapku menghibur wajah-wajah
kami yang kecewa.
Keesokan paginya aku benar-benar terpana
ketika bertemu dengan cowok perawakan indo dan sangat mirip dengan Stuart Collin
yang telah menjadi gosip paling hangat di asrama putri Nyawong School
malam itu. Aku terpana bukan karena kegantengan cowok yang sepanjang malam
dielu-elukan oleh kawan-kawan yang sempat mengintip. Namun, terlebih karena
cowok itu adalah salah seorang kawanku saat di Madrasah Tsanawiyah dulu.
Begitupun kedua santriwan lainnya yang baru masuk hari ini.
Sudah hampir dua tahun aku tidak
bertemu mereka karena di penghujung kelas VIII, aku pindah dari Sekolah Tahfiz
Qur’an karena tak kuasa menjalankan program di salah satu sekolah Tsanawiyah terfavorit
di daerah Aceh tersebut.
Aku heran kenapa kawan-kawanku
menganggap teman-teman dari Tsanawiyahku itu ganteng dan keren. Padahal aku
telah lama mengenal mereka. Kenapa aku tak pernah tahu kalau mereka mempuyai
aura yang mampu menghipnotis mata para gadis yang sedang duduk di kelas I Madrasah
Aliyah Nyawong School. Mungkin aku sudah mulai harus berkaca mata. Mungkin.
Namun, sejak saat itulah, aku baru dapat memahami sebuah ungkapan keseringan
yang selalu keluar dari mulut kawan-kawanku, “Ganteng itu relatif.”