Wednesday 16 February 2022

JOGJAKARTA

Entah kenapa, Aku dan Jogja tak bisa akur. Meskipun aku sudah merinduinya sekian lama, tetap saja ketika mengunjunginya sekali dalam seumur hidupku, aku mendapati Jogja tak sayang aku.

Aku ke Jogja memang bukan untuk refreshing melainkan tugas dinas mendampingi siswa-siswiku mengikuti sebuah event besar yang diadakan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

Selama di Jogja ada saja hal-hal aneh yang terjadi, mulai dari dikejar-kejar seorang nenek sang penjual topi di kaki Prambanan karena aku memilih membeli topi dari penjual lain hingga makanan favorit yang kubeli ternyata membuatku ilfeel (ilang feeling). Masalah makan sebenarnya aku bukan pencinta kuliner  yang suka rewel dengan makanan tak enak. Tapi sekali lapar aku ingin makan sesuatu yang istimewa. Maka ketika lelah mengelilingi Prambanan, salah satu candi kebanggaan Indonesia itu, aku memilih sebuah kantin sayur pecal yang tampak ramai yang sangkaku pecalnya pasti enak. Sayangnya setelah memesan seporsi besar, aku baru sadar kalau sayur pecalnya hanya isi bayam pahit yang beda dengan bayam biasa di kotaku, dan olala bumbu kacangnya pun terasa aneh di mulutku.

Kali kedua, setelah seminggu lebih berada di Jogja, aku sangat rindu dengan martabak telur, maka kerak telurpun jadi pilihan saat mengujungi pameran di seputaran keraton malam itu. Aku membeli kerak telor sebanyak 30.000, karena ingin makan sepuasnya. Tapi ternyata rasanya sungguh di luar dugaan. Keraknya terasa hambar dan isinya hanya sayur kol tiada rasa. Ya ampun, menetes air mataku melihat kerak telor makanan favoritku harus berakhir di tempat sampah.

Selain makanan, sikap para pengemudi taksi yang sewenang-wenang juga membuatku menganggap Jogja tak menerimaku. Saat aku berkunjung ke sana, tidak ada taksi online yang bisa kupakai untuk berkeliling, hanya taksi biasa. Karena aku baru pertama kali ke Jogja dan belum menghafal rute bus, akhirnya taksi menjadi satu-satunya pilihan transport selama di Jogja.

Saking seringnya naik taksi, aku jadi hafal tarifnya. Namun ada satu kejanggalan yang dilakukan para pengemudi taksi ini. Ketika akhir pekan dan hari libur, harga taksi melejit tiga kali lipat dari hari biasa. Aku terheran-heran dengan kompaknya para pemilik taksi menaikkan tarif hari libur. Pun ketika aku meminta dikurangi ongkos seperti hari biasa, mereka kompak memarahiku, “jika tak mau naik, tak usah, ini hari libur, banyak orang yang perlu taksi.” Nah lho.. begitu jawabnya.

Jogja oh Jogja betapa kau tak sayang aku, batinku saat itu

Namun demikian, program kunjungan ke Jogjaku harus tetap berjalan. Semua planning yang sudah kususun rapi dari awal harus kuselesaikan. Salah satu dari program itu adalah membelikan hadiah cenderamata untuk orang-orang kesayangan saat aku pulang. Untuk satu orang yang spesial, aku berniat sekali untuk membawakannya sesuatu, apapun mungkin. Jadi ketika berada di pasar seputaran Borobudur, mataku tak henti-hentinya melirik ke sebuah kaos khas Jogja dengan gambar becak yang besar di bagian depan bawah T-shirt tersebut. Sepertinya ini bisa kujadikan cenderamata.

Tapi sepanjang jalan aku menimbang-nimbang, alangkah tidak eloknya memberikan hadiah 'pakaian' untuk seseorang yang kita tidak punya hubungan khusus dengannya meski kaos itu sudah masuk ke kantong dalam jinjinganku.

Esoknya, dibantu Ari, seorang kawan lama, aku berkeliling Jogja dengan mobil yang di sewanya. Kami muter-muter di mall dan masuk ke salah satu toko buku yang paling tersohor di Indonesia, Gramedia.

