PERJALANAN meNuju MASA LALU
Panas terik jam 10 pagi di atas
kota Banda Aceh telah menyeretku menuju sebuah tempat yang paling menentramkan
dan mendamaikan jiwa.. Tiada tempat lain yang lebih pantas disebut sebagai
taman surga di tengah kota yang semakin hari semakin menggelora dengan panasnya yang terik dan siap membakar
emosi seluruh penghuninya, selain mahligai ini.
Hawa sejuk itu langsung mengaliri
relung jiwaku yang tengah galau menghadapi ujian komprehensif yang akan kuikuti
sepekan ke depan, begitu menapaki areal istana yang megah ini.
Demi menghalau gulana yang
bersemayam di lubuk itu, kini aku berdiri di samping kanan bangunan angkuh nan
perkasa sambil menyirami seluruh kepalaku dengan air sejuk yang tak pernah
berhenti keluar dari faucet-faucet
yang terpasang rapi berjejer di taman kanan istana.
Air yang sengaja kusiram ke atas
kepala dan wajahku kini menetesi seluruh tengkuk dan kerah kaos berwarna abu-abu
yang sedang kukenakan. Rasa segar yang segera mengalir ke seluruh tubuhku
terasa sempurna, ketika kakiku berhasil mencapai tangga paling atas bangunan
istemewa ini.
Hawa surgawipun langsung
menghampiri tatkala aku memasuki gerbang kokoh nan menawan, menuju titik yang
paling zero untuk bermunajat kepada-NYa di tengah terik dhuha yang semakin
menyiksa.
Usai menunaikan empat rakaat yang
ku bagi dua-dua. Aku memohon kepada-Nya agar Dia memudahkanku menghadapi ujian
lisan akhirku pekan depan.
Rasa penat kemudian memaksa
tubuhku untuk membaringkan dirinya sejenak di lantai pualam berwarna putih
hitam bercampuran bercak abu-abu yang tampak seperti sebuah cermin besar, tanpa
menghimbau larangan untuk tidur, yang tertulis dengan jelas di pamplet-pamplet
putih yang tersandar di dinding masjid kebanggaan Nanggroeku ini.
Badanku yang setengah condong ke
belakang dan sedang kutumpu dengan kedua lenganku, urung mendarat di lantai
yang berkilau dan dingin itu, karena tiba-tiba aku melihat sesuatu yang aneh
terjadi di depan mataku.
Seorang laki-laki berwajah tirus
dengan kepala dipenuhi uban sedang berdiri di sudut paling kiri masjid raya
ini. Berdirinya ia disana adalah hal yang lazim dan sering dilakukan oleh
pengunjung lainnya. Namun adalah hal yang tak lagi sama, ketika aku melihat
tangannya yang keriput sedang mengelus-elus tiang pilar kokoh berwarna putih
seperti seorang balita yang sedang mempermainkan rambut boneka dengan
ujung-ujung jarinya yang halus.
Laki-laki itu menengadahkan
kepalanya ke atas seperti sedang memerhatikan sesuatu yang sudah sangat lama ia
rindui.. Kemudian dia berjongkok sejenak dan mengetuk-ngetuk dasar tiang yang
berwarna merah keemasan seperti warna gantungan paun di kalung yang sering
dipakai oleh nenekku. Itu warna emas paon alias emas london, kata nenekku. Dia mengetuk-ngetuk hiasan unik yang
terukir di bagian bawah pillar itu beberapa kali dan tersenyum.
Kemudian kulihat ia mulai
berjalan menuju tiang lain yang bersetentangan dengan tiang pertama tadi dan
melakukan hal yang sama. Tak tampak ada jenuh di wajah yang sudah dipenuhi
keriput itu, ketika ia mengulang hal itu terus menerus di setiap pillar yang
sedang ia sentuhi.
Satu demi satu, tiang-tiang kokoh
itu dielusnya dengan lembut, kemudian dia berjongkok sejenak mengusap-usap tangannya
di atas ukiran unik berwarna emas kemerahan itu, sebuah kolaborasi yang indah
antara tiang-tiang yang berdiri tegap dan kokoh yang ditopang oleh sebentuk
lempeng berukiran indah dengan ukiran yang tak biasa. Pastilah lempengan itu
adalah sebuah mahakarya sejati yang telah sangat lama menempel disitu. Namun
keindahan yang telah bertahun-tahun menetap di bawah pilar-pilar tersebut telah
membuat perhatian pengunjungnya tak lagi penuh kepadanya.
