Saturday 21 March 2020

Denver, I’m Broken-Hearted

Aku benci hari Senin, mungkin untuk seumur hidupku. Paling tidak hingga usiaku yang ke 17, aku belum pernah mendapat anugrah Senin yang indah, kecuali hari ini, sepertinya.
Aku berlari-lari kecil menyusuri aspal hitam di depan blok E, bangunan khusus untuk asrama putri di sekolah boarding yang sedang kutinggali, menuju lapangan upacara bendera tepat di hadapan kantor guru. Aku tak berlari sendirian, beberapa orang temanku juga sedang menyusulku dari belakang. Mereka juga tampak khawatir akan terlambat karena bel peringatan akan dimulainya upacara telah dibunyikan.
Setiba di lapangan kami langsung bergabung di barisan bersama teman-teman yang telah duluan tiba. Walaupun beberapa dari kami masih merasa kecapaian setelah berlari sekitar 200 meter, namun kami tetap harus berdiri tegak dan rapi karena ritual itu akan segera dilaksanakan.
Rasa lelah yang masih membuatku ngos-ngosan memaksaku menggurutu pelan, “That’s why I hate Monday, a lot.”
Seorang teman melirik ke arahku dan tersenyum membenarkan,“Aku juga.”
Aku baru mulai berdiri tegak ketika suara salah seorang petugas upacara mulai membaca ayat demi ayat dari surat Al-Qur’an yang dipilihnya untuk mengawali upacara bendera pagi ini. Bacaan ayat-ayat indah itulah yang akhirnya berhasil membuatku merasa benar-benar tenang.
Aku menyapukan pandanganku ke seluruh lapangan upacara. Aku memerhatikan barisan aubade di samping kiri lapangan, berlanjut ke arah teman-teman petugas upacara yang berdiri di depan tepat bersitentangan dengan barisan tempat aku sedang berdiri.
Kemudian aku memindahkan arah pandangku ke barisan para guru yang juga berada di depan lapangan namun mereka menempati posisi di sebelah kanan. Ada sesuatu yang berbeda yang berhasil tertangkap oleh mataku di barisan para guru hari ini. Seorang laki-laki berpostur sangat tinggi tampak berdiri di samping para guru laki-laki SMAN 21 Harapan Ummah. Tinggi badannya yang sangat mencolok ditambah dengan baju non seragam yang dipakainya membuatnya sangat mudah menjadi pusat perhatian.
Aku menyikut Salwa, sahabat sekamarku, yang berdiri tepat di sebelah kananku.
“Ada tamu tu, di depan.” Ujarku sabil memberi isyarat dengan dongakkan kepala ke arah.
Bule ya?” Tambah Salwa.
Ssst.” Aku memberi isyarat kepadanya agar dia kembali diam karena Bu Ina terlihat segera menuju ke barisan kami yang tampak kasak kusuk karena hampir seluruh anggota barisan sudah menyadari adanya pemandangan baru di depan sana.
Keberadaan seorang tamu asing berwajah indo telah membuat upacara hari ini jadi sedikit lebih menyenangkan. Dari pembina upacara kami mengetahui bahwa tamu baru itu adalah seorang volunteer yang akan mengajar Bahasa Inggris di sekolah kami untuk beberapa bulan ke depan.‘Mudah-mudahan orangnya asik,’ bisikku dalam hati.
Dan benar saja, ternyata pria berkebangsaan Amerika yang bernama Landy itu sangat ramah. Pembawaannya menyenangkan dan sangat suka tersenyum kepada setiap orang.
Senyuman abadi dan wajahnya yang good-looking membuat Mr. Landy segera menjadi bahan gosip terhangat di asrama putri SMAN 21 Harapan Ummah.
Aku baru bisa melihat Mr.Landy secara dekat keesokan harinya ketika Mr. Landy mengajar di kelas kami. Pertemuan pertama itu diawali dengan perkenalan diri. Dia menuliskan sebuah gambar berbentuk persegi empat yang di setiap sisinya ia isi dengan beberapa huruf dan angka.