Tidak yakin dengan kaos bergambar becak, sambilan mencari-cari buku untuk anak-anak, plus juga buku titipan dari sohib terbaikku, aku juga berencana mencari sesuatu yang bisa kuhadiahkan untuknya mengganti hadiah yang konyol kemarin

Setelah berkeliling, tetiba mataku tertumbuk ke sebuah judul buku yang kira-kira dikhususkan untuk tes para capra, catar, catam, dan ca-ca lainnya yang aku lebih sering menyebutnya 'aparat'.

Ahh, aku benci menghadiahinya buku itu, itu membuatku seolah-olah telah ridha dengan pilihannya, padahal tidak, tidak sama sekali. Tapi rasa sayang perlu sedikit pengorbanan. Dan buku itupun kubawa menuju kasir, hingga kudengar Ari berkata, "Gak usah beli disini, mahal, nanti kita cari di Taman Pintar aja, mau buku apa saja ada, dan harganya terjangkau."

Hmm, boleh juga, jawabku dalam hati sembari meletakkan kembali buku itu di tumpukan buku-buku lain yang senyawa.

Walhasil  keluar dari Gramedia aku hanya membeli beberapa buku cerita anak-anak dan sebuah Al-Qur'an yang juga ingin kuhadiahi kepada seseorang.

Sepulang dari situ, akupun menyusun rencana untuk mengunjungi Taman Pintar, yang sudah pernah kukunjungi sekali saat ke Benteng Vredeburg. Kata Ari, "Biar kuantar Sabtu selepas ujianku, karena besok Jum'at." Aku tak menjawabnya.

Maka ketika besoknya, pasukanku berangkat menuju Bioskop XXI untuk menonton Star War dan Langit Terbelah di Eropa, akupun berangkat sendirian ke Taman Pintar. Nekatnya aku yang tak tau jalan dan arah, berjalan-jalan sendiri di kampung orang. Tapi aku tak punya banyak waktu, hari minggu aku harus pulang, dan besok aku sudah harus packing.

Setiba di Taman Pintar diantar taksi, aku mencari food-court karena sudah sangat kelaparan tak sempat sarapan. Usai menyantap empek-empek Palembang yang terasa sangat aneh di lidahku, aku langsung berkeliling, membuka list di Handphone-ku mencari satu persatu buku pesanana kawan-kawan terbaik everku.

Selain buku-buku antropologi dan filsafat dan beberapa buku 'gila' lainnya yang dipesan saudara-saudariku itu, aku juga membeli beberapa novel untuk koleksi plus novel untuk hadiah bagi yang pantas mendapat hadiah nantinya.

Kau ingin tau salah satu buku gila yang dipesankan kepadaku? - Perempuan di Titik Nol alias Firdaus - Karya Nawal el-Sadawi. itu adalah buku yang paling gila yang pernah kubaca, dan sangat tidak dianjurkan untuk makhluk berusia di bawah 25. Aku serius.

Nah, setelah semua buku itu terkumpul, aku tak jua menemukan buku yang ingin kuhadiahkan kepadanya, dia yang kuingat dimana-mana. Padahal di setiap toko yang kusinggahi aku menanyakan perihal buku tersebut. Mereka telah berusaha juga mencari-cari ke kios lain, namun nihil, hasilnya nol. Buku itu tak dijual disini.

Betapa menyesalnya aku, kenapa tak jadi membelinya di Gramedia kemarin. Ahh, rencanaku gagal, gagal total.

Tapi aku tak akan menyerah, masih ada beberapa kios yang belum kutanyai, dan akupun mulai bergerak lagi dengan dua kantong besar buku-buku titipan best friends dan novel-novel punyaku.

Setelah tanya sana sini, rasanya para penjual di lapak-lapak itu merasa aku sedang mencari sesuatu yang tak ada. Bagaimana cara mereka bisa mendapatkan buku yang memang tak pernah dicetak, hehehehe. Tapi aku tak peduli, sudah kepalang tanggung, aku belum tentu bisa kembali kemari dalam beberapa tahun lagi.

 Demi semangat itu, akupun menyusuri sebuah koridor lagi yang masih buka, sementara kios-kios lain ada beberapa yang sudah mulai tutup karena jadwal shalat Jum'at sudah tiba. Hmm, mirip dengan kondisi di kampungku yaa. Walaupun disini tak wajib tutup semua, tapi banyak juga yang tidak mau berjualan saat shalat Jum'at dilaksanakan.