Tapi tak begitu halnya dengan pak
tua yang sudah mulai berjalan ke arah barisan tengah yang dijadikan sebagai
tempat shaf untuk muslimah. Dia masih saja menyentuhi satu persatu tiang-tiang
yang dihampirinya. Aku mulai memerhatikan apakah ada orang lain yang sedang
memerhatikan ulah aneh pak tua yang sedang memainkan aksi seolah-olah sedang
berkomunikasi non verbal dengan tiang-tiang kokoh masjid ini.
Sesaat kemudian, mataku sempat
menangkap beberapa orang pemuda, yang sedang beristirahat dan bersender di
tiang dan dinding pualam di bagian samping sebelah kanan, ternyata juga sedang
melakukan hal yang sama denganku. Mungkin bukan karena sengaja mereka
memerhatikannya, tapi terlebih karena istirahat mereka terganggu ketika pak tua
menghampiri tiang-tiang bernuansa sejuk yang sedang mereka gunakan sebagai
sandaran. Kulihat pak tua tersenyum kepada penghuni tiang dan seolah meminta
izin untuk sejenak mengganggu rehat mereka karena ia sedang ingin menyampaikan
sesuatu kepada pilar yang sedang disentuhinya.
Ketika pak tua mulai berjalan ke
sudut agak belakang dari shaf para muslimah, aku mulai bangkit dan mengekorinya
dengan perlahan, tidak lagi memerhatikannya dari tempat dudukku tadi.. Aku
berjalan dengan sangat pelan berharap dia tak tahu kalau ia sedang diikuti
olehku, sambil sesekali aku menoleh ke arah para jemaah wanita yang sedang
khusyuk melaksanakan shalat dhuha dan sebagian lainnya sedang terlihat
beristirahat dengan Qur’an terbuka di tangan mereka.
Aku memerhatikan ketika posisi
pak tua yang kini berada di tengah bagian belakang mesjid, dia terlihat menengadah
ke atas dan memberi perhatian penuh ke arah kubah besar bewarna hijau dan
kuning keemasan sebelum ia mengalihkan perhatiannya ke arah khattul ‘arabi yang
tertulis dengan rapi dan padat di atas lempengan berbackground hijau dan putih yang tampak terawat.
Kuperhatikan dia sedang senang
berlama-lama menegadahkan kepalanya ke atas. Mungkin dia sedang membaca tulisan
yang sempit dan terlalu dempet itu. Mungkin juga hanya memperhatikannya.
Entahlah.
Di saat menuju gerbang keluar,
kulihat ia kembali berdiri berlama-lama menyentuh gerbang emas berwarna merah
kuningan. Sejenak aku tertegun ketika menyadari bahwa gerbang itu adalah
gerbang yang paling indah yang pernah kulihat di seluruh tempat yang pernah
kudatangi. Ukiran-ukiran di gerbang yang mungkin terbuat dari kuningan itu, tak
kalah indah bila dibandingkan dengan gambar-gambar mesjid Angung lainnya di
seluruh penjuru dunia. Baru hari ini aku benar-benar menyadari dan memerhatikan
gerbang elok nan menawan itu, padahal aku sering sekali berada disini. Tempat
ini adalah destinasi terakhir ketika aku membutuhkan energi untuk bangkit dan
untuk terus berusaha. Berada di dalam bangunan suci ini selalu berhasil
membuatku mendapat aliran semangat baru. Selalu.. Tak pernah gagal.
Ketika pak tua hampir menyelesaikan
sentuhan-sentuhannya terhadap pilar-pilar yang berada di dalam mesjid agung
ini, dia berjalan keluar. Ia duduk berehat sejenak di anak-anak tangga pualam
yang tampak seperti cermin yang bayangan wajahmu tampak samar di dalamnya. Aku
kemudian tersenyum melihat pak tua menyelonjorkan kakinya ke dalam air jernih
yang selalu mengalir di dalam saluran dari keramik berwarna krem putih
bercampur sedikit warna abu-abu. Ingatanku tiba-tiba berpindah kepada sebuah
cerita yang sering kudengar dari nenekku, tentang seorang ratu yang bernama
Balqis yang tertipu oleh kebeningan lantai istananya yang telah direnovasi
dalam waktu sepersekian detik oleh para tukang dari kerajaan Raja Sulaiman a.s.