Sebuah angka 25 ditulis di sudut kanan atas tabel. Ia menulis dua buah huruf B besar di samping kiri atas. Di sudut kiri bawah, aku melihatnya menggambar sesuatu yang berbentuk sebuah bukit, dan di sudut kanan bawah aku melihatnya menuliskan sebuah kata USA, yang tafsirku pastilah singkatan dari United State of America, negara asalnya.
Segera setelah ia menjelaskan maksud dari angka-angka beserta huruf dan lambang yang ada di dalam kotak persegi di papan tulis itu, dia pun meminta kami melakukan hal yang sama.
Kamipun kemudian sibuk menuliskan inisial dan lambang-lambang yang berhubungan dengan kami, untuk mengisi sesi perkenalan yang unik itu. Dan kesan pertama yang diberikan Mr. Landy sungguh menyenangkan.
Jadwal untuk pelajaran Bahasa Inggris selanjutnya adalah waktu yang kami tunggu-tunggu. Selain menyenangkan Mr. Landy punya beribu cara untuk membuat kelas Bahasa Inggris kami menjadi lebih hidup dan berwarna.
Keramahan Mr. Landy segera membuatnya dekat dengan beberapa orang kawanku, terutama anak-anak English Club yang Bahasa Inggrisnya sangat luar biasa. Sebersit iri sempat terlintas ketika di kelas, Mr. Landy selalu meminta bantuan kepada Salwa, kawan dekatku semenjak dari SMP. Tapi kenapa aku harus iri ya? Aku tersenyum sendiri memikirkan pertanyaan aneh itu singgah di alam fikirku. Siapa sih itu orang itu, hingga aku juga ingin dekat dengannya? Senyum itu kini berubah menjadi sebuah tawa yang membuatku merasa geli sendiri menertawakan kekonyolanku.
Hingga suatu hari ketika aku terburu-buru berlari menuju toilet di dekat ruang guru, aku tak sengaja menabrak seorang laki-laki, yang berpakaian kemeja, bukan seragam putih abu-abu, juga bukan pakaian seragam dinas yang sering dikenakan guru-guruku. Dan laki-laki itu pastilah begitu tinggi, karena aku menabrak lengannya.
Jantungku berdegup sangat kencang, begitu kencang hingga kurasa organ itu hampir melompat keluar. Aku ingin sekali mendongak ke atas, tapi rasa malu dalam hatiku membuatku hanya mampu berkata, “Sorry, it’s an accident.”
Dan begitu mendengar, “It’s Ok,” keluar dari mulut orang yang sudah kuduga dari tadi, akupun mendongakkan kepalaku sejenak menatap ke wajah indo milik seorang laki-laki setinggi hampir dua meter itu. Ada sebuah senyum yang sangat… aaah, aku tak tahu harus membahasakannya dengan istilah apapun. Dan matanya yang ternyata berwarna abu-abu telah berhasil membuat irama jantungku berdetak lebih cepat.
That’s him.” Bisik hatiku sesaat setelah aku berhasil melarikan diri dan mengunci diri dari kamar mandi. 
Astaghfirullah. Astaghfirullah, Ya Allaaaah.. Aku berusaha menenangkan diri.
“Astaghfirullaaaaaaaaaaaaaaaaaaah. Ini kamar mandi.” Aku terpekik panik ketika menyadari aku sedang beristighfar ria di kamar mandi.
Aku kembali ke kelasku dengan pikiran kacau dan konsentrasiku yang tidak karuan. Aku harus berbicara dengan seseorang, fikirku. Segera setelah aku kembali ke asrama nanti.
Namun karena kegiatan yang sangat padat di asrama, aku tak sempat bercerita kepada siapa-siapa hingga malam tiba. Hal itu membuat kepalaku hampir meledak. Aku merasakan dadaku semakin sesak, aku tak lagi bisa menahan diri dan seluruh perasaanku pun tumpah dalam bulir-bulir tangis yang tak mampu kubendung.
Sejak saat itu, ada perasaan aneh yang terus menerus memenuhi otakku. Jujur, aku terganggu, tapi aku berusaha untuk tenang dan terus berkonsentrasi. Namun ternyata jatuh cinta itu sangatlah menyusahkan. Sosok itu akan selalu hadir dalam khayalmu dan memenuhi rongga hatimu. Begitu menyiksa sekali.