Tiba di lapak pertama, di lorong itu yang dijaga oleh seorang perempuan, dia menjawab pertanyaanku dengan murung, mungkin kecapaian dari pagi sudah duduk disana.

Lapak ke dua dijaga oleh dua orang yang sepertinya kakak beradik : laik-laki dan perempuan. 'Ada buku ini ga?’ tanyaku menyebut sebuah judul. Dan senangnya aku, karena muka penjaga laki-laki itu seolah-olah merasa pernah mendengar tentang buku tersebut. Lalu dia mulai mengambil beberapa buku Tes Potensi Akademik dari rak atas, namun bukan itu yang kucari. Lalu aku menujuk kesebuah buku, "Ukurannya segini, bukunya untuk tes masuk Akademi Polisi, bukan Tes Polisinya", ujarku.

Dan pucuk dicinta ulampun tiba, dia menarik sebuah buku di tumpukan bawah, tereeeeeeng... 'Here you go.' teriakku dalam hati.

Berapa ini, serius, pada saat itu aku tak rencana minta kurang, lelahnya aku, berjalan setengah harian hanya untuk sebuah buku. Selain membayar, akupun berterima kasih kepada si penjaga lapak dengan mengeluarkan 15 butir permen (mungkin lebih) dari tasku untuk kuberikan kepadanya dan semua penjaga lapak di lorong itu.

 "Terima kasih yaaa," Hmm, bahagia sekali rasanya, semua yang ingin kubawa pulang sudah lengkap sekarang. Aku memasukkan buku itu ke dalam tas dan menarik dua kertas besar penuh buku tanpa menghiraukan tatapan-tatapan dari penghuni lorong yang melihat aneh ke arahku. Senewen mungkin, kok ada orang datang kemari pigi bagi-bagi permen siang-siang. Tapi biarlah, aku ingin pulang. Aku lelah.

Namun, rasa letihku ternyata tak tertebus hanya dengan buku itu berhasil kudapat, itu jam shalat Jum'at dan aku tak berhasil menyetop sebuah taksipun karena semuanya full dan ongkosnya sudah tak masuk akal.

Putus asa dengan taksi, akupun mencoba bertanya kepada penjaga halte, kira-kira kalau ke arahku, akau harus naik bus apa. Dia menjawabku dengan tersenyum. Betapa berharganya nilai sebuah senyum dari Jogja untukku saat itu. Setelah membayarnya, akupun meninggalkan beberapa butir permen di atas mejanya, dan dia tersenyum lagi.

Sepanjang jalan aku berfikir bagaimana caranya aku bisa pulang ya, sementara bus ini tidak sampai menjangkau wilayah tempat yang aku tinggali sementara di Jogja. Lalu, aku iseng mengirimi Ari sms, dan ia langsung merespon. "Turun saja di halte UGM, nanti saya jemput pakai motor,"

"Beres Boss." Dia memang kawan terbaik dan selalu bisa diandalkan.


SAAT AYAH TAK DI SISI

             Sepertu halnya anak-anak lain yang merasa hidupnya sangat lengkap ketika kedua orang tuanya bersama, anak-anak Rahmahpun demikian. Tapi takdir tak selalu berjalan sesuai keinginan. Ada saatnya orang tua  mereka hidup bersama, namun ada saatnya ayah harus pergi mencari rezeki di tempat yang sangat jauh dari jangkauan anak-anak.

Suatu malam dalam kehidupan rumah tangga Rahmah, saat itu mereka hidup nun di negeri seberang, suaminya berkata, visa turisku tinggal seminggu, aku harus keluar dari negara ini sebelum temponya habis.

“Apakah Kau akan pulang ke Indonesia atau hanya menyeberang ke Batam untuk beberapa hari?” tanya Rahmah.

“Aku malah punya ide bagus. Aku akan ke Thailand untuk bekerja di sana selama satu bulan. Jika nanti usahaku berjalan baik, aku akan kembali kemari satu minggu untuk memperpanjang permit turisku di Thailand dan melanjutkan kerjaku di sana. Karena di sini, kita tak punya peluang.” Ujar suaminya panjang lebar.

Serta merta emosi Rahmah naik, dia galau karena merasa akan ditinggalkan sendirian di Negeri Jiran.

