Aku benci hari Senin, mungkin untuk seumur
hidupku. Paling tidak hingga usiaku yang ke 17, aku belum pernah mendapat
anugrah Senin yang indah, kecuali hari ini, sepertinya.
Aku berlari-lari kecil menyusuri aspal
hitam di depan blok E, bangunan khusus untuk asrama putri di sekolah boarding
yang sedang kutinggali, menuju lapangan upacara bendera tepat di hadapan kantor
guru. Aku tak berlari sendirian, beberapa orang temanku juga sedang menyusulku
dari belakang. Mereka juga tampak khawatir akan terlambat karena bel peringatan
akan dimulainya upacara telah dibunyikan.
Setiba di lapangan kami langsung bergabung
di barisan bersama teman-teman yang telah duluan tiba. Walaupun beberapa dari
kami masih merasa kecapaian setelah berlari sekitar 200 meter, namun kami tetap
harus berdiri tegak dan rapi karena ritual itu akan segera dilaksanakan.
Rasa lelah yang masih membuatku ngos-ngosan memaksaku menggurutu pelan,
“That’s why I hate Monday, a lot.”
Seorang teman melirik ke arahku dan
tersenyum membenarkan,“Aku juga.”
Aku baru mulai berdiri tegak ketika suara
salah seorang petugas upacara mulai membaca ayat demi ayat dari surat Al-Qur’an
yang dipilihnya untuk mengawali upacara bendera pagi ini. Bacaan ayat-ayat
indah itulah yang akhirnya berhasil membuatku merasa benar-benar tenang.
Aku menyapukan pandanganku ke seluruh
lapangan upacara. Aku memerhatikan barisan aubade
di samping kiri lapangan, berlanjut ke arah teman-teman petugas upacara yang
berdiri di depan tepat bersitentangan dengan barisan tempat aku sedang berdiri.
Kemudian aku memindahkan arah pandangku ke
barisan para guru yang juga berada di depan lapangan namun mereka menempati posisi
di sebelah kanan. Ada sesuatu yang berbeda yang berhasil tertangkap oleh mataku
di barisan para guru hari ini. Seorang laki-laki berpostur sangat tinggi tampak
berdiri di samping para guru laki-laki SMAN 21 Harapan Ummah. Tinggi badannya
yang sangat mencolok ditambah dengan baju non seragam yang dipakainya membuatnya
sangat mudah menjadi pusat perhatian.
Aku menyikut Salwa, sahabat sekamarku,
yang berdiri tepat di sebelah kananku.
“Ada tamu tu, di depan.” Ujarku sabil memberi isyarat dengan dongakkan kepala
ke arah.
“Bule
ya?” Tambah Salwa.
“Ssst.”
Aku memberi isyarat kepadanya agar dia kembali diam karena Bu Ina terlihat segera
menuju ke barisan kami yang tampak kasak kusuk karena hampir seluruh anggota
barisan sudah menyadari adanya pemandangan baru di depan sana.
Keberadaan seorang tamu asing berwajah
indo telah membuat upacara hari ini jadi sedikit lebih menyenangkan. Dari pembina
upacara kami mengetahui bahwa tamu baru itu adalah seorang volunteer yang akan mengajar Bahasa Inggris di sekolah kami untuk
beberapa bulan ke depan.‘Mudah-mudahan
orangnya asik,’ bisikku dalam hati.
Dan benar saja, ternyata pria
berkebangsaan Amerika yang bernama Landy itu sangat ramah. Pembawaannya menyenangkan
dan sangat suka tersenyum kepada setiap orang.
Senyuman abadi dan wajahnya yang good-looking membuat Mr. Landy segera menjadi
bahan gosip terhangat di asrama putri SMAN 21 Harapan Ummah.
Aku baru bisa melihat Mr.Landy secara
dekat keesokan harinya ketika Mr. Landy mengajar di kelas kami. Pertemuan
pertama itu diawali dengan perkenalan diri. Dia menuliskan sebuah gambar
berbentuk persegi empat yang di setiap sisinya ia isi dengan beberapa huruf dan
angka.