Ratu Balqis sampai harus mengangkat kainnya karena mengira lantai kaca itu
adalah lantai yang dipenuhi air. Ada sedikiit kemiripan antara visualisasiku
tentang istanaku ini dan istananya. Walaupun itu hanya sedikit.
Dia tak berlama-lama duduk disitu karena kulihat dia segera mengepit sandal berwarna hitam yang entah bermerek apa.
Tatkala ia mulai beranjak dari
tempat ia mengambil sendalnya, ia sempat melihat ke arahku. Aku sedikit
gelagapan mendapati aku terangkap kamera
retinanya karena ketahuan mengintai.
Sudah kepalang tanggung. Si pak
tua sudah tahu ada kamera ccKornea yang sedari tadi merekam semua aktivitasnya.
Akupun dengan rasa penasaran menggunung, kini berjalan mengekorinya berkeliling
Mesjid Raya Baiturrahman(1).
Aku berjalan agak jauh beberapa meter di
belakangnya agar tak mengganggu kegiatannya menikmati bangunanan yang
seolah-olah mempunya arti khusus untuknya.
Dari jarak sekitar lima meter di
belakangnya, aku terus berjalan mengikuti pria tua yang kutaksir berumur
sekitar 70-an itu. Sesekali ketika ia berhenti sambil menatap tiang-tiang yang
sebagian juga tampak dari luar bangunan mesjid, akupun berhenti juga
mengikutinya.
Setelah kami- pak tua dan aku
yang hanya mengikuti semua hal yang dilakukannya sedari tadi- berada kembali di
bagian depan mesjid, aku tanpa sengaja menemukan sesuatu yang luar bisa disini.
Bukan seonggok harta karun yang tercecer di sepanjang jalan yang sedang kulewati, melainkan aku
baru menyadari bahwa mesjid megah ini mempunyai 40 tiang kokoh nan indah yang telah
menopangnya selama berabad-abad.
Ruginya aku, mengaku-ngaku
sebagai seorang warga Aceh, namun baru hari ini aku benar-benar memperhatikan
sebuah bangunan yang luar biasa, berkubah tujuh, yang lama sebelum aku lahir,
telah teronggok tangguh di sini tak pernah gentar menghadapi penjajah, bahkan
tsunami sekalipun tak membuatnya bergeming.
Lelahnya berkeliling tak membuat
pak tua tampak ingin kembali beristirahat sejenak.
Kini aku melihat ia menyeret
langkah-langkah kakinya menuju gerbang sebelah kiri Mesjid Baiturrahman.
Tampaknya ia akan segera meninggalkan lokasi mesjid agung ini. Rasa penasaran
yang telah kusimpan sejak pertama kali aku melihat kelakuannya, membuatku masih
ingin mengikuti langkah-langkah kakinya. Mungkin nanti ketika ia beristirahat,
aku bisa pura-pura berbasa basi untuk kemudian bertanya berbagai macam
pertanyaan yang sudah mulai berkecamuk di alam fikirku.
Pertanyaan-pertanyaan itu
kemudian memaksa kakiku untuk juga mengarahkan langkah-langkahnya ke arah
gerbang berbentuk kubah berwarna putih yang juga dihiasi dengan ornamen-ornamen
yang sama dengan ornamen yang ada di dinding bagian atas mesjid raya. Dan
akupun telah dengan sempurna melupakan misi keduaku hari ini, yakni megunjungi
perpustakaan mesjid raya untuk memperoleh beberapa buku yang bisa kupakai
sebagai referensi untuk ujian komprenhensifku.
Teriknya matahari tengah hari
menjelang dhuhur menyengat ubun-ubunku tanpa ampun. Namun kakiku seperti juga
kakinya terus bergerak ke arah yang aku tak
tahu akan mengarah kemana. Aku hanya mengekorinya dengan setia, hingga ia berhenti
kembali di sebuah taman yang sering kami sebut dengan nama“Taman sari”.