Namun sebaliknya, perasaan itu juga kadang-kadang membuatmu sangat bersemangat, merasa lebih hidup dan lebih bahagia. Begitu menyenangkan.
Saat-saat bertemu Mr. Landy kemudian adalah waktu-waktu yang sangat spesial. Waktu-waktu yang bisa mengubah hujan menjadi pelangi, terik mentari terasa seindah purnama. Begitulah cinta.
Seiring berjalannya waktu, perasaan itu berhasil membuatku menjadi gila. Aku kini malah membenci sebuah nama yang terdiri dari lima huruf yang dieja‘el e en di way’ yang telah mengubah keceriaanku menjadi kegundah-gulanaan sepanjang masa. Aku merasa sedang sangat menderita karena cinta. Cinta yang salah kepada orang yang tak boleh kucintai, kerena orang yang telah memaksa masuk ke dalam fikiranku belakangan adalah orang asing yang hanya singgah sebentar.‘How could I fall in love to that kind of guy? Oh God. Please help me’.
Di tengah kekhawatiranku yang luar biasa, rupanya Allah masih sangat menyayangiku. Batas kontrak Mr. Landy mengajar di sekolah kami akan segera habis. Aku bahagia karena akan segera terbebas dari perasaan yang telah membunuh karakter hebohku hanya karena jatuh cinta pada seseorang yang tak boleh kujatuhi cinta. Tapi aku tak henti-hentinya menangis karena dia akan segera pergi. Ya, pergi dari sini dan tak pernah kembali.
            ***
Berbulan setelah dia pergi, ternyata aku belum juga berhasil membuang namanya dari hatiku. Senyuman dan mata abu-abunya masih saja melekat erat dalam khayalku. Padahal aku telah berusaha keras mengusirnya. Hush hush. God, help!!
Namun penderitaan itu akhirnya berhasil memaksaku menyusun sebuah rencana besar yang tak pernah terlintas sedikitpun sebelumnya.
Aku ingin kuliah di University of Denver, Colorado. Itu gila, aku tahu. Tapi hanya dengan cara itu aku bisa bertemu lagi dengan Mr. Landy. Kabar terakhir yang kudengar, Mr. Landy sudah menjadi salah seorang dosen di University of Denver. Mungkin nanti aku bisa menjadi salah seorang mahasiswinya.
Aku baru saja belajar satu hal. Cinta ternyata selalu berhasil membuat orang memotong urat takut dan ragu terhadap ketidak-mampuannya. Cinta bisa membangkitkan sebuah energi besar yang terpendam dalam jiwa dan tak pernah disadari seseorang.
Dan semenjak planning itu muncul dalam benakku, aku mulai mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Selain mencari-mencari informasi tentang University of Denver, aku juga sibuk mem-browsing semua link beasisiwa S1 ke Amerika. Selain juga mengasah kebolehan Bahasa Inggris-ku dengan mengikuti kursus-kursus yang akan membantuku menembus beasiswa menuju Mr. Landy.
Usaha dan pengorbananku berbalas kegagalan menjadi mahasiswa pada tahun pertama setelah aku meninggalkan bangku SMA. Aku gagal berangkat ke Amerika plus tidak berhasil berkuliah dimana-mana, sementara hampir semua kawan-kawanku telah menjalani rutinitas mereka sebagai mahasiswa di universitas-universitas yang mereka idamkan.
Namun demi sebuah perjuangan cinta, aku tak merasa putus asa. Aku masih terus berjuang untuk menuju Denver. Sebuah pengumuman beasiswa dari daerahku berhasil memompa kembali semangatku yang hampir kempes.
Aku sedang mencoba lagi menujunya dan menghubungi semua sahabatku untuk memohon doa. Dan sahabat-sahabat terbaik itu tidaklah tercipta kecuali untuk membahagiakanmu di saat galau. Menemanimu di saat-saat susah. Menyemangatimu di saat down, dan menghapus air matamu di saat kau kehabisan tissue.
Begitulah perjuangan itu kemudian menghantarkanku menuju Colorado.