Sebuah angka 25 ditulis di sudut kanan
atas tabel. Ia menulis dua buah huruf B besar di samping kiri atas. Di sudut
kiri bawah, aku melihatnya menggambar sesuatu yang berbentuk sebuah bukit, dan
di sudut kanan bawah aku melihatnya menuliskan sebuah kata USA, yang tafsirku
pastilah singkatan dari United State of
America, negara asalnya.
Segera setelah ia menjelaskan maksud dari
angka-angka beserta huruf dan lambang yang ada di dalam kotak persegi di papan
tulis itu, dia pun meminta kami melakukan hal yang sama.
Kamipun kemudian sibuk menuliskan inisial
dan lambang-lambang yang berhubungan dengan kami, untuk mengisi sesi perkenalan
yang unik itu. Dan kesan pertama yang diberikan Mr. Landy sungguh menyenangkan.
Jadwal untuk pelajaran Bahasa Inggris
selanjutnya adalah waktu yang kami tunggu-tunggu. Selain menyenangkan Mr. Landy
punya beribu cara untuk membuat kelas Bahasa Inggris kami menjadi lebih hidup
dan berwarna.
Keramahan Mr. Landy
segera membuatnya dekat dengan beberapa orang kawanku, terutama anak-anak English Club yang Bahasa Inggrisnya
sangat luar biasa. Sebersit iri sempat terlintas ketika di kelas, Mr. Landy
selalu meminta bantuan kepada Salwa, kawan dekatku semenjak dari SMP. Tapi
kenapa aku harus iri ya? Aku tersenyum sendiri memikirkan pertanyaan aneh itu
singgah di alam fikirku. Siapa sih itu orang itu, hingga aku juga ingin dekat
dengannya? Senyum itu kini berubah menjadi sebuah tawa yang membuatku merasa
geli sendiri menertawakan kekonyolanku.
Hingga suatu hari ketika aku terburu-buru
berlari menuju toilet di dekat ruang guru, aku tak sengaja menabrak seorang
laki-laki, yang berpakaian kemeja, bukan seragam putih abu-abu, juga bukan
pakaian seragam dinas yang sering dikenakan guru-guruku. Dan laki-laki itu
pastilah begitu tinggi, karena aku menabrak lengannya.
Jantungku berdegup sangat kencang, begitu
kencang hingga kurasa organ itu hampir melompat keluar. Aku ingin sekali
mendongak ke atas, tapi rasa malu dalam hatiku membuatku hanya mampu berkata, “Sorry, it’s an accident.”
Dan begitu mendengar, “It’s Ok,” keluar dari mulut orang yang
sudah kuduga dari tadi, akupun mendongakkan kepalaku sejenak menatap ke wajah
indo milik seorang laki-laki setinggi hampir dua meter itu. Ada sebuah senyum
yang sangat… aaah, aku tak tahu harus membahasakannya dengan istilah apapun.
Dan matanya yang ternyata berwarna abu-abu telah berhasil membuat irama
jantungku berdetak lebih cepat.
“That’s
him.” Bisik hatiku sesaat setelah aku berhasil melarikan diri dan mengunci
diri dari kamar mandi.
“Astaghfirullah.
Astaghfirullah, Ya Allaaaah.. Aku berusaha menenangkan diri.
“Astaghfirullaaaaaaaaaaaaaaaaaaah.
Ini kamar mandi.” Aku terpekik panik ketika menyadari aku sedang beristighfar
ria di kamar mandi.
Aku kembali ke kelasku dengan pikiran
kacau dan konsentrasiku yang tidak karuan. Aku harus berbicara dengan
seseorang, fikirku. Segera setelah aku kembali ke asrama nanti.
Namun karena kegiatan yang sangat padat di
asrama, aku tak sempat bercerita kepada siapa-siapa hingga malam tiba. Hal itu
membuat kepalaku hampir meledak. Aku merasakan dadaku semakin sesak, aku tak
lagi bisa menahan diri dan seluruh perasaanku pun tumpah dalam bulir-bulir tangis
yang tak mampu kubendung.
Sejak saat itu, ada perasaan aneh yang
terus menerus memenuhi otakku. Jujur, aku terganggu, tapi aku berusaha untuk
tenang dan terus berkonsentrasi. Namun ternyata jatuh cinta itu sangatlah
menyusahkan. Sosok itu akan selalu hadir dalam khayalmu dan memenuhi rongga
hatimu. Begitu menyiksa sekali.