Kini aku memperhatikannya sedang berdiri
di depan sebuah monumen setinggi lebih kurang tiga meter. Dan tanpa sengaja aku
menangkap sesungging senyum sinis terukir di bibirnya tatkala ia sedang memerhatikan
sesuatu di monumen itu.
Ketika ia turun dan menuju sebuah
pamplet putih berisi keterangan tentang
monumen itu, aku kemudian naik menjajaki anak-anak tangga berwarna merah bata
yang mengelilingi monumen yang berada
tepat di seberang kids rock, sebuah
seluncuran raksasa setinggi 9 meter yang berada tepat di posisi tower air
dahulu.
Tepat di depan monumen aku
terhenyak ketika membaca satu persatu kalimat yang terpahat di atas sebuah keramik
besar berwarna agak keorenan. Monumen yang terlalu sering kulihat ketika aku
berkunjung ke taman bermain ini atau ketika aku sedang duduk nongkrong bersama kawan-kawanku di café
Menara yg terletak tepat bersejejeran dengan tugu ini, ternyata adalah sebuah
tugu bersejarah. Ini adalah TUGU
PROKLAMASI yang keberadaannya tidak
diketahui oleh banyak orang. Jangankan untuk mengetahui alasan kenapa tugu
bersejarah itu bisa berada di sebuah taman di tengah kota Banda Aceh, untuk
menyadari keberadaannnya saja, kuyakin tak banyak yang memerhatikannya. Karena
selama bertahun-tahun ini ada sebuah tugu lain yang berdiri tegak dan kokoh di
sampingnya sebelum bencana tsunami merobohkan tower setinggi puluhan meter
tersebut. Tower air itu telah menjadi icon
tersendiri untuk taman ini.
Aku baru beranjak dari tugu
proklamasi yang kini menambah kebingunganku akan asbab keberdaannya di situ, di
sebuah provinsi yang jauh dari pusat ibu kota negara ini, ketika aku melihat
pak tua kembali berjalan menelusuri trotoar yang terpasang setinggi setengah
meter lebih tinggi dari posisi taman.
Aku kembali mengikuti langkahnya
yang masih tegap dan kuat setelah berdiri dan berjalan selama dua jam lebih. Padahal
usianya menunjukkan bahwa umur sebanyak yang dipunyainya itu telah sering
merampas kekuatan masa muda kita.
Keteduhan daun-daun pohon asan
(angsana/redwood) yang terjulur dan melambai-melambai ditiup angin, sedikit
membantuku untuk berlindung dari keganasan sinar mentari yang semakin hari semakin
galak saja terhadap bumi yang ia seharusnya tunduk kepadanya, kepada khalifah
yang menghuni bumi ini. Atau mungkin
para khalifah yang layak ditunduki dan dipatuhi mandatnya oleh seluruh alam itu,
kini telah banyak yang tak menghargai diri. Seperti pemandangan yang sedang
tertangkap indraku. Para muda mudi yang kulihat sedang berboncengan di jalan
besar di depan kantor Departemen Agama Kota Banda Aceh
itu saja tak lagi menghargai diri mereka sendiri. Bagaimana aku menuntut
matahari menghargai mereka.
Tepat sebelum lampu lalu lintas di persimpangan
antara Taman Sari dan taman Putroe Phang berganti warna menjadi hijau kembali,
aku telah berhasil menyusul bapak tua yang belum lagi kutahu siapa dia dan apa
inginnya itu, untuk menyebrang ke sebelah kiri jalan dan berjalan menyebrangi
lagi jalan besar menuju daerah Neusu itu dua kali. Hingga aku melihatnya kini
memasuki sebuah gerbang putih yang sudah luntur warna catnya. Dan kini ia
berjalan menyusuri sebuah tembok putih setinggi lebih dari 2 meter yang
berbentuk persegi panjang. Bangunan ini sering kami sebut kandang.