“Tak usah rewel. Ini baru rencana.” Sambung suaminya diplomatis.

Setelah semuanya dimusyawarahkan dan dipersiapkan, maka Husen pergilah mencari rezeki ke perbatasan Malaysia-Thailand. Rahmah sangat kehilangan. Tapi ternyata anak-anak mereka yang paling merasa kehilangan. “Aku tak suka jika ayah tak disini. Biasanya setiap Sabtu kita selalu main ke park (lapangan).” Kata si Bungsu

“Kan bisa pergi dengan Ibu, Sayang.” Bujuk Rahmah.

Tapi Ibukan selalu sibuk dengan tugas. Biasanya kami malah main di depan ruang kuliah Ibu yang ramai itu. Main di dalam perpustakaan kan dilarang.” Jawab si Kecil lagi  dengan nada kecewa.

“Nanti saat ada waktu luang, Ibu janji ya, akan mengajakmu ke lapangan.” Rahmah menyorongkan jari kelingking ke arah bungsunya namun tak disambut. Tak disangkanya ternyata bungsunya sudah besar sekarang, sudah tak bisa disogok dengan rayuan.

Lain lagi kakaknya. “Kakakkan pingin main ke rumah kawan di apartement sana sekali-kali sambil berenang. Di apartement mereka kolamnya besar. Disini  malah gak ada kolam. Ibu kan belum pernah mau kesana, biasanya kan ayah yang antar.” Cerocos sulungnya.

Rahmah mengurut-urut dada, ini baru tiga hari, bagaimana kelanjutannya ya. Ia menenbak-nebak.

Setiap malam sebelum tidur mereka akan menelpon ayahnya sejenak untuk berkeluh kesah. Dan jawabannya selalu sama, “Sabar ya, sebentar lagi juga ayah pulang.”

Janji itu cukup untuk membuat mereka tertidur lagi malam itu.

Tetapi tidak dengan Rahmah, dia tak bisa tidur sampai tengah malam memikirkan bagaimana nasibnya di tempat rantau tanpa Husen di sisi.

Sepuluh hari berlalu, malam ini Husen menelpon anak-anak lebih lama dari biasanya.

“Sayang Ayah, Adek dan Kakak harus baik-baik ya di tempat orang. Kakak dan Adek harus jaga Ibu ya. Harus patuh dan nurut jika disuruh Ibu, jangan melawan. Dengar, mulai besok ada sesuatu yang sedikit berubah.” Lalu jeda.

            “Ayah sudah menemukan kerja yang cocok, tapi Ayah perlu modal tambahan. Jadi handphone ini harus Ayah jual sementara. Nanti kalau sudah ada rezeki Ayah beli lagi. Jadi anak-anak harus sabar kalau besok malam tidak bisa menelpon Ayah lagi seperti biasa.” Tutur Husen panjang lebar.

Anak-anak diam saja karena kecewa. Kemudian Husen mengirim beberapa foto tempat persinggahannya di Thailand sambil terus bercerita tentang tempat-tempat tersebut.“ Nanti kita pergi lagi kemari sama-sama ya. Tapi janji dulu doain Ayah dan bantuin Ibu disitu ya. Janji?” tanya Husen penuh semangat.

“Janjiiiii…” jawab anak-anak tak kalah semangat.

Seperti malam-malam yang lalu, anak-anak tidur pulas setelah mengobrol dengan ayahnya sementara Rahmah semakin merasa bersedih karena akan terputus komunikasi dengan suaminya mulai besok. Namun demikian suaminya telah berpesan, jika ada hal penting dia boleh mengirim pesan melalui email.

Hari berganti sejak hari itu dia tak pernah mendengar kabar dari suaminya, sementara anak-anak tak henti bertanya kapan ayah pulang. Jangankan untuk menjawab tentang itu, mengenai kabar Husen saja dirinya tak tahu.

Setelah bermalam-malam tidur anak-anaknya tak lagi pulas, Rahmah menceritakan sebuah nasehat yang didengarnya dari sebuah channel telegram. Channel Magnet Rezeki namanya.

“Ibu baru dengar cerita Pak Nas tadi.” Dia membuka cerita malam itu dan anak-anak sudah tau siapa yang dipanggil Pak Nas oleh ibunya. Beliau adalah founder Akademi Magnet Rezeki.