Namun sebaliknya, perasaan itu juga
kadang-kadang membuatmu sangat bersemangat, merasa lebih hidup dan lebih bahagia.
Begitu menyenangkan.
Saat-saat bertemu Mr. Landy kemudian
adalah waktu-waktu yang sangat spesial. Waktu-waktu yang bisa mengubah hujan menjadi
pelangi, terik mentari terasa seindah purnama. Begitulah cinta.
Seiring berjalannya waktu, perasaan itu
berhasil membuatku menjadi gila. Aku kini malah membenci sebuah nama yang terdiri
dari lima huruf yang dieja‘el e en di
way’ yang telah mengubah keceriaanku menjadi kegundah-gulanaan sepanjang
masa. Aku merasa sedang sangat menderita karena cinta. Cinta yang salah kepada
orang yang tak boleh kucintai, kerena orang yang telah memaksa masuk ke dalam
fikiranku belakangan adalah orang asing yang hanya singgah sebentar.‘How could I fall in love to that kind of
guy? Oh God. Please help me’.
Di tengah kekhawatiranku yang
luar biasa, rupanya Allah masih sangat menyayangiku. Batas kontrak Mr. Landy
mengajar di sekolah kami akan segera habis. Aku bahagia karena akan segera
terbebas dari perasaan yang telah membunuh karakter hebohku hanya karena jatuh
cinta pada seseorang yang tak boleh kujatuhi cinta. Tapi aku tak henti-hentinya
menangis karena dia akan segera pergi. Ya, pergi dari sini dan tak pernah
kembali.
***
Berbulan setelah dia
pergi, ternyata aku belum juga berhasil membuang namanya dari hatiku. Senyuman
dan mata abu-abunya masih saja melekat erat dalam khayalku. Padahal aku telah
berusaha keras mengusirnya. Hush hush. God,
help!!
Namun penderitaan itu
akhirnya berhasil memaksaku menyusun sebuah rencana besar yang tak pernah
terlintas sedikitpun sebelumnya.
Aku ingin kuliah di University of Denver, Colorado. Itu gila, aku tahu. Tapi hanya dengan cara itu
aku bisa bertemu lagi dengan Mr. Landy. Kabar terakhir yang kudengar, Mr. Landy
sudah menjadi salah seorang dosen di University
of Denver. Mungkin nanti aku bisa
menjadi salah seorang mahasiswinya.
Aku baru saja belajar
satu hal. Cinta ternyata selalu berhasil membuat orang memotong urat takut dan
ragu terhadap ketidak-mampuannya. Cinta bisa membangkitkan sebuah energi besar
yang terpendam dalam jiwa dan tak pernah disadari seseorang.
Dan semenjak planning itu muncul dalam benakku, aku
mulai mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Selain mencari-mencari
informasi tentang University of Denver, aku juga sibuk mem-browsing semua link beasisiwa S1 ke Amerika. Selain juga mengasah kebolehan Bahasa
Inggris-ku dengan mengikuti kursus-kursus yang akan membantuku menembus
beasiswa menuju Mr. Landy.
Usaha dan pengorbananku
berbalas kegagalan menjadi mahasiswa pada tahun pertama setelah aku
meninggalkan bangku SMA. Aku gagal berangkat ke Amerika plus tidak berhasil berkuliah
dimana-mana, sementara hampir semua kawan-kawanku telah menjalani rutinitas
mereka sebagai mahasiswa di universitas-universitas yang mereka idamkan.
Namun demi sebuah
perjuangan cinta, aku tak merasa putus asa. Aku masih terus berjuang untuk menuju
Denver. Sebuah pengumuman beasiswa
dari daerahku berhasil memompa kembali semangatku yang hampir kempes.
Aku sedang mencoba lagi
menujunya dan menghubungi semua sahabatku untuk memohon doa. Dan
sahabat-sahabat terbaik itu tidaklah tercipta kecuali untuk membahagiakanmu di
saat galau. Menemanimu di saat-saat susah. Menyemangatimu di saat down, dan menghapus air matamu di saat
kau kehabisan tissue.
