Seperti
juga kakaknya, Sulha, yang mempunyai empat sekolah dasar, begitupun dengan
adiknya Khiyar.
Khiyar
awalnya mendaftar di sebuah Madrasah Ibtadaiyah tepat di belakang rumah
toko milik ayahnya. Sudah delapan tahun keluarganya tinggal disana, di tengah
sebuah pasar tradisional yang bising. Mau tak mau, Khiyar didaftarkan ke
sekolah tersebut karena kakaknya juga bersekolah disana.
Tapi
keberuntungan belum memihak kepada Khiyar saat itu. Ia tidak lulus di Madrasah
Ibtidaiyah tersebut. Kata Bu Guru ketika ditanya ibu tentang nasibnya,
khiyar kurang beruntung karena kartu keluarganya tidak terdaftar di kecamatan
tersebut. Kata bu guru lagi, tahun ini banyak sekali peserta yang mendaftar
sehingga yang tidak ada kartu keluarga dari daerah tersebut tidak bisa
diloloskan.
Lalu,
ibu mencari sekolah lain yang terdekat dari rumah agar tidak jauh sekali
mengantarnya. Ibu menemukan sebuah sekolah dasar yang sangat biasa dan tak
banyak muridnya. Di situlah Khiyar memulai kehidupan sekolah dasarnya.
Jumlah
kawan sekelas Khiyar hanya sembilan orang, tapi teman dekatnya hanya satu orang
di kelas tersebut, Busra kecil. Kawan lainnya semua abang kelas IV dan V.
Abang-abang tersebut adalah kawan yang sangat seru. Setiap pulang sekolah mereka
mengajak Khiyar memetik delima ataupun menangkap ikan di saluran irigasi di
dekat sekolah sampai ibu tiba menjemput.
Sayangnya
keseruan itu tidak berlangsung lama. Ibu dan Ayah memutuskan untuk pindah ke
tempat lain karena kehidupan di tengah pasar tradisional sudah kurang cocok
untuk Khiyar dan kakaknya.
Rumah
toko mereka disewakan dan mereka pindah ke sebuah kampung yang dekat dengan
sekolah tempat ibunya mengajar. Khiyar dan kakaknya akhirnya bersekolah di
sebuah sekolah dasar, lagi-lagi yang paling dekat dengan rumah mereka.
Kata
ibu ketika kakak bertanya kenapa kami selalu bersekolah di sekolah biasa agar
kami bisa cepat pulang. Anak-anak tidak seharusnya belajar sampai sore. Nanti
tak ada lagi waktu mereka bermain. Jika anak-anak tak puas bermain saat kecil,
dia akan terus bermain-main hingga dewasa. Kata ibu lagi, jika anak-anak cepat
pulang, kita bisa makan siang bersama.
Benar
saja, bahkan ketika Khiyar naik kelas II dan kakaknya naik kelas IV, kakaknya
malah mengajak kawan-kawannya makan siang bersama di rumah. Pasalnya setiap
hari Rabu dan Kamis, si kakak dan kawan-kawannya masuk lagi setelah dhuhur
untuk belajar Diniyah.
Tidak
ada pengalaman yang luar biasa di sekolah dasar yang sekarang. Semuanya biasa
saja. Setelah dua tahun bersekolah di sana, tiba-tiba ibu mendapat panggilan
untuk melanjutkan pendidikan ke negeri jiran, Malaysia. Khiyar dan kakaknya
sangat senang membayangkan akan ikut ke Malysia bersama-sama. Tapi sayang
sekali ternyata ibu harus pergi sendiri dulu karena belum ada rumah untuk
mereka tinggali di sana. Khiyar dan kakak sangat sedih. Ternyata mereka harus
pindah lagi sekolah, kali ini ke kampung nenek mereka. Bersekolah di sekolah
kecil tempat nenek mereka mengajar.
Kehidupan
sekolah dasar Khiyar berlanjut di sekolah ketiganya. Khiyar beradaptasi dengan
kawan-kawan baru lagi. Setelah pulang sekolah beberapa kawan mengajak Khiyar
mengaji, memancing dan bermain di dapur batu bata. Jika tidak bermain bersama
mereka, Khiyar pasti sudah bersepeda ke kampung-kampung lainnya yang dekat dari
kampung neneknya.
Ternyata
hanya dua bulan saja pengalaman seru bermain dengan kawan-kawan di kampung.
Setelah dua bulan itu, ibu dan ayah menjemput Khiyar dan kakaknya Sulha untuk
ikut ke Malaysia. Alangkah bahagia hati mereka berdua, akhirnya mereka bisa
bersama-sama lagi dengan ibu dan ayah.
Tapi
masalah barupun datang, anak-anak pendatang tidak bisa bersekolah di sekolah
Negeri. Kebijakan itu baru saja keluar dalam dua tahun belakang. Ayah dan ibu Khiyar
beberapa kali berkunjung ke Dinas Pendidikan Pulau Pinang untuk mengurus agar
anak-anak agar bisa belajar di Sekolah Kebangsaan Malaysia bersama anak Melayu
lainnya. Paling tidak bahasa yang digunakan tak jauh beda, pun budaya Melayu
dan Aceh masih banyak yang sama. Tapi usaha tersebut tetap tidak mendapatkan
hasil.
Akhirnya
ayah dan ibu memutuskan untuk mengirim Khiyar dan kakaknya ke sekolah
internasional : ada sekolah khusus India, sekolah khusus China, dan sekolah
khusus untuk anak-anak Timur Tengah. Tentu saja ayah memilih sekolah yang semua
siswanya muslim ; sekolah bersama anak-anak Arab.
Sungguh
tak mudah bagi Khiyar untuk memahami materi Matematika, Ilmu Alam dan pelajaran
lain diajarkan dalam Bahasa Arab. Tapi mereka cepat menyesuaikan diri, karena
siswa-siswi di sekolah Arabic School tersebut kebanyakannya tinggal di apartement
yang sama dengan tempat Khiyar tinggal.
Setelah
setahun bersekolah di Arabic School, Khiyar dan kakak harus kembali
pulang ke kampung nenek karena kakaknya akan mengikuti Ujian Nasional (UN).
Khiyarpun menghabiskan satu semester lagi di sekolah tersebut.
Setelah
ibu wisuda dan menyelesaikan semua urusan kuliahnya, Khiyar, Sulha, beserta
ayah dan ibu kembali tinggal di daerah yang dekat dengan sekolah ibu. Kata ibu
agar memudahkan jika anak-anak perlu sesuatu. Sementara Kak Sulha melanjutkan
ke sebuah Sekolah Menengah Pertama Islam Karakter di seputaran wilayah tersebut
juga. Tidak begitu jaun dari rumah yang mereka diami.
Meskipun
kelas V dan VI, Khiyar pindah lagi ke sekolah yang baru, tapi alangkah
senangnya Khiyar karena ternyata ibu memilih memindahkannya kembali sekolah
dasar ke duanya dulu sehingga Khiyar tidak perlu beradaptasi lagi dengan
kawan-kawan, karena kawan-kawannya adalah kawan lama Khiyar.
Demikianlah
perjalanan sekolah dasar Khiyar yang berpindah-pindah membuat Khiyar harus belajar
berinteraksi dengan banayk lingkungan. Meskipun untungnya banyak, tapi ibu
tetap berdoa, semoga nanti Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah
Akhirnya Khiyar cukup satu saja. “Semoga,” kata Ibu.
Kelas : VII Putra
No comments:
Post a Comment