***
In Colorado ~2014.
Aku telah melewati seluruh prosedur pendaftaran online. Sehingga setiba disini aku sudah tidak terlalu repot dengan administrasi pendaftaran.
Aku hanya perlu menemui seorang profesor yang telah kuhubungi selama ini via email. Dan dia ternyata membantuku dengan senang hati. Winny namanya. Dari Prof. Winny aku mendapat informasi tentang kelas-kelas yang akan diisi Mr. Landy.
Aku tak sabaran ingin segera menjadi mahasiswi Mr. Landy yang belum kukabari bahwa aku telah mengejarnya sampai sejauh ini. Aku ingin memberinya sebuah kejutan dengan keberadaanku yang tak hanya berhasil lolos seleksi di University of Denver namun juga sekaligusnya akan menjadi mahasiswinya.
Sambil bersabar menunggu awal musim gugur aku mencari-mencari informasi tentang komunitas Islam dan Islamic Center di seputaran Denver bersama seorang kawan baru –Aisy, yang segera menjadi saudara ketika telah berada dirantau orang.
Dan berbekal identitas muslim dan jilbab yang selalu kukenakan, aku dengan mudah mendapatkan informasi tentang semua hal yang berhubungan keislamanku. Aku kemudian segera menjadi pengunjung setia Islamic Center di Masjid Dawah yang terletak tak seberapa jauh dari University of Denver.
Banyak hal-hal baru yang kupelajari tentang Islam disana, agama yang kubawa sejak lahir dan menjadi agama dengan penganut terbanyak di negeri asalku. Ada perasaan ‘butuh’ yang berlebihan terhadap keyakinan itu ketika aku hidup di lingkungan orang-orang atheis yang bahkan bingung hendak memanjatkan doa ke siapa ketika mereka sangat perlu memohon sesuatu.
Dan sore itu sekembaliku dari Islamic Center, aku mengajak Aisy utk menghabiskan sore di sebuah taman indah dengan rumput-rumput hijau yang terletak di pinggiran Denver.
Aku memilih untuk melepas lelah dengan duduk lesehan di atas rumput agar kami dengan mudah bisa menjulurkan kaki yang telah sangat kecapaian.
Aku sedang memijat-mijat kakiku ketika tak sengaja aku merasakan sesuatu yang aneh. Hatiku tiba-tiba dipenuhi oleh Mr. Landy dan aku dapat merasakan auranya sangat dekat. Aku dapat merasakan dia berada disini, di taman ini, hanya berjarak beberapa belas meter dariku. Aku sangat yakin dengan hatiku, karena aku percaya dengan sebuah candaan iseng Miss SMA-ku dulu, “Jika kau benar-benar jatuh cinta kepada seseorang, kau akan dengan mudah merasakan auranya dari radius 200 meter.”

Candaan itu juga yang kemudian membuatku bangkit dan mulai berjalan mencari-cari asal aura itu. Dan hatimu takkan pernah bisa menipu, Kawan. Dia adalah referensi paling jujur yang bisa kau jadikan rujukan kapan saja. Dia takkan membohongimu. Takkan pernah, bahkan ketika engkau berusaha keras untuk tidak mempercayainya.
Oleh karena itu, aku memilih untuk mempercayai hatiku. Aku segera berjalan menyusuri rumput-rumput hijau lembut di bawah kaus kakiku. Hatiku menjadi GPS menuju sebuah cinta yang telah jauh-jauh kukejar sampai ke Denver. Teriakan-teriakan kecil Aisy tidak sedikitpun mengalihkan perhatianku. Aku memutar-mutar badan dan kepalaku agar bisa memandang ke seluruh penjuru taman.
Dan mataku segera berhenti di sebuah bangku taman bercat hijau yang ditempati oleh sepasang bule yang sedang asik mengobrol.
Segera setelah itu, darahku berhenti mengalir, hatiku berhenti berdesir, mataku berkunang-berkunang, aku hampir pingsan karena rasa gembira yang tak berhasil kukendalikan.
Akhirnya aku menemukannya disini. Dia, cinta yang telah kusimpan selama tiga tahun, sekarang hanya berjarak beberapa belas meter di hadapanku.