Begitulah perjuangan itu
kemudian menghantarkanku menuju Colorado.
***
In
Colorado ~2014.
Aku telah melewati
seluruh prosedur pendaftaran online.
Sehingga setiba disini aku sudah tidak terlalu repot dengan administrasi
pendaftaran.
Aku hanya perlu menemui
seorang profesor yang telah kuhubungi selama ini via email. Dan dia ternyata membantuku dengan senang hati. Winny
namanya. Dari Prof. Winny aku mendapat informasi tentang kelas-kelas yang akan
diisi Mr. Landy.
Aku tak sabaran ingin
segera menjadi mahasiswi Mr. Landy yang belum kukabari bahwa aku telah
mengejarnya sampai sejauh ini. Aku ingin memberinya sebuah kejutan dengan
keberadaanku yang tak hanya berhasil lolos seleksi di University of Denver
namun juga sekaligusnya akan menjadi mahasiswinya.
Sambil bersabar menunggu
awal musim gugur aku mencari-mencari informasi tentang komunitas Islam dan Islamic Center di seputaran Denver bersama seorang kawan baru –Aisy,
yang segera menjadi saudara ketika telah berada dirantau orang.
Dan berbekal identitas
muslim dan jilbab yang selalu kukenakan, aku dengan mudah mendapatkan informasi
tentang semua hal yang berhubungan keislamanku. Aku kemudian segera menjadi
pengunjung setia Islamic Center di Masjid Dawah yang terletak tak seberapa
jauh dari University of Denver.
Banyak hal-hal baru yang
kupelajari tentang Islam disana, agama yang kubawa sejak lahir dan menjadi
agama dengan penganut terbanyak di negeri asalku. Ada perasaan ‘butuh’ yang
berlebihan terhadap keyakinan itu ketika aku hidup di lingkungan orang-orang atheis yang bahkan bingung hendak
memanjatkan doa ke siapa ketika mereka sangat perlu memohon sesuatu.
Dan sore itu sekembaliku
dari Islamic Center, aku mengajak
Aisy utk menghabiskan sore di sebuah taman indah dengan rumput-rumput hijau
yang terletak di pinggiran Denver.
Aku memilih untuk melepas
lelah dengan duduk lesehan di atas rumput agar kami dengan mudah bisa menjulurkan
kaki yang telah sangat kecapaian.
Aku sedang memijat-mijat
kakiku ketika tak sengaja aku merasakan sesuatu yang aneh. Hatiku tiba-tiba
dipenuhi oleh Mr. Landy dan aku dapat merasakan auranya sangat dekat. Aku dapat
merasakan dia berada disini, di taman ini,
hanya berjarak beberapa belas meter dariku. Aku sangat yakin dengan hatiku,
karena aku percaya dengan sebuah candaan iseng Miss SMA-ku dulu, “Jika kau benar-benar jatuh cinta kepada
seseorang, kau akan dengan mudah merasakan auranya dari radius 200 meter.”
Candaan itu juga yang
kemudian membuatku bangkit dan mulai berjalan mencari-cari asal aura itu. Dan
hatimu takkan pernah bisa menipu, Kawan. Dia adalah referensi paling jujur yang
bisa kau jadikan rujukan kapan saja. Dia takkan membohongimu. Takkan pernah,
bahkan ketika engkau berusaha keras untuk tidak mempercayainya.
Oleh karena itu, aku
memilih untuk mempercayai hatiku. Aku segera berjalan menyusuri rumput-rumput
hijau lembut di bawah kaus kakiku. Hatiku menjadi GPS menuju sebuah cinta yang
telah jauh-jauh kukejar sampai ke Denver.
Teriakan-teriakan kecil Aisy tidak sedikitpun mengalihkan perhatianku. Aku
memutar-mutar badan dan kepalaku agar bisa memandang ke seluruh penjuru taman.
Dan mataku segera
berhenti di sebuah bangku taman bercat hijau yang ditempati oleh sepasang bule yang sedang asik mengobrol.
Segera setelah itu,
darahku berhenti mengalir, hatiku berhenti berdesir, mataku
berkunang-berkunang, aku hampir pingsan karena rasa gembira yang tak berhasil
kukendalikan.