“Kata pak Nas kalau kita pingin sesuatu, gampang kok. Kita tinggal pikir-pikir aja tentang itu setiap hari. Tinggal sebut-sebut itu tiap saat.” Seandainya usia anak-anaknya sudah remaja tentu Rahmah akan mengumpamakannya dengan istilah, seperti orang yang sedang jatuh cinta.

Sayangnya anak-anak Rahmah masih berusia delapan dan sepuluh tahun, jadi  rasanya mereka tak akan paham maksudnya.

“Sekarang kakak dan adek pingin apa misalnya?” pancing Rahmah sengaja meskipun ia sudah tau akan jawabannya.

“Tentu pingin Ayah pulanglah, Bu.” Kata si Kakak.

“Secepat-cepatnya,” sambung si Adek.

Okay, kalau gitu sebelum tidur dan setelah bangun nanti, Kakak sama Adek harus bayangin kalau Ayah udah pulang ya. Bisa kira-kira?”

“Kakak bisa,” ujar Adiba.

“Adek bisa,” lanjut Fudhail.

“Sekarang tutup mata, baca doa, terus bayangin Ayah pulang dan bawa kita main-main lagi ke park.”

“Kata Pak Nas itu namanya Law of Projection atau LOP. Lanjut Rahmah. “Hukum proyeksi. Pikiran kita seperti laptop yang akan menayangkan apa-apa yang ada di dalamnya ke layar kehidupan.” Lanjut Rahmah berharap anak-anaknya faham. Ia lanjut bertutur meskipun kedua buah hatinya sudah memejamkan mata untuk membayangkan ayahnya segera pulang.

Esok pagi-pagi sebuah ide brillian muncul dari Adiba. “Bu, bolehkah Kakak membuat beberapa gambar Ayah?”

“Tentu saja boleh, Sayang. Kakak mau gambar apa?” Tanya Rahmah kepada sulungnya yang tampak sangat dewasa bahkan di usia sepuluh tahun.

“Pertama kakak mau gambar kita lagi makan pizza sama Ayah. Terus kakak mau gambar kami lagi main di park ditemani Ayah. Terakhir Kakak cuman mau buat gambar kami bertiga. Terus kakak tempel di pintu kamar.” Jelas sulungnya panjang lebar.

Setelah ketiga gambar itu jadi, mereka menempelkan gambar-gambar itu di pintu kamar Rahmah. Semenjak ayah mereka pergi mencari rezeki, anak-anak sudah membuat kamarnya menjadi basecamp.

Setelah satu persatu gambar direkatkan dengan selotip, Rahmah mengambil spidol dan menuliskan sesuatu di bawah gambar suami dan kedua anaknya: BESOK AYAH PULANG.

“Iya bu? Besok Ayah pulang?” tanya si bungsu

“Kan doa dek. LOP kita kalau besok Ayah pulang. Besok waktu kita lihat gambar ini lagi, kita bilang lagi, besok Ayah pulang, setiap hari seperti itu. Iyakan, Bu? Lama-lama LOP kita akan menjadi kenyataan.” Jawab Adiba cerdas.

“Kan semua yang kita pikir jadi doa, Sayang. Semua doa kita dikabulkan Allah baik cepat atau lambat. Makanya kita harus selalu pikir yang baik-baik, ngomong yang baik-baik.” Rahmah menambahkan.

“DISIPLIN KATA.” Jawab kedua anaknya kompak.

“Iya, kita harus melatih disiplin untuk terus berucap dan berpikir yang baik-baik.” Ucap Rahmah.

Itu materi lainnya dari teori magnet rezeki yang sudah mereka hafal.

“Nah, selain berpikir dan berkata baik, kita juga akan bersedekah setiap hari untuk mendoakan semoga Ayah mudah urusannya disana.” Rahmah menambah satu trick lagi.

“Adek maukan masukkan koin 50 sen setiap kali turun untuk shalat di surau?” Rahmah sangat bersyukur flat yang mereka tinggali, meskipun tak punya kolam renang dan fasilitas lainnya, tapi mempunyai sebuah surau di lantai dasar. Disitulah Fudhail akan menabung sedekah untuk mendoakan ayahnya. Selain hari Jum’at tentunya. Jika hari Jum’at, Fudhail akan memasukkan beberapa ringgit ke kotak amal mesjid kampus dimana Rahmah sedang belajar.