Aku berusaha menguasai diri. Mengatur irama nafasku, merapikan jilbabku dan mengibasi rumput-rumput yang lengket di pakaianku. Aku akan menujunya dan aku ingin terlihat sempurna.
Aku menyeret langkahku perlahan-lahan diikuti Aisy di belakangku yang sepertinya sudah mendapatkan clue tentang sikap anehku. Mataku dan matanya kini berfokus ke satu titik, seorang laki-laki bule berusia sekitar 27 tahun yang sedang duduk disana bersama seorang teman.
Setiba di hadapannya, kudapati laki-laki bermata abu-abu itu tersenyum kebingungan menebak-nebak kalau-kalau dia pernah melihatku, mungkin dalam mimpi buruknya, tebakku.
Mister, It’s me, Mila, one of Harapan Ummah students. Do you remember me?”
Ow. Hi you..” Jawabnya menggantung. Mungkin masih berusaha mempercayai bahwa aku tidak sedang membohonginya.
What a surprise to see you here, in Denver.” Sambungnya lagi berbasa basi. Dan dia adalah bule yang paling pintar mengambil hati orang timur dengan basa basinya yang tak pernah basi.
Ingin rasanya aku berteriak menjawab kaliamatnya tadi, ‘I’m here to find you, My love. You have succesfully taken my heart to Denver. That’s why I am here.’ Tapi kalimat itu kutelan lagi mentah-mentah.
Oh yea, I will be one of students in University of Denver for Education Program, Mister.
Ow really?? I can’t believe my ears. What a chance.” Tambahnya lagi.
I’ll be one of your lecturers, then, together with my wife, Amera. It will be a really great time to us to get you join in our classes.” Dia berucap panjang lebar.
Aku tak lagi mendengar kalimat-kalimat yang keluar dari mulutnya dengan jelas. Hanya satu kata yang berhasil kutangkap dengan baik : wife, ya wife.
Dan perempuan berambut pirang dengan kaos berleher lebar itu ternyata adalah istrinya.
Demi Allah, ini adalah hal tersakit yang pernah kurasa selama 20 tahun aku hidup. Setelah menelan pahit pil-pil rindu selama dua tahun dan berhasil menyusulnya kemari, aku kemudian menemukannya telah beristri. Kenapa buruk nian suratan yang tetulis di atas garis takdirku. Kenapa aku harus jauh-jauh ke Denver hanya untuk merasakan pedihnya patah hati.
Dalam rasa sakit yang tak berhasil kubuang, aku menggenggam tangan Aisy dan bersiap untuk segera lari menjauh darinya, yang telah mengajariku arti rasa sakit akan cinta pertama yang harus kandas di sebuah tempat yang berjarak ribuan mil jauh dari rumahku, dari orangtuaku. Dan pilihan untuk mati menyusup-menyusup dengan sayup ke dalam alam gamangku.
Astaghfirullah. Astaghfirullah.” Aku membuang pikiran-pikiran setan itu dan segera berlalu dari hadapan cinta pertamaku yang tak pernah berhasil kugapai, takkan pernah bisa kucapai, selamanya.
Dia terlalu jauh, bahkan dalam mimpipun aku takkkan pernah dapat menggapainya.
Dan aku dengan airmata, kemudian berusaha mengumpulkan kembali kepingan-kepingan hatiku yang bertabur luka dan berhasil dialirkan ke seluruh pembuluh darahku dengan kepedihan yang tak berhasil kulukiskan lewat kata-kata. Dan engkau takkan pernah bisa merasakan apa yang kurasa, Kawan. Karena aku telah membayar telalu mahal hanya untuk sebuah kata ‘Heart-breaking.’
Dan bertahun setelah itu, aku baru menyadari bahwa rasa sakit itulah yang kemudian mengantarku menjadi seorang muslimah tangguh yang tidak mudah ditaklukkan oleh sembarang hati.

No comments:

Post a Comment

JOGJAKARTA

Entah kenapa, Aku dan Jogja tak bisa akur. Meskipun aku sudah merinduinya sekian lama, tetap saja ketika mengunjunginya sekali dalam seumur ...