Bangunan kandang berupa teras dengan
tinggi 2 m lebih dikelilingi oleh tembok dengan ketebalan 45 cm dan lebar 18
meter. Bangunan ini dibuat dari bahan yang sangat kokoh yang terlihat seperti
tanah liat, hingga tampak menyatu dan tak retak sedikitpun walaupun sudah
berdiri sejak abad ke 17
. Dindingnya berspesi kapur serta berdenah persegi empat dengan pintu masuk di sisi selatan.
. Dindingnya berspesi kapur serta berdenah persegi empat dengan pintu masuk di sisi selatan.
Areal pemakaman terletak di tengah
lahan yang ditinggikan. Konon lahan yang ditinggikan pernah dilindungi oleh sebuah
bangunan pelindung. Pagar keliling kandang
mempunyai profil berbentuk tempat sirih dengan tinggi 4 meter.
Pagar ini diperindah dengan beragam
ukiran berbentuk nakas, selimpat (segi empat), temboga (seperti hiasan
tembaga). Mega arak-arakan (awan mendung) dan dewala (hiasan serumpun bunga
dengan kelopak yang runcing dan bintang seperti teratai), merupakan hiasan.
Pada kolom tembok keliling berupa arabesque berbentuk pola suluran mengikuti
bentuk segi empat.
Mega arak-arakan yaitu hiasan arabesque
berupa awan mendung yang dibentuk dari suluran sebagai hiasan sudut pada
bingkai dinding. Dewamala merupakan hiasan yang berbentuk menara-menara kecil
berjumlah dua belas buah di atas tembok keliling terutama di bagian sudut,
berbentuk bunga dengan kelopak daunnya yang runcing menguncup. Menurut sumber
bangunan ini dibuat oleh orang Turki atas perintah Sulthan.
Konon, katanya kandang itu adalah kuburan yang
dibuat oleh Sri Ratu Tajul Alam Safaituddin untuk suaminya tercinta Sulthan
Iskandar Tsani. Demi rasa cintanya yang sangat besar terhadap suaminya, Sri
Ratu Safaituddin menganugrahinya sebuah keranda berlapis emas. Parsis seperti
cerita Taj Mahal, hanya jenis kelamin subjek dan objek pelakunya saja yang
berbeda.
Disisi kandang yang besar itu, terlihat sebuah
arsitektur lain yang berbentuk seperti sekuntum bunga. Tampak seperti bunga
seroja yang belum mekar sepenuhnya. Bangunan itu sering kami sebut dengan nama gunongan. Menurut buku sejarah yang aku
baca selama ini dikatakan, bahwa pada dasarnya bangunan
gunongan itu berdiri dengan tinggi 9,5 meter, menggambarkan sebuah bunga yang
dibangun dalam tiga tingkat.
Tingkat pertama terletak di atas tanah
dan tingkat tertinggi bermahkota sebuah tiang berdiri di pusat bangunan.
Keseluruhan bentuk gunongan adalah
oktagonal (bersegi delapan). Serambi selatan merupakan lorong masuk yang
pendek, tertutup pintu gerbang yang penyangganya sampai ke dalam gunung.
Gunongan itu adalah buah karya utoh-utoh (tukang) di masa kerajaan
Perkasa Alam Sulthan Iskandar Muda. Gunongan dibangunnya untuk tempat permainan
istrinya yang berasal dari Pahang. Bangunan itu sebenarnya adalah bagian dari
taman yang terletak di seberang jalan yang sering kami sebut sebagai taman
Putro Phang.
Dulu taman yang kini berada di sebelah
kiri jalan raya menuju lapangan kodam Banda Aceh bersambung dengan taman
gunongan ini. Namun sekarang sebuah jalan selebar 6 meter telah memisahkan
taman itu menjadi 2 buah tempat wisata yang berbeda.
Aku tak begitu memperhatikan apa
yang dilakukan pak tua di dalam sana. Karena aku yg sudah benar-benar kelelahan
lebih memilih untuk duduk di depan pintu gerbang menuju taman, sambil meminum
air tebu dingin yang baru saja kubeli..Bodohnya aku, baru tersadar, kenapa aku
tidak mengikuti pak tua dengan membawa motorku agar aku tak kelelahan seperti
ini.