Jika waktu Jum’at tiba, Rahmah akan mengantar si bungsunya yang masih berumur delapan tahun untuk shalat Jum’at disana. Fudhail adalah anak pemberani. Saat dulu jum’atan dengan ayahnya dia sudah berjumpa beberapa orang kawan disana. Jadi tak perlu dirayu lagi, setiap Jum’at, Fudhail selalu siap untuk shalat di mesjid, meskipun saat ayah tak mememaninya.

Selain beberapa orang anak Melayu dan Arab yang sudah menjadi kawannya di mesjid itu, es krim dan jus yang dibagikan gratis di depan masjid setiap hari Jum’at juga menjadi daya tarik sendiri bagi bocah seumuran Fudhail. Semoga Allah memberkati pencetus ide dan para pembagi sedekah jus dan es krim Jum’at tersebut.

Sedekah, LOP dan Disiplin Kata sudah diterapkan oleh Rahmah dan kedua anaknya. Sekarang tinggal berdoa saja agar keajaiban datang. Meskipun rasa khawatir dan cemas sering kali hinggap di hati Rahmah mengingat sudah empat puluh hari suaminya belum juga kembali, dan itu artinya sudah tiga puluh hari mereka tak bisa berkomunikasi, namun Rahmah melawan semua rasa itu dengan berbaik sangka kepada Allah.

“Allah itu baik banget kan ya. Allah itu sayaaaang banget sama anak-anak baik dan shaleh. Jadi apapun yang mereka minta pasti Allah kasih.” Ucap Rahmah membesarkan hati kedua anaknya.

Jika dipikir-pikir lagi, semua kecemasan Rahmah bukan semata-mata karena suaminya telah pergi terlalu lama, atau karena masalah komunikasi, namun masalah izin turis yang dipegang suaminya di Thailand hanya berlaku tiga puluh hari. Bagaimana mungkin Husen masih berada di Negeri Gajah Putih itu selama ini. Apakah Husen harus berurusan dengan pegawai imigrasi atau dia sudah menyebrang ke negara lain seperti Laos, Myammar atau malah sudah balik ke Indonesia.

Rahmah mencoba mengirimi suaminya surel. Tapi sudah tiga surel sebelumnya tak ada balasan dari Husen. Lagi-lagi Rahmah menghalau pikiran buruknya dan buru-buru membelokkannya ke pada pikiran baik, positive thinking.

Dan jelang tiga puluh hari kedua dari pamitnya Husen, Rahmah mengajak anak-anaknya mengencangkan doa beserta menambah jumlah sedekah mereka.

“Kadang-kadang Adek takut juga bawa uang sen banyak-banyak, pas masukin kotak amal di surau kan lama, orang jadi merhatiiin.“ Cerita bungsunya.

“Ya Allah, kalau begitu besok Ibu kasih uang ringgit aja ya. Misalnya sekali pigi satu ringgit. Bisa gitu dek?” Rahmah mencoba berunding dengan pemuda kecilnya yang sangat setia.

“Bisa.” Jawab jagoannya, polos.”

Dan Allah selalu tepat janji. Siang itu di hari ke 55 suaminya pergi, pintu rumahnya diketuk. Tapi  tak ada suara salam terucap.

Ketiga anak beranak itu merasa degdegan kalau-kalau Sang Pahlawan sudah pulang.

“Coba Kakak buka pintu.” Pinta Rahmah.

“Adek aja,” kata si Bungsu.

Lalu terdengar teriakan nan merdu, “Ayaaaah…”

Adibapun berlari ke pintu tak percaya. “Ayaaaaah…” teriak si Sulung juga.

Rahmah berdiri sekejap di depan kaca, melihat kondisi wajah dan rambutnya, merapikan pakaiannya untuk menyambut tamu agung yang sangat dirinduinya.

“Alhamdulillah, sudah bisa pulang, Bang,” ujarnya sambil menciumi tangan suaminya.

Husen beranjak ke arah pintu kamar setelah menyenderkan dua tas bawaannya di sofa. Ia tertawa menunjuk ke arah gambar dengan tulisan Besok ayah pulang sambil berkata, “Kok tau?”