Akhirnya aku menemukannya
disini. Dia, cinta yang telah kusimpan selama tiga tahun, sekarang hanya
berjarak beberapa belas meter di hadapanku.
Aku berusaha menguasai
diri. Mengatur irama nafasku, merapikan jilbabku dan mengibasi rumput-rumput
yang lengket di pakaianku. Aku akan menujunya dan aku ingin terlihat sempurna.
Aku menyeret langkahku
perlahan-lahan diikuti Aisy di belakangku yang sepertinya sudah mendapatkan clue tentang sikap anehku. Mataku dan
matanya kini berfokus ke satu titik, seorang laki-laki bule berusia sekitar 27 tahun yang sedang duduk disana bersama
seorang teman.
Setiba di hadapannya,
kudapati laki-laki bermata abu-abu itu tersenyum kebingungan menebak-nebak
kalau-kalau dia pernah melihatku, mungkin dalam mimpi buruknya, tebakku.
“Mister, It’s me, Mila, one of
Harapan Ummah students. Do you remember
me?”
“Ow. Hi you..” Jawabnya menggantung. Mungkin masih berusaha
mempercayai bahwa aku tidak sedang membohonginya.
“What a surprise to see you here, in Denver.” Sambungnya lagi
berbasa basi. Dan dia adalah bule
yang paling pintar mengambil hati orang timur dengan basa basinya yang tak pernah
basi.
Ingin rasanya aku berteriak
menjawab kaliamatnya tadi, ‘I’m here to
find you, My love. You have
succesfully taken my heart to Denver. That’s why I am here.’ Tapi kalimat
itu kutelan lagi mentah-mentah.
“Oh yea, I will be one of
students in University of Denver for Education Program, Mister.
“Ow really?? I can’t believe my ears. What a chance.” Tambahnya
lagi.
“I’ll be one of your lecturers, then, together with my wife, Amera. It
will be a really great time to us to get you join in our classes.” Dia
berucap panjang lebar.
Aku tak lagi mendengar
kalimat-kalimat yang keluar dari mulutnya dengan jelas. Hanya satu kata yang
berhasil kutangkap dengan baik : wife,
ya wife.
Dan perempuan berambut
pirang dengan kaos berleher lebar itu ternyata adalah istrinya.
Demi Allah, ini adalah
hal tersakit yang pernah kurasa selama 20 tahun aku hidup. Setelah menelan
pahit pil-pil rindu selama dua tahun dan berhasil menyusulnya kemari, aku
kemudian menemukannya telah beristri. Kenapa buruk nian suratan yang tetulis di
atas garis takdirku. Kenapa aku harus jauh-jauh ke Denver hanya untuk merasakan pedihnya patah hati.
Dalam rasa sakit yang tak
berhasil kubuang, aku menggenggam tangan Aisy dan bersiap untuk segera lari
menjauh darinya, yang telah mengajariku arti rasa sakit akan cinta pertama yang
harus kandas di sebuah tempat yang berjarak ribuan mil jauh dari rumahku, dari
orangtuaku. Dan pilihan untuk mati menyusup-menyusup dengan sayup ke dalam alam
gamangku.
“Astaghfirullah. Astaghfirullah.” Aku membuang pikiran-pikiran setan
itu dan segera berlalu dari hadapan cinta pertamaku yang tak pernah berhasil
kugapai, takkan pernah bisa kucapai, selamanya.
Dia terlalu jauh, bahkan
dalam mimpipun aku takkkan pernah dapat menggapainya.
Dan aku dengan airmata,
kemudian berusaha mengumpulkan kembali kepingan-kepingan hatiku yang bertabur
luka dan berhasil dialirkan ke seluruh pembuluh darahku dengan kepedihan yang
tak berhasil kulukiskan lewat kata-kata. Dan engkau takkan pernah bisa
merasakan apa yang kurasa, Kawan. Karena aku telah membayar telalu mahal hanya
untuk sebuah kata ‘Heart-breaking.’
Dan bertahun setelah itu,
aku baru menyadari bahwa rasa sakit itulah yang kemudian mengantarku menjadi
seorang muslimah tangguh yang tidak mudah ditaklukkan oleh sembarang hati.
No comments:
Post a Comment