Lamunanku tentang motor yang
seharusnyaa ikut dalam perjalanan ini, buyar ketika aku melihat pak tua mulai
berjalan menyebrangi lagi jalan menuju ke arah taman Putro Phang. Akupun kembali
bangun mengikutinya. Pak tua masih saja tidak mengucapkan sepatah katapun
ketika melewatiku. Iya hanya tersenyum dan aku membaca matanya mengajakku untuk
kembali ikut dalam pengembaraan yang tak tentu ujungnya ini.
Dengan segera akupun berhati-hati
menyebrangi lagi jalan dan mengikutinya dengan sedikit tergopoh-gopoh karena
kini baju kemeja berwarna coklat muda yg dikenakan laki-laki tadi sudah tak
lagi tampak, menghilang di belokan pagar taman Putro Phang.
Akupun berlari mengejar laki-laki
tua itu agar tak kehilangan jejaknya, hingga kemudian aku melihatnya berbelok
lagi ke arah kiri memasuki gerbang taman Putro Phang.
Aku kemudian berjalan
mengikutinya dan memperhatikan apa yang akan diperbuatnya di taman itu setelah
tadi aku sempat melewatkan aksinya di Taman Sari Gunongan karena sudah terlalu
kelelahan, hingga aku hanya menungguinya di gerbang sambil mengusir rasa hausku
dengan air tebu yang kini kantongnya masih di tanganku.
Aku melihat pak tua berjalan ke
arah jembatan berayun berwarna putih yang berada di sebelah kanan taman. Dia berdiri disana memerhatikan sebuah
monumen mirip sebuah pintu gerbang yang berbentuk agak runcing dengan ukiran
bunga-bunga di atasnya. Menurut yang kubaca dari buku-buku sejarah, pintu ukir
ini memiliki lebar 2 meter, panjang 2 meter, serta tinggi 3 meter, terletak
tepat di tengah Sungai Darul Asyiki
atau Darul Ishki yang kini lebih dikenal
dengan sebutan nama Krung Daroy.
Langit-langitnya atau rongga pintu berbentuk
lengkungan busur dengan ukiran barat-timur. Lalu, ornamen-ornamen yang menghiasi
bangunan ini juga didominasi oleh motif sulur-suluran. Bagian atapnya memiliki
tiga tingkatan, dengan ornamen dalam bingkai-bingkai. Puncaknya adalah mahkota
dengan sudut meruncing.
Aku duduk agak jauh dari jembatan
sambil mataku tak lepas-lepas nya memandang ke arah Pinto Khop yang juga
terkenal dengan nama Pintu Biram Indra Bangsa yang dikelilingi oleh sungai yang
kini airnya tak lagi bersih. Kemudian pandanganku berpindah lagi ke arah pak
tua secara bergantian. Setelah berdiri beberapa menit di bawah panas terik di
tengah jembatan, aku melihat dia mulai beranjak kembali menuju ujung jembatan
yang bergoyang-goyang seirama dengan langkah kakinya. Ia kemudian turun dan
langsung kembali ke arah pintu keluar.
Tadinya aku memperkirakan bahwa
ia akan berjalan mengelilingi taman yang indah ini. Namun ternyata ia hanya
datang dan berdiri saja di atas jembatan kanan tanpa ingin berputar dan
menginjakkan kakinya di jembatan sebelah kiri taman.
Akupun beranjak dari tempat
dudukku utuk kembali mengikutinya dari belakang. Kini baju kaos abu-abu yang
kupakai telah kuyup dengan keringat, begitu juga dengan baju coklat pak tua
yang telah basah setengahnya dapat kulihat dengan jelas karena kini ia hanya
berjarak 2 meter di depanku.
Langkahnya kini agak di percepat
munelusuri trotoar di sepanjang Taman Putro Phang. Di ujung jalan tepat di
persimpangan, kulihat papan-papan berwarna hijau tegak berjejer bertuliskan
Asma ul Husna di sepanjang jalan. Aku melihat pak tua kembali berhenti disitu
dan menoleh ke arahku yang masih menjaga jarak 2 meter darinya. Dia masih
tersenyum dengan senyum yang sama ketika tadi melihatku di mesjid raya.
BERSAMBUNG..
BERSAMBUNG..
okay. terima kasih :)
ReplyDelete