Rahmah mengedipkan mata ke arah kedua anak-anaknya sambil menjawab kompak, “taulaaahh…”

Alhamdulillah Allah Maha Baik. Allah sesuai prasangka hamba-Nya. Maka teruslah berprasangka baik kepada Sang Pemilik Semesta. (Noor)

Banda Aceh, 10 September 2021

Pada 11.30 pm

 

EMAK TRAVELLER

 

Dulu sebelum kuliah saya semangat sekali mengajak kawan-kawan untuk hunting beasiswa, kuliah lagi. Meskipun sudah tiga belas kali tak lolos seleksi akhir, saya masih terus berusaha untuk mendapat beasiswa S2 hingga suami geleng-geleng kepala sambil berkata,”tak pernah kulihat seorang perempuan sengotot kamu.” Hingga akhirnya takdir Allah membawa saya ke negeri jiran, Malaysia, tepatnya di Negeri Pulau Pinang.

Begitupun ketika sudah kuliah, saya juga masih setia ngomporin emak-emak untuk semangat kuliah. Hingga tiba-tiba, pada awal semester ketiga, anak-anak harus pulang ke Aceh karena si sulung akan segera mengikuti Ujian Akhir Nasional (UAN) tingkat sekolah dasar. Semuanya jadi berbalik 180 derajat. Semangat kuliah saya jadi luntur. Ingin rasanya berhenti, tapi saya terikat perjanjian harus menyelesaikan kuliah dengan Pemerintah Daerah. Jika tidak, semua beasiswa yang sudah saya gunakan selama di Malaysia harus dikembalikan.

Maka dalam kedhaifan itu, saya terpaksa melanjutkan kuliah. Di semester tiga ini masih ada satu mata kuliah lagi yang harus saya ikuti di setiap malam Selasa. Akhirnya saya memutuskan untuk Pulang-Pergi (PP) Penang - Banda Aceh dua minggu sekali. Setelah masuk kuliah dua kali, kemudian pulang seminggu ke Banda Aceh dan Senin pagi saya kembali terbang ke Penang. Begitu seterusnya karena ada si sulung dan si bungsu yang tak henti-henti mengingatkan, “coba kalau umi masih kecil terus ditinggal-tinggal sama Nenek. Apa gak sedih?”

Untuk menebus rasa bersalah sudah meninggalkan mereka, maka saya merutinkan pulang ke Banda Aceh dua minggu sekali. Tapi tentu saja tidak ada status berwara-wiri sedang berada di airport ini itu ditambah foto-foto selfie dengan latar Bandar Udara Pulau Pinang atau Bandar Udara KLIA atau Bandar Udara Kuala Namu ataupun Bandar Udara Sultan Iskandar Muda Banda Aceh. Tidak ada. Sebab bisa pulang saja sudah syukur. Dan perjalanan-perjalanan tersebut benar-benar menguras tenaga.

Hingga semester tiga selesai, anak-anak yang baru selesai ujian, saya boyong ke Penang selama satu bulan. Mereka tinggal bersama saya di asrama untuk International Students yang seharusnya hanya muat untuk satu orang untuk menemani saya yang belum ujian. Tidak ada lagi apartement berkamar dua yang lengkap dengan dapur, ruang tamu dan kamar mandi. Semenjak suami dan anak-anak terpaksa pulang ke Aceh, apartement tersebut kami kembalikan kepada ownernya untuk menghemat biaya.

Meskipun bersempit-sempit di bilik kecil International House, tapi anak-anak merasa sangat bahagia karena kami bisa bersama-sama. Untuk membuat mereka tak cepat bosan, sesekali saya mengajak anak-anak berjalan-jalan ke Queens Bay Mall yang letaknya tak jauh dari Bandara Pulau Pinang.

Setelah selesai ujian, kemudian saya memesan tiket pulang, namun ternyata anak-anak sudah overstay satu hari. Kami sempat diinterogasi beberapa lama di airport dan passport yang digunakan anak-anak dibawa ke ruang kantor imigrasi bandara. Saya merasa sangat panik saat itu, namun berbekal ilmu Magnet Rezeki yang sudah saya pelajari, saya terus berprasangka baik kepada Allah, inna ma’al ‘usri yusra fainna inna ma’al ‘usri yusra. Sungguh di balik kesulitan itu ada kemudahan. Sampai dua kali Allah mengulangnya dalam surat yang sama. Oleh kerena itu saya masih dapat tersenyum di balik persoalan, karena saya yakin setelah sandiwara ini berakhir akan ada hadiah indah yang menanti.

