Wednesday 8 April 2020

GANTENG



“Ada cowok ganteeeeeeeeeeeng. Mati ana.”
Seorang kawan tergopoh-gopoh lari sambil berteriak-teriak seperti sedang dikejar maling. Tapi isi teriakannya sungguh syahdu mendayu sehingga membuat semua penghuni asrama putri bagian belakang berhamburan keluar mendekati sang pembawa kabar gembira.
“Tarik meja! Angkat kursi! Cepaaaaaaaaaaat!” Dengan napas yang masih ngos-ngosan, pembawa kabar memberi aba-aba kepada anggota kamar 9 untuk mengeluarkan satu-satunya meja multifungsi yang berada dalam kamar tersebut.
Meja dan kursipun didorong mendekati tembok setinggi dua setengah meter yang menjadi pembatas blok putra dan putri.
“Pegang, pegang! Ana duluan. Nanti gantian.” Ucap Ami, si pembawa kabar dengan terburu-buru sembari menaiki meja beralas kertas kado bergambar teddy bear yang sudah berada tepat di seberang tembok pembatas berwarna putih buram yang terkelupas di sana sini termakan waktu.
“Ya Allah, jamil jiddan (ganteng banget). Mati ana.” Ami terus berceracau mengulang kata-kata yang sama sehingga membuat kami, yang sedang menunggu giliran untuk melihat santri baru yang sedang diantar Ustadz menuju blok putra, menjadi sangat penasaran.
“Khalash, inzily! (Udah, turun!) Baddil, baddil. (Tukaran, tukaran.)” Bahasa Arab broken terdengar dari mulut seorang pengantri yang juga terlihat sudah tidak sabaran.
“Ain? Ainalladzi jamiil?(Yang mana yang ganteng?). Ada tiga orang tu.” Seorang santriwati lain bertanya dari atas kursi yang sedang dinaikinya.
“Athwal, athwal.” Jawaban dari Ami, si gadis pembawa kabar tadi, menerangkan bahwa si ganteng adalah yang paling tinggi diantara ke tiga murid baru.
“Udah, turun, turun, kak Sumi juga mau lihat.” Antrian panjang kami yang sedang penasaran tiba-tiba dipotong oleh kakak dapur kami yang paling baik budi, yang suka menambah jatah ikan jika rayuan kami mempan, tanpa sepengetahuan ibu dapur tentunya.
“Kalau gak turun, kak Sumi laporin ustadz.” Ancamnya sambil menarik-narik rok biru berbunga-bunga kecil yang dipakai kawanku yang sedang mengintip dari balik tembok panjang.
“Ihhh, kak Sumi ni.” Dania buru-buru turun sambil menggerutu mendengar ancaman tersebut.

“Aduuuh, udah hampir masuk ke blok putra, enggak nampak lagi.” Intonasi suara kak Sumi terdengar kecewa.
Namun kekecewaan yang terbesar adalah milik kami yang telah rela mengangkat meja dan kursi, rela mengantri lama, tapi tidak mendapatkan apa-apa. Gara-gara kak Sumi datang, harapan kami melihat cowok-cowok ganteng tersebut pupus sudah.
“Labaksa, ghadan faqadh fil fashl. (Enggak apa-apa, besok saja di kelas),” ucapku menghibur wajah-wajah kami yang kecewa.
Keesokan paginya aku benar-benar terpana ketika bertemu dengan cowok perawakan indo dan sangat mirip dengan Stuart Collin yang telah menjadi gosip paling hangat di asrama putri Nyawong School malam itu. Aku terpana bukan karena kegantengan cowok yang sepanjang malam dielu-elukan oleh kawan-kawan yang sempat mengintip. Namun, terlebih karena cowok itu adalah salah seorang kawanku saat di Madrasah Tsanawiyah dulu. Begitupun kedua santriwan lainnya yang baru masuk hari ini.
Sudah hampir dua tahun aku tidak bertemu mereka karena di penghujung kelas VIII, aku pindah dari Sekolah Tahfiz Qur’an karena tak kuasa menjalankan program di salah satu sekolah Tsanawiyah terfavorit di daerah Aceh tersebut.
Aku heran kenapa kawan-kawanku menganggap teman-teman dari Tsanawiyahku itu ganteng dan keren. Padahal aku telah lama mengenal mereka. Kenapa aku tak pernah tahu kalau mereka mempuyai aura yang mampu menghipnotis mata para gadis yang sedang duduk di kelas I Madrasah Aliyah Nyawong School. Mungkin aku sudah mulai harus berkaca mata. Mungkin. Namun, sejak saat itulah, aku baru dapat memahami sebuah ungkapan keseringan yang selalu keluar dari mulut kawan-kawanku, “Ganteng itu relatif.”



No comments:

Post a Comment

JOGJAKARTA

Entah kenapa, Aku dan Jogja tak bisa akur. Meskipun aku sudah merinduinya sekian lama, tetap saja ketika mengunjunginya sekali dalam seumur ...