Semester empat saya bisa berlapang dada sebab selama dua bulan masa penelitian, saya bisa tinggal di Banda Aceh. Meskipun demikian, saya tetap saja harus bolak balik Banda Aceh-Penang untuk bimbingan tesis.

Memang ibu dosen pembimbing membolehkan saya untuk mengerjakan tesis di Aceh, sayangnya hal itu tak pernah terjadi. Sebaris kalimatpun tak terealisasi. Saya sibuk bertamasya bersama anak-anak kesana kemari. Walhasil, tiket Btj- Pen dan Pen-Btj hampir penuh sekeranjang selama satu tahun. Ada lebih kurang dua puluh delapan lembar tiket dengan berbagai macam model penerbangan ; direct Pen- Btj atau transit KNO atau malah sempat menginap di musalla KLIA Airport. Tentunya tanpa selembar moment pun yang sempat saya abadikan karena saya sudah kelelahan berusaha agar bisa pulang.

Rangkaian perjalan ini menyadarkan saya bahwa menjadi ibu yang traveller sangatlah tidak mudah. Long Distance Relationship (LDR) tersebut menuntut semua ibu untuk merencanakan kapan harus berada di luar dan kapan harus berjumpa dengan anak-anaknya.

Dan perjalanan udara itu ternyata tidak selamanya menyenangkan. Jika saya mendapat pesawat Airbus maka resikonya harus duduk di kursi bertiga yang dua orang penumpang lainnya terkadang adalah lak-laki, kita seorang diri perempuan. Selain itu di ketinggian sekian ribu meter di atas permukaan laut, telinga orang-orang yang mepunyai riwayat sinus akan berdenging dengan lebay.

Lain lagi jika dapat pesawat kecil, keadaan bisa jadi sangat tidak nyaman dengan turbulence yang luar biasa. Berkali-kali saya merasa sport jantung karena pesawat bergoyang-goyang dengan kencang. Seringkali akhirnya saya memilih bergadang malam dan tidur di dalam pesawat agar tidak perlu merasa deg-degan selama dalam perjalanan.

Meskipun demikian, ada satu hal yang menjadi favorit saya saat terbang. Terkadang ada hal-hal yang sangat menyedihkan terjadi dalam hidup. Maka berdoa sambil menyentuh awan (melalui kaca pesawat) adalah pilihan favorit. Duduk seorang diri dengan air mata menderas sambil memohon-mohon kepada Allah agar diampuni dosa dan dimudahkan semua urusan. Terus menatap ke arah jendela sambil menutup muka agat tidak ketahuan sedang banjir air mata akan memberikan sensasi yang luar biasa saat posisi kita berada di langit. Kita akan merasa betapa Allah begitu dekat karena Arasy-Nya berada di langit. Kita merasa begitu kecil dibanding alam ciptaan-Nya. Kita merasa begitu kotor ketika bersandingkan awan nan putih bersih, merasa begitu kerdil ketika bersanding dengan samudera nan luas. Ya Rabb, ya Rabb.. Sungguh masalahku kecil bagi-Mu. Sungguh semua urusanku hanya taburan debu dibanding kuasa-Mu. Allah… Laa ilahailla anta, subhanaka inni kuntu minadl-dlaalimin.

Begitulah rapalan doa-doa itu berulang terus menerus hingga semester keempat selesai. Tak perlu menunggu lama, selesai sidang tesis, saya segera terbang lagi ke Aceh. Tepat pada September 2019, saya akan mengikuti wisuda Program Master Degree di Universiti Sains Malaysia (USM) Pulau Pinang. Saat itu tentu saya tak perlu lagi terbang ke Malaysia sendiri. Akan ada anak-anak dan suami yang datang sebagai tamu kehormatan pendamping wisudawati yang akan segera bergelar Master of Art.

Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? (Q.S Ar-Rahman).

JOGJAKARTA

Entah kenapa, Aku dan Jogja tak bisa akur. Meskipun aku sudah merinduinya sekian lama, tetap saja ketika mengunjunginya sekali dalam